Kamis, 23 Desember 2010

Peran Perpustakaan di Perguruan Tinggi Belum Optimal: Mengapa?

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama di Perpustakaan IPB)

“Perpustakaan adalah jantung universitas. Karena itu perpustakaan di perguruan tinggi mempunyai kedudukan yang sangat penting”.  Pernyataan ini sering disampaikan oleh pejabat tinggi di lingkungan pendidikan baik di lingkungan universitas ataupun di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam kehidupan sehari-hari siapa yang tak butuh informasi? Semua butuh informasi. Lihat disekeliling kita. Informasi berseliweran, lewat televisi, radio, koran dan media massa lainnya. Karena itu informasi merupakan sumberdaya yang sangat penting dalam hidup kita. Lebih-lebih di perguruan tinggi. Untuk mendidik generasi penerus kita perlu informasi. Untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi baru kita perlu informasi.

Perpustakaan adalah salah satu tempat berakumulasinya informasi. Sayangnya perpustakaan ini belum mendapatkan tempat yang baik di masyarakat kita. Suatu kali ketika saya baru lulus dari fakultas peternakan dan bekerja di perpustakaan, kawan-kawan saya menertawakan saya. Katanya, “kamu mau beternak kutu buku ya”. Karenanya tidak heran kalau banyak sarjana yang malu mengaku bekerja di perpustakaan, bila ia “terpaksa” bekerja di perpustakaan.

Sebenarnya, pemerintah tidak terlalu melupakan pengembangan perpustakaan, khususnya perpustakaan perguruan tinggi negeri. Perhatian pemerintah ini diwujudkan dalam bentuk peningkatan sarana dan prasarana seperti gedung dan peralatan, peningkatan mutu koleksi perpustakaan, serta peningkatan mutu SDM atau pustakawan. Konon pemerintah melalui bank dunia, pada tahun 1990an, sudah menghabiskan tidak kurang dari 1,65 trilyun rupiah (dengan nilai tukar dolar terhadap rupiah Rp. 8500) untuk melakukan peningkatan mutu perpustakaan perguruan tinggi. Sejak akhir dekade 70an Ditjen Dikti telah membentuk satuan tugas yang diberi mandat untuk memberi masukan kepada direktur jenderal pendidikan tinggi dalam meningkatkan mutu dan peran perpustakaan perguruan tinggi dalam menunjang sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Namun semua ini sepertinya sia-sia, karena sampai saat ini mutu perpustakaan perguruan tinggi negeri (apalagi swasta) masih belum menunjukkan kemajuan seperti yang diharapkan. Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebab ketertinggalan perpustakaan ini seperti: Pertama, posisi perpustakaan di perguruan tinggi terlalu rendah. Sejak diterbitkannya PP nomor 5 tahun 1980 sampai PP 60 tahun 2000, posisi perpustakaan di perguruan tinggi turun dari pejabat setingkat direktur atau setingkat eselon II1 menjadi setingkat kepala bagian atau eselon III2. Padahal kepala perpustakaan harus bertanggung jawab kepada Rektor yang setingkat dengan eselon I. Dengan posisi yang rendah ini hampir semua perpustakaan perguruan tinggi tidak lagi bisa secara langsung terlibat dalam pengambilan keputusan di perguruan tinggi. Bahkan untuk menentukan arah pengembangan perpustakaannya sendiri kepala perpustakaan tidak secara langsung ikut menentukannya. Bukti yang menunjuk ke arah ini cukup banyak seperti misalnya pembangunan gedung perpustakaan yang tidak sesuai dengan standard gedung perpustakaan. Penentuan anggaran yang alokasinya tidak pernah sesuai dengan kebutuhan perpustakaan adalah bukti yang lain. Posisi yang rendah ini juga menyebabkan degradasi kepemimpinan di perpustakaan perguruan tinggi. Kalau dulu kepala perpustakaan sering dipegang oleh orang yang bergelar doktor bahkan profesor, biasanya dosen yang mendapatkan tugas tambahan, maka sejak PP 5/80 tersebut tidak ada lagi atau jarang sekali SDM yang bermutu mau menduduki jabatan perpustakaan (kecuali di beberapa perguruan tinggi terkemuka dengan alasan tertentu). Sebagai gantinya adalah SDM yang kurang memiliki kemampuan leadership yang memimpin perpustakaan. Akibat kurangnya leadership di perpustakaan perguruan tinggi tersebut maka perkembangan perpustakaan menjadi terseok-seok dan nyaris berhenti. Untuk mengembalikan peran perpustakaan perguruan tinggi maka diperlukan leadership yang tinggi. Karena itu seharusnyalah kepala perpustakaan mempunyai posisi yang lebih tinggi di perguruan tinggi. Peraturan Pemerintah nomor 61/1999 sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan peraturan sebelumnya (PP 5/80, PP 30/90 dan PP 60/1999). Dalam PP 61/1999 kepala perpustakaan mendapatkan tempat yang cukup terhormat, misalnya kepala perpustakaan secara ex-officio menjadi anggota senat universitas, dan termasuk jajaran pimpinan perguruan tinggi.  Dengan demikian perpustakaan mempunyai kesempatan secara langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan di perguruan tinggi, khususnya yang berhubungan dengan pengembangan dan peran perpustakaan. Akan tetapi PP 61/1999 ini hanya diberlakukan terhadap tujuh perguruan tinggi negeri yang akan segera menyandang predikat Perguruan Tinggi Berbadan Hukum Milik Negara atau PTBHMN (yaitu UI, IPB, ITB, UGM, Unair, UPI dan USU). Bagaimana nasib perpustakaan perguruan tinggi yang lain? Namun beberapa waktu yang lalu UU Badan Hukum Milik Negara atau UU-BHP yang mengatur perguruan tinggi dibatalkan oleh Mahkaman Konstitusi (MK). Dengan batalnya UU-BHP, maka PT-BHMN juga menjadi terombang-ambing. Sebagai gantinya memang pemerintah telah mengeluarkan PP 17 tahun 2010 yang kemudian direvisi menjadi PP 66 tahun 2010. Namun dalam PP 66 tahun 2010 tidak diatur mengenai perpustakaan. Dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional tidak diatur secara rinci tentang perpustakaan. Satu-satunya peraturan terbaru yang mengatur tentang perpustakaan perguruan tinggi adalah Permendiknas nomor 234 tahun 2000.

Kedua, Perpustakaan tidak pernah memperoleh anggaran yang cukup untuk melakukan pembinaan koleksinya maupun untuk mengembangkan infrastruktur teknologi informasi seperti komputer, jaringan LAN serta komunikasi ke luar (internet). Akibatnya perpustakaan kehilangan pelanggannya. Sebagian dosen atau bahkan mahasiswa mengatakan bahwa dia mempunyai koleksi dan fasilitas yang lebih lengkap dan mutakhir dibandingkan dengan perpustakaan. Lemahnya infrastruktur ini juga menyebabkan perpustakaan tidak bisa mendayagunakan koleksi lokalnya dengan baik seperti skripsi atau tugas akhir, tesis disertasi, laporan penelitian dosen serta terbitan lokal lainnya. Sebenarnya dengan infrastruktur teknologi informasi yang baik perpustakaan perguruan tinggi dapat melakukan tukar menukar koleksinya dengan perpustakaan lain yang sejenis sehinggga dapat menambah kekayaan koleksinya. Koleksi lokal dapat diubah formatnya dari dokumen tercetak menjadi dokumen digital sehingga lebih mudah dipertukarkan. Dengan pertukaran ini perpustakaan dapat memupuk koleksinya tanpa harus membelinya dengan harga yang sangat mahal. Disamping itu infrastruktur teknologi informasi yang memadai dapat mempermudah pemakai dalam melakukan akses informasi disamping meningkatkan daya tarik pemakai informasi untuk datang ke perpustakaan.

Ketiga, perpustakaan kekurangan SDM atau pustakawan yang berkualitas. SDM berkualitas biasanya tidak akan pernah memilih perpustakaan sebagai bidang yang ditekuninya. Hal ini karena penghargaan terhadap profesi pustakawan sangat kurang.  Bahkan penghargaan dari segi penghasilan misalnya sangat jauh berbeda dengan dosen. Tunjangan fungsional pustakawan yang paling tinggi misalnya hanya setengah tunjangan dosen dengan jabatan yang setara. Bagi dosen masih ada tunjangan lain seperti tunjangan sertifikasi dosen. Bahkan bagi dosen yang sudah mencapai tingkat guru besar, maka dosen itu mendapatkan tunjangan guru besar. Alhasil, pendapatan pustakawan dengan dosen seperti bumi dan langit. Oleh karena itu kalau ingin memajukan perpustakaan maka kesenjangan penghasilan ini perlu diperkecil. Sebagai contoh di Inggris misalnya pustakawan digaji tidak terlalu jauh dibandingkan dengan dosen. Bahkan mereka membuat ranking penggajian dengan “related academic staff”. Dengan penghargaan seperti itu maka daya tarik profesi pustakawan akan menjadi meningkat dan profesi ini akan dapat merekrut calon-calon pustakawan dari bibit yang baik.

Keempat, kurangnya profesionalisme SDM yang bekerja di perpustakaan. Sangat sering terdengar bahwa perpustakaan selalu menjadi tempat “buangan” staf atau pegawai yang bermasalah di unit lain. Bahkan kepala perpustakaan seringkali adalah dosen yang tidak kebagian jabatan di universitas. Dengan SDM seperti ini memang sangat berat untuk mengharapkan bisa profesional. Beberapa perpustakaan PTN yang “besar” masih dijabat oleh dosen. Masih bagus kalau dosen tersebut adalah dosen dengan bidang studi ilmu perpustakaan. Anggapan bahwa dosen yang rajin ke perpustakaan dan seorang pemerhati perpustakaan kemudian bisa memimpin perpustakaan adalah tidak benar. Untuk memperbaiki kondisi ini perguruan tinggi harus merekrut tenaga profesional di bidang perpustakaan. Kepala perpustakaan hendaknya adalah berasal dari pustakawan3 dan sekurang-kurangnya pemegang ijazah master di bidang perpustakaan atau dokumentasi dan informasi (pusdokinfo)4.  Hal ini untuk mengimbangi status akademik dari pemakai di perguruan tinggi. Kebutuhan pengguna perpustakaan yang tinggi dan komplek harus bisa dilayani oleh pustakawan yang profesional. Selain itu pustakawan atau kepala perpustakaan harus menguasai teknologi informasi atau sekurang-kurangnya memiliki visi teknologi informasi.

Untuk memperbaiki citra perpustakaan memang sangat berat. Namun dengan tekad seluruh pustakawan untuk selalu bersikap profesional, saya yakin perjuangan memperbaiki citra perpustakaan ini suatu saat akan berhasil. Hal ini sesuai dengan yang sambutan Kepala Perpustakaan Nasional RI pada suatu acara seminar pustakawan bahwa pustakawan harus siap berubah karena paradigma layanan perpustakaan sudah berubah yaitu dari paradigma kepemilikan yang biasanya bersifat pasif dan menunggu pemakai datang ke perpustakaan untuk mendapatkan layanan menjadi paradigma aksessabilitas dimaka pustakawan dituntut untuk aktif dan agresif dalam memberikan layanan kepada pemakainya. Pustakawan harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan paradigma layanan tersebut. Semoga.

Catatan kaki:

1 Menurut Instruksi Menteri PTIP nomor 9 tahun 1962, perpustakaan perguruan tinggi dipimpin oleh seorang direktur yang diajukan oleh senat akademik dan diangkat oleh Menteri.

2 Menurut PP 5 tahun 1980 sampai PP 30 tahun 2000 kedudukan perpustakaan perguruan tinggi adalah sebagai unit pelaksana teknis yang setingkat dengan bagian atau eselon III.

3 Lihat pasal 30 UU nomor 43 tahun 2007

4 Dalam RPP diatur bahwa kepala perpustakaan perguruan tinggi adalah seorang yang berijazah S2

Rabu, 15 Desember 2010

Ibu dan Pengembangan Budaya Baca

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

    Bulan Desember, tepatnya tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari ibu. Pada hari ibu ini biasanya anak-anak perempuan diminta berbusana pakaian nasional yaitu kebaya sebagai bagian dari memperingati hari ibu. Pada kesempatan hari ibu ini saya ingin mengungkapkan bagaimana peran ibu dalam membiasakan anak-anaknya membaca, khususnya dalam pendidikan keluarga.

    Semua orang pasti kenal Thomas Alva Edison, yaitu salah seorang penemu terkenal pada abad 19. Temuan-temuannya sampai kini masih digunakan orang seperti antara lain bola lampu listrik. Tapi, banyak orang yang tidak tahu bahwa Thomas kecil pernah dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlalu bebal untuk mengikuti pelajaran. Ketika Thomas dikeluarkan dari sekolah, maka ibunya dengan sabar mengajarnya di rumah dan mendukung minatnya terhadap ilmu. Berkat peran ibunya maka Thomas kecil menjelma menjadi penemu terkenal.

    Ketika saya kecil, sekitar pertengahan tahun 1960an, Ibu saya selalu mendongeng untuk mengantarkan saya dan adik-adik tidur. Setiap hari dongengnya selalu berganti. Seakan-akan Ibu tak pernah kehabisan dongeng. Mulai dari dongeng “kancil mencuri timun” dengan berbagai setting cerita, sampai pada “tikus desa berkunjung ke kota”. Ketika ibu kehabisan bahan untuk mendongeng, ibu akan membacakan cerita dari buku kumpulan dongeng anak-anak. Sesekali kami anak-anaknya bertanya bila ada kata-kata yang tidak kami mengerti. Dan Ibu dengan sabar menjelaskan kata-kata tersebut sampai kami mengerti. Begitulah kami belajar dan mengumpulkan kosa kata. Pada waktunya kosa kata tersebut akan keluar dalam bentuk komunikasi dengan teman-teman kami. Selain itu dongeng itu menjadikan hubungan batin kami anak-anaknya dengan Ibu sangat dekat. Sesudah kami lancar membaca, maka kami dapat membaca sendiri cerita dari buku-buku yang dipinjami Bapak dari perpustakaan sekolahnya. Kebetulan Bapak adalah seorang kepala sekolah dasar suatu desa di Madura. Dan setiap waktu tertentu sekolah bapak mendapatkan kiriman buku-buku cerita terbitan Balai Pustaka dari pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kebiasaan membaca inilah kelak yang membantu saya menapaki hidup yang walaupun tidak berlebihan, namun tetap survive di tengah persaingan hidup yang sangat ketat.

    Saat ini, mungkin karena kesulitan ekonomi yang tak kunjung mereda, ibu-ibu sudah jarang sekali mendongeng untuk anak-anaknya guna mengantarkan tidur mereka. Ibu-ibu jaman sekarang harus bekerja untuk membantu meringankan beban keluarga. Mereka  kelelahan sesudah seharian bekerja dengan gaji yang tidak pernah cukup untuk menopang kebutuhan keluarga. Tidak ada waktu lagi untuk sekedar bercanda ria dengan anak-anaknya. Apalagi mendongeng. Apabila terpaksa mendongeng, maka dongeng sang ibu sering kacau karena kalah oleh kantuk, dan sudah tertidur sebelum dongengnya tamat. Padahal anaknya belum tertidur. Anak-anak tidak bisa belajar lagi di rumah. Pendidikan mereka 100 % diserahkan ke sekolah. Padahal di sekolahpun para guru tidak bisa  mendidik 100 % seperti jaman dulu. Karena guru-guru jaman sekarang mengajar di banyak sekolah untuk sekedar menambal kekurangan gaji mereka supaya dapur para guru itu tetap berasap (saat ini mungkin sebagian guru sudah bernasib lebih baik sejak diberlakukannya sertifikasi guru). Tinggallah anak-anak kita yang jadi korban. Anak-anak lebih banyak berkeliaran di mal-mal. Atau kalaupun ada di rumah, mereka duduk di depan TV menyaksikan tayangan yang penuh dengan kekerasan dan seks. Jika tidak nonton televisi, maka anak-anak sekarang banyak yang bermain PS atau game online yang penuh dengan kekerasan untuk mengisi waktu-waktu luangnya. Akibatnya, anak-anak ini menjadi mudah marah, mudah tersinggung. Puncaknya adalah tawuran antar sekolah, ketergantungan terhadap narkoba, perkosaan oleh remaja dan sebagainya. Dalam tawuran remaja kita tidak pernah tahu apa yang mereka bela. Kalau kehormatan sekolah yang dibela, mungkin masih dapat dimengerti. Namun tawuran mereka lebih sering karena alasan iseng saja. Saling mencemooh antar pelajar dan berbuntut saling baku hantam. Bahkan tidak jarang baku bacok.

    Kemampuan berkomunikasi merekapun juga kurang baik. Kadang-kadang pikiran mereka lebih cepat dari ucapan mereka. Janganlah mereka disuruh menulis. Berbicara saja mereka susah memilih kosa kata, karena memang miskin kosa kata. Mereka tidak pernah terlatih untuk menggunakan banyak kosa kata. Dengarkan jika kebetulan anak muda diwawancara oleh wartawan media elektronik. Jawaban mereka sering meloncat dari satu topik ke topik yang lain. Tidak pernah runtut dalam mengemukakan pendapat. Mengemukakan pikiran yang runtut hanya bisa dilatih dengan cara membaca dan menulis.

    Sesungguhnya pendidikan di lingkungan keluarga merupakan kunci dari permasalahan yang kita hadapi sekarang ini. Dan kunci pendidikan di lingkungan keluarga adalah ibu. Jika saja ibu dapat memberikan teladan-teladan yang berasal dari dongeng atau cerita dari buku dongeng anak-anak, maka jiwa anak-anak itu sudah diisi oleh hal-hal yang baik sejak dini. Masalahnya dari mana ibu-ibu tersebut bisa mendapatkan buku cerita supaya dia bisa mendongeng dengan baik. Membeli buku cerita anak bagi keluarga sederhana merupakan sesuatu yang muskil. Bayangkan, untuk satu nomor majalah Bobo saja harganya sama dengan setengah kilogram telur ayam. Padahal satu nomor majalah Bobo mungkin hanya bisa menjadi dua hari untuk bahan mendongeng. Jika anak-anak tersebut sudah bisa membaca sendiri, maka bahan bacaan yang dibutuhkannya akan semakin mahal. Satu nomor majalah Kawanku misalnya akan lebih mahal dari harga satu kilogram telur ayam.

    Untuk memenuhi bahan bacaan tersebut, saya teringat pengalaman saya sewaktu berkunjung ke Buin Batu National School. Buin Batu terletak di Pulau Sumbawa, tepatnya di kawasan pertambangan Newmont Nusa Tenggara. Buin Batu adalah kota kecil yang dari ujung kota yang satu ke ujung yang lain hanya ditempuh selama 30 menit berjalan kaki. Ketika saya mampir di toko kelontong (mini market) di salah satu sudut kota, saya tertarik ke salah satu ruangan yang ada pojok toko tersebut. Disitu ada rak-rak buku dan majalah. Semula saya sangka buku dan majalah yang ada disitu dijual. Karena kebetulan bahan bacaan saya sudah habis terbaca di tempat penginapan dan saya butuh bahan bacaan, saya bermaksud untuk membelinya. Saya masuk ke ruangan tersebut. Namun saya tidak dapati penjaga “toko buku” tersebut. Saya tanya security (begitu yang tertulis di topinya). Katanya buku dan majalah itu tidak dijual, tapi dapat dipinjam. “Kalau Bapak mau pinjam, silahkan memilih sendiri buku atau majalahnya, kemudian mencatatkan pinjaman Bapak di buku yang ada di sudut ruangan itu.” Kata security itu menjelaskan. Wah… ini baru layanan perpustakaan yang menganut swalayan atau self-service. Layanan seperti ini hanya bisa kita dapatkan di Singapura. Saya mencoba tanya lebih lanjut pada security. Ternyata koleksi “perpustakaan umum” itu berasal dari sumbangan warga Buin Batu. Prinsip mereka adalah sharing koleksi. Jika mereka bisa beli satu, maka mereka dapat membaca banyak. Yang tidak sanggup membelipun dapat membaca banyak. Gotong royong semacam ini mestinya dapat dikembangkan di tempat-tempat lain di Indonesia.

    Lebih jauh lagi mestinya penyediaan bahan bacaan ini merupakan tanggung jawab Pemerintah. Perpustakaan umum harus diberdayakan. Bahkan mestinya perpustakaan umum ini ditempatkan di pusat keramaian seperti pasar dan swalayan. Dengan demikian ibu-ibu yang lelah sehabis keliling berbelanja di pasar tersebut dapat mampir sejenak untuk memilih bahan bacaan untuk si kecil di rumah. Dalam hal penempatan lokasi perpustakaan umum ini kita patut menyontoh Singapura. Hampir setiap pusat pertokoan di Singapura ada perpustakaan umumnya. Salah satu perpustakaan umum di Singapura berlokasi di pusat perbelanjaan “Takasimaya” yang berlokasi di pusat kota, Orchid Road. Perpustakaan itu penuh dengan pengunjung tua, muda, bahkan anak-anak usia TK/SD yang melakukan aktifitas seperti membaca, melihat-lihat buku, meminjam, dan sebagainya. Di perpustakaan ini juga disediakan kafe dengan kualitas standard internasional, dan setiap beberapa hari perpustakaan juga menyelenggarakan life music di kafenya. Dengan demikian masyarakat yang datang ke perpustakaan juga bisa menikmati makanan yang enak dengan suasana yang enak, serta dapat membaca dengan enak pula. Di perpustakaan ini pendidikan masyarakat dapat dilakukan seperti mendidik berdisiplin dan saling menghargai satu sama lain. Mengambil contoh Singapura tadi misalnya, begitu masuk di pintu utama gedung perpustakaan pengunjung sudah diingatkan dengan etika ke perpustakaan atau library etiket. Peringatan tersebut digambar di lantai seperti matikan handphone dan pager, Jangan berbicara keras, Jangan berdiskusi di perpustakaan. Sedangkan yang berhubungan dengan bahan pustaka ada peringatan seperti Perlakukan pustaka dengan baik, kembalikan ke tempat semula atau ke keranjang pengembalian untuk kenyamanan pembaca lain, dan lain-lain. Disini masyarakat dibiasakan untuk mematuhi etika dan peraturan yang diberlakukan di perpustakaan. Juga dibiasakan untuk menghargai hak-hak orang lain. Misalnya jangan berbicara keras, karena bisa mengganggu kenyamanan orang lain; mematikan telepon genggamnya supaya tidak mengganggu kenyamanan orang lain dan sebagainya. Jika kebiasaan ini dapat berimbas kepada kehidupan mereka di luar perpustakaan, alangkah indah dan nyamannya kita beraktifitas sehari-hari. Tidak ada supir yang berhenti seenaknya; tidak ada orang yang menyerobot antrian di kasir pasar swalayan, di bank-bank dan ATM; tidak ada pejabat yang sibuk menerima panggilan telepon genggam padahal ia sedang menghadiri rapat penting, dan lain-lain.

    Perpustakaan juga dapat mendidik masyarakat untuk berperilaku halus yaitu dengan menyediakan bacaan-bacaan rekreasi yang bisa mengasah perasaan mereka seperti buku-buku sastra, novel, cerpen dan lain-lain. Lihat masyarakat sekarang yang cenderung brutal. Tidak terkecuali kalangan terpelajar seperti mahasiswa dan pelajar. Tanyakan kepada mereka, apakah dia sering membaca dan apa bacaannya. Saya yakin mereka jarang sekali membaca, bahkan mungkin tidak pernah membaca. Kalaupun membaca, saya yakin bacaan mereka adalah bacaan yang tidak bermutu yang banyak beredar di sekitar kita, seperti koran-koran kriminal, perkosaan, perampokan, penodongan, pelecehan seksual dan lain-lain yang justru menjadi pemicu kekerasan dan bahkan mengarahkan ke perilaku jahat. Jika perpustakaan dapat menyediakan bacaan bermutu dengan suasana yang nyaman, maka masyarakat mempunyai pilihan untuk mendapatkan informasi. Dengan kesibukan membaca maka para mahasiswa dan pelajar tidak punya waktu lagi untuk bergerombol dan “kongkow-kongkow” dan kemudian saling mengganggu dan tawuran.
    Kembali ke peran Ibu di rumah tangga, marilah pada kesempatan hari ibu ini kita berdayakan Ibu-ibu disekitar kita. Jika ibu dapat mendidik anak-anaknya dengan baik saya percaya bahwa generasi bangsa Indonesia kedepan akan lebih baik. Karena itu berilah ibu-ibu itu bahan untuk memberi teladan yang baik-baik kepada anaknya melalui dongeng-dongeng yang dapat mengantarkan anaknya tertidur dengan mimpi-mimpi indah. Selamat Hari Ibu.

Selasa, 07 Desember 2010

Definisi Perpustakaan

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Bagi para pustakawan dan tenaga perpustakaan mungkin definisi perpustakaan ini sudah sangat familiar. Namun tidak demikian bagi masyarakat awam. Bagi masyarakat awam sebuah ruangan tempat menyimpan buku bisa disebut perpustakaan. Sedangkan di masyarakat kita dikenal juga istilah lain yang berhubungan dengan tempat menyimpan buku tersebut misalnya seperti taman bacaan. Belakangan muncul istilah lain untuk menyatakan hal yang sama misalnya rumah baca, pondok baca, rumah pintar dan lain-lain. Lalu apa bedanya dengan perpustakaan? Pertanyaan ini tidak hanya muncul sebagai pertanyaan iseng saja. Namun juga muncul pada diskusi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan Undang-undang Perpustakaan dimana pesertanya tidak semuanya berasal dari pustakawan atau ahli di bidang perpustakaan. Ketika pertanyaan tersebut disampaikan dalam pertemuan resmi, tentu saja para pustakawan berusaha memberi jawaban, diantaranya menggunakan definisi yang ada dalam Undang-undang Perpustakaan. Namun tetap saja jawaban tersebut belum memuaskan penanya.

Menurut Undang-undang Perpustakaan (UU nomor 43 tahun 2007) disebutkan bahwa perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Sedangkan menurut Sulistyo-Basuki (1991: 3) perpustakaan adalah: sebuah ruangan, bagian sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual.
Mari kita bedah satu persatu. Institusi merupakan struktur dan mekanisma aturan dan kerjasama sosial yang mengawal perlakuan dua atau lebih individu. Institusi bisa juga berarti lembaga yaitu badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha. Pengelola berasal dari kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola. Jadi pengelola adalah seseorang yang mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola. Koleksi berarti kumpulan benda yang digemari. Dengan demikian maka koleksi karya tulis, karya cetak dan/atau karya rekam adalah kumpulan informasi yang berbentuk tulisan tangan, buku cetakan maupun yang direkam dalam berbagai media termasuk media elektronik dan digital. Profesional berarti memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankan. Dengan demikian “mengelola koleksi karya tulis, karya cetak dan atau karya rekam secara profesional” berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola kumpulan informasi dalam berbagai bentuk atau format dimana dalam melakukan pengelolaannya tersebut diperlukan keahlian khusus. Baku berarti sesuatu yang dipakai dasar ukuran (nilai, harga, dsb) standar. Jadi sistem baku merupakan sistem yang digunakan sebagai dasar dalam melakukan pengelolaan koleksi karya tulis, karya cetak dan atau karya rekam. Pemustaka menurut UU 43 tahun 2007 adalah pengguna perpustakaan, yaitu perseorangan, kelompok orang, masyarakat, atau lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan.

Dengan demikian maka makna dari kedua definisi yang dikutip pada awal tulisan ini adalah: perpustakaan merupakan institusi atau lembaga tempat menyimpan informasi dalam bentuk buku dan bentuk-bentuk lain yang disimpan menurut aturan tertentu yang baku untuk digunakan oleh orang lain (bukan hanya digunakan oleh pribadi) secara gratis untuk bermacam-macam tujuan atau kebutuhan seperti untuk pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi. Mari kita bandingkan dengan definisinya Wikipedia yang mendefinikan perpustakaan sebagai berikut:”A library is a collection of sources, resources, and services, and the structure in which it is housed; it is organized for use and maintained by a public body, an institution, or a private individual. In the more traditional sense, a library is a collection of books. It can mean the collection, the building or room that houses such a collection, or both.” Jadi makna beberapa definisi tersebut memiliki pengertian yang sama yakni: (1) merupakan kumpulan bahan perpustakaan; (2) dikelola secara profesional dengan sistem tertentu (baku); (3) dikelola oleh lembaga atau institusi dan atau individu; (4) diselenggarakan untuk kebutuhan pemustaka.

Menjawab pertanyaan apa beda perpustakaan dengan taman bacaan yang disampaikan oleh salah seorang kolega pada pembahasan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UU Perpustakaan, maka saya jawab seperti pada pernyataan saya berikut. Jika dalam mengelola taman bacaan dan sejenisnya tersebut memenuhi kriteria seperti disebutkan di atas, maka taman bacaan tersebut dapat dikatakan perpustakaan. Sebaliknya, jika kita menamakan perpustakaan, tetapi tidak dikelola secara profesional dengan sistem yang baku, maka apa yang kita namakan perpustakaan tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai sebuah perpustakaan.

Pertanyaan ini kemudian dihubungkan dengan standar jumlah minimum koleksi perpustakaan. Apakah sebuah perpustakaan yang memiliki koleksi kurang dari jumlah yang ditentukan dapat disebut perpustakaan? Untuk diketahui bahwa pada RPP standar ditentukan bahwa “Jumlah koleksi pada setiap perpustakaan umum dan perpustakaan khusus paling sedikit memiliki koleksi 1000 judul” atau “Jumlah koleksi pada setiap perpustakaan perguruan tinggi paling sedikit memiliki koleksi 2500 judul”. Standar jumlah koleksi ini tidak berhubungan dengan definisi perpustakaan. Jika sebuah perpustakaan memiliki jumlah koleksi dibawah standar, maka perpustakaan tersebut masih tetap dapat disebut perpustakaan. Namun perpustakaan tersebut tidak memenuhi standar seperti yang disepakati oelh masyarakat atau yang ditentukan oleh pemerintah. Hal ini dapat dianalogikan dengan produk keramik yang mengenal istilah KW-1, KW-2, atau KW-3. Jika sebuah pabrik keramik membuat keramik yang tidak memenuhi kualitas KW-1 sampai ke KW-3, maka produk keramik tersebut tetap dinamakan keramik, tetapi tidak memenuhi standar kualitas keramik.

Bogor, 7 Desember 2010

Menentukan Jumlah Koleksi Minimum Perpustakaan Perguruan Tinggi

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Lambat atau cepat perpustakaan akan berperan seperti yang diharapkan banyak orang. Perkembangan ini ditandai dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan. Namun demikian perjuangan para pustakawan masih panjang. Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh undang-undang sampai saat ini belum juga disahkan. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) ini sudah dibahas selama lebih dari dua tahun. Bahkan saat ini sudah memasuki tiga tahun. Banyak kendala dalam menyelesaikan RPP menjadi PP, diantaranya pemilu dan pemilihan presiden tahun 2008 dan 2009 yang menyita waktu para petinggi yang berkepentingan dengan disahkannya RPP ini. Tidak hanya itu, kesibukan pemerintahan presiden terpilih tahun pertama menyelesaikan program 100 hari serta pergantian menteri menyebabkan pembahasan RPP tentang pelaksanaan Undang-undang Perpustakaan nomor 43 tahun 2007 menjadi terpinggirkan. Namun beberapa waktu yang lalu pembahasan ini mulai hangat kembali. Pertengahan bulan November lalu tim penyusun RPP yang terdiri dari tim Perpusnas RI dan tim Balitbang Diknas bertemu dengan Wakil Menteri Pendidikan Nasional. Seharusnya tim ini bertemu dengan Menteri Pendidikan Nasional. Namun Mendiknas saat itu tidak bisa hadir karena ada rapat kabinet mendadak.

Pertemuan dengan Wamendiknas berkembang cukup baik. Ada beberapa pertanyaan dari Wamendiknas yang harus diklarifikasi oleh tim, diantaranya adalah dari mana angka 2.500 judul sebagai jumlah minimal koleksi perpustakaan perguruan tinggi. Sebenarnya RPP ini sudah ditayangkan di internet untuk mendapatkan tanggapan dari masyarakat. Namun sejauh ini belum ada yang bertanya demikian kritis seperti Wamendiknas. Angka 2.500 judul ini sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba atau dengan kata lain angka tersebut diambil saja dari langit. Namun ada dasarnya. Dasarnya adalah Surat Keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan nomor 0686/U/1991. SK Mendikbud 0686/U/1991 ini kemudian diperbaharui dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI nomor 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tingi. Keputusan ini memang tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. Namun didalam pedoman ini ada persyaratan minimum apa saja yang harus dimiliki oleh perguruan tinggi yang akan dibentuk termasuk didalamnya mengenai perpustakaan. Pasal 12 ayat 2 butir d KepMendiknas 234 tahun 2000 mengatur tentang jumlah minimum koleksi buku yang harus disediakan oleh perpustakaan pada suatu perguruan tinggi. Pasal ini merupakan penyempurnaan pasal 11 ayat 1 butir 3 SK Mendikbud 0686 tahun 1991 dimana isinya masih sama yaitu untuk program diploma dan program S1 harus disediakan: (a) buku mata buku mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) 1 judul. per-matakuliah; (b) buku mata kuliah ketrampilan dan keahlian (MKK) 2 judul per-mata kuliah; (c) jumlah buku sekurang-kurangnya 10% dari jumlah mahasiswa dengan memperhatikan komposisi jenis judul; (d) berlangganan jurnal ilmiah sekurang-kurangnya 1 judul untuk setiap program studi. Hanya istilah MKDU dan MKDK saja yang berubah menjadi MPK. Pasal inilah yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan jumlah koleksi minimum perpustakaan dalam Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi. Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi edisi kedua yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud RI pada tahun 1994. Pada halaman 36 dan 37 buku pedoman ini mensimulasikan jumlah koleksi minimum untuk tiga jenis pendidikan tinggi yaitu untuk Akademi dengan dua program studi, 300 orang mahasiswa dan 127 mata kuliah; Sekolah Tinggi dengan 4 program studi, 500 orang mahasiswa dan 307 mata kuliah; dan Universitas/Institut dengan 20 program studi, 5.000 orang mahasiswa dan 1.257 mata kuliah. Simulasi ini menghasilkan jumlah koleksi minimum untuk akademi adalah sebesar 1.631 judul dengan jumlah eksemplar sebesar 3.697 eksemplar; untuk sekolah tinggi berjumlah 3.856 judul dengan jumlah eksemplar sebesar 8.384 eksemplar; dan untuk universitas/institut berjumlah 15.017 judul dengan jumlah eksemplar sebesar 85.330 eksemplar. Nah, angka 2.500 judul sebagai jumlah minimal koleksi perpustakaan perguruan tinggi diambil dari rata-rata antara akademi dan sekolah tinggi yaitu 2.744 judul yang kemudian dibulatkan ke bawah menjadi 2.500 judul. Pertimbangan ini diambil dengan alasan bahwa perguruan tinggi terkecil akan memiliki minimal satu jurusan dengan dua program studi (pada akademi) sampai dua jurusan dengan empat program studi (pada sekolah tinggi) (pasal 2 SK Mendikbud 0686/U/1991). Pembulatan ke bawah diambil dengan pertimbangan bahwa masih banyak perguruan tinggi khususnya PTS yang kondisi perpustakaan masih sangat lemah. Itulah mengapa angka minimum koleksi perpustakaan perguruan tinggi pada Rancangan Peraturan Pemerintah ditetapkan sebesar 2.500 judul. Angka 2.500 judul tersebut terdiri dari (1) buku ajar untuk mendukung mata kuliah umum (MKDU); (2) mata kuliah dasar keahlian (MKDK); (3) mata kuliah keahlian (MKK); (4) buku anjuran; (5) buku pengayaan; (6) buku referensi umum; (7) buku referensi khusus; (8) terbitan berkala; (9) terbitan perguruan tinggi; (10) terbitan pemerintah; (11) koleksi khusus; (12) koleksi non buku; dan (13) jika perguruan tinggi tersebut menyelenggarakan pendidikan pascasarjana maka koleksinya harus ditambah dengan 500 judul buku serta 2 jurnal ilmiah untuk setiap program studi.

SK Mendikbud 0686/U/1991 memang sudah cukup tua sehingga kemudian diperbaharui dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI nomor 234/U/2000. Peraturan menteri mengenai standar perpustakaan perguruan tinggi memang belum pernah ada sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah dan Madrasah (Permendiknas nomor 24 tahun 2007) dan Permendiknas Tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah Kejuruan (Permendiknas nomor 40 tahun 2008). Hemat saya, harus segera dikeluarkan peraturan tentang standar teknis mengenai perpustakaan perguruan tinggi. Jika dimungkinkan standar ini bisa dikeluarkan oleh BSNP atau Badan Standarisasi Nasional Pendidikan. Jika BSNP tidak mengeluarkan standar ini, maka Perpustakaan Nasional RI dapat mengambil inisiatif untuk menyusunnya. Selanjutnya standar yang dikeluarkan oleh BSNP ini dijadikan dasar dalam menyusun kembali atau merevisi Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi. Buku Pedoman yang baru ini saya sarankan dapat menggabungkan isi dari pedoman yang sama edisi kedua 1994 dan edisi ketiga tahun 2004, dimana pada bagian koleksi perpustakaan tidak hanya disebutkan jumlah minimalnya saja, namun dijabarkan bahwa koleksi tersebut terdiri dari beberapa jenis koleksi seperti yang dicontohkan pada Permendiknas nomor 24 tahun 2007 dan Permendiknas nomor 40 tahun 2008 dimana koleksi perpustakaan dibagi menjadi: buku pelajaran, buku panduan pendidik, buku pengayaan, buku referensi, dan sumber belajar lain dimana didalamnya termasuk audio-visual.

Bogor, 2 Desember 2010

Bagaimana Seharusnya PNRI Menjaring Data Perpustakaan

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Dalam menulis kita biasanya membutuhkan banyak data. Banyak orang kemudian mencari data tersebut di BPS. Beberapa data penting memang ada di BPS. Namun untuk data yang spesifik seperti jumlah pustakawan di Indonesia, jumlah berbagai jenis perpustakaan dan lain-lain sangat sulit diperoleh. Data seperti ini mestinya dapat diperoleh dari Perpustakaan Nasional RI. Namun seringkali beberapa data yang ada di PNRI sangat ketinggalan. Kurangnya data atau kurangnya keakuratan data tersebut menyebabkan kita sering tidak bisa melakukan analisis dengan baik. Saya menyadari bahwa membangun data yang lengkap, akurat, dan mutakhir memang tidak mudah. Selain itu pasti memerlukan dana yang besar. Apakah dengan disediakan dana yang besar data yang kita perlukan dapat kita bangun? Belum tentu. Banyak sekali faktor yang berpengaruh terhadap proses membangun data tersebut.

Karena kebutuhan data untuk keperluan saya menulis sering tidak terpenuhi maka saya kemudian sering berangan-angan. Seandainya semua perpustakaan yang ada di Indonesia ini memiliki data yang akurat tentang jumlah koleksi yang dimiliki, jenis koleksi, bidang ilmu, luas gedung, anggaran, jumlah pengguna yang harus dilayani, dan banyak lagi indikator kinerja yang dapat dilaporkan, maka alangkah mudahnya kita melakukan kegiatan yang berkaitan dengan tulis menulis tentang perpustakaan, khususnya yang berisi analisis keadaan perpustakaan di Indonesia. Namun nampaknya angan-angan seperti ini masih jauh panggang dari api. Saya mengamati beberapa perpustakaan yang pernah saya kunjungi ternyata datanya sering tidak akurat. Masih ada yang menyatakan jumlah judul buku lebih banyak dari jumlah eksemplarnya. Sesuatu yang mustahil. Kalau jumlah eksemplar buku lebih banyak dari jumlah judulnya dapat dimengerti. Sebab ada judul yang jumlahnya lebih dari satu eksemplar. Namun sebaliknya adalah sesuatu yang tidak mungkin.

Saya kira PNRI mestinya bisa membangun data seperti yang saya dambakan di atas. Sebab PNRI merupakan lembaga pembina dari semua jenis perpustakaan (terlepas dari pro dan kontra soal pembina ini). Ini amanat dari undang-undang. Tentunya sebagai lembaga pembina PNRI memiliki kewenangan untuk meminta data dari semua perpustakaan. Namun apakah semua perpustakaan akan patuh dan memberikan datanya? Itu yang masih perlu dipertanyakan. Hemat saya Perpustakaan Nasional harus memberikan insentif terhadap data yang disediakan oleh setiap perpustakaan. Namun untuk memberi insentif seperti itu tidaklah mungkin, selain tidak mendidik juga memerlukan anggaran yang sangat besar. Jika memberikan insentif untuk setiap perpustakaan tidak bisa dilakukan, lalu bagaimana? Saya punya pikiran untuk memberikan apa yang disebut dengan competitive grand incentive bagi perpustakaan yang terdaftar di PNRI. PNRI dapat menyediakan sejumlah dana bantuan untuk pengembangan perpustakaan yang dipilih oleh tim seleksi PNRI. Bantuan tersebut dapat berbentuk: (1) Bantuan anggaran penyelenggaraan perpustakaan (saat ini sudah ada yang disebut dengan dana dekonsentrasi); Bantuan penambahan koleksi perpustakaan (saat ini juga sudah pernah dilaksanakan bantuan koleksi buku untuk perpustakaan kabupaten/kota, propinsi, perpustakaan keliling dan perpustakaan sekolah serta perpustakaan pesantren); (3) Bantuan pengadaan perangkat teknologi informasi (saat ini juga sudah dilakukan); (4) Pemberian hadiah bagi perpustakaan terbaik. Syaratnya perlu dibuat, misalnya perpustakaan tersebut terdaftar di PNRI dengan bukti nomor pendaftaran. Nah, dari proses pendaftaran perpustakaan ini data perpustakaan dapat dijaring, kemudian dibuatkan basisdatanya. Sintesis dari data ini dapat disajikan oleh PNRI melalui situs webnya PNRI.

Beberapa pemberian bantuan tersebut memang sudah pernah dilakukan seperti pengalokasian dana dekonsentrasi ke perpustakaan provinsi; pemberian bantuan koleksi buku untuk perpustakaan provinsi, kabupaten/ kota, perpustakaan keliling, perpustakaan sekolah, perpustakaan pesantren; dan pemberian bantuan perangkat teknologi informasi baik perangkat keras maupun perangkat lunak bahkan termasuk bantuan pelatihannya. Namun semua bantuan yang diberikan tersebut tidak dalam rangka competitive grand incentive. Mereka yang mendapat bantuan tidak perlu susah payah membangun perpustakaannya agar menjadi baik dan layak mendapat bantuan. Dengan competitive grand incentive maka perpustakaan yang ingin mendapatkan bantuan harus membangun dulu perpustakaannya menjadi baik, termasuk dari aspek manajemennya. Kemudian setiap perpustakaan harus membuat proposal yang disampaikan ke PNRI yang tentu saja proposal tersebut berisi kondisi perpustakaan saat proposal tersebut disampaikan. Dari proposal inilah PNRI akan mendapat data yang mutakhir dan akurat. Agar tingkat keakuratannya dapat dipertanggung jawabkan, maka setiap perpustakaan yang terpilih perlu dikonfirmasi semua datanya. Jika datanya tidak benar, maka bantuan tersebut bisa dibatalkan.

Untuk menjaring data pustakawan saya kira prosesnya lebih mudah dibandingkan dengan menjaring data perpustakaan. Saat inipun sebenarnya sudah ada data pustakawan. Namun seberapa besar tingkat kemutakhiran dan keakuratan data tersebut masih perlu dipertanyakan. Jika kita menginginkan data pustakawan yang akurat, maka saya pikir kita dapat menjaringnya dengan metode yang sama dengan menjaring data perpustakaan. Data pustakawan ini harus dikaitkan dengan program insentif yang diberikan oleh PNRI. Misalnya, PNRI bisa memberikan insentif yang dikompetisikan (competitive grand incentive) dalam bentuk: (1) memberikan hadiah bagi pemenang lomba; (2) memberikan hadiah bagi pustakawan yang terpilih sebagai pustakawan terbaik tingkat nasional; (3) memberikan dana penelitian atau kajian kepada pustakawan yang terpilih; (4) memberikan beasiswa belajar untuk meningkatkan pengetahuannya pada pusdiklat PNRI; (5) memberikan beasiswa belajar untuk mendapatkan gelar di bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Seperti pada pemberian competitive grand incentive pada lembaga perpustakaannya, maka untuk mendapatkan grand ini juga harus diberlakukan beberapa syarat. Syarat tersebut antara lain misalnya, pustakawan yang mengikuti program kompetisi harus terdaftar sebagai pustakawan di PNRI dibuktikan dengan nomor anggota sebagai pustakawan di PNRI. Tentu saja untuk mendapatkan nomor ini pustakawan harus mendaftar dengan mengisi formulir yang berisi data yang diperlukan oleh PNRI. Dengan cara seperti ini saya yakin setiap pustakawan akan sangat antusias mendaftarkan dirinya kepada PNRI karena ia berharap dengan keanggotaannya ini suatu saat ia akan mendapatkan salah satu dari program kompetisi yang disediakan oleh PNRI.

Pendaftaran ini dapat lebih dipermudah dengan perkembangan teknologi informasi saat ini. Dengan metode lama maka PNRI perlu menyebarkan formulir yang berisi pertanyaan atau data yang ingin dikumpulkan oleh PNRI. Dari formulir yang terkumpul kemudian datanya diinput ke basisdata yang ada di PNRI. Baru kemudian data tersebut disajikan baik melalui online ataupun melalui dokumen tercetak. Proses ini pasti memerlukan waktu yang tidak sedikit. Belum lagi kesalahan orang dalam melakukan input data (human error); ketidakseriusan pustakawan dalam mengisi data dalam formulir; keengganan pustakawan mengisi formulir; dan lain-lain. Inilah yang menyebabkan kesalahan dan ketidakakuratan data yang ada di PNRI. Sebagai contoh, saya melihat data pustakawan yang sudah pensiun atau meninggal masih ada di basisdata PNRI. Saya kira dengan teknologi informasi yang ada sekarang ini proses ini dapat dipangkas. PNRI dapat membuat sistem dimana setiap pustakawan dapat memperbaiki (mengedit) datanya sendiri melalui internet. Selain data pustakawan dan atau perpustakaan dapat dengan cepat berubah sesuai dengan perkembangan pustakawan dan atau perpustakaan tersebut, data tersebut pasti akurat karena yang memperbaiki adalah pemilik data. Memang, kemungkinan terjadi data yang diunggah ke internet tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan pasti ada. Namun dengan ancaman pembatalan program insentif bila data yang dituliskan tidak benar, kemungkinan ini tentu dapat diminimalkan.
Angan-angan saya agar PNRI dapat menjaring data seperti di atas memang tidak mudah dilaksanakan. Namun, berharap agar PNRI dapat melaksanakan seperti angan-angan saya di atas tentunya tidak salah toh.

Bogor, 23 November 2010

Anggaran Dasar IPI Pasca UU 43 tahun 2007

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Entah mengapa saya tertarik membaca Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IPI yang saya peroleh ketika menghadiri acara Rakerpus IPI ke XVI di Mataram, NTB baru-baru ini. AD/ART yang saya baca ini adalah AD/ART hasil kongres IPI ke XI tahun 2009 di Batam. Biasanya saya membaca sepintas saja karena saya sudah dapat menduga bagian mana yang berubah sesudah kongres. Namun kali ini saya membaca tuntas dari halaman judul sampai halaman terakhir. Ada yang menarik menurut saya pada perubahan AD/ART hasil kongres IPI ke XI di Batam ini sebut saja AD/ART baru. Pada AD/ART lama tidak ada definisi atau pengertian pustakawan. Misalnya pada AD/ART terbitan tahun 1999 tidak terdapat definisi pustakawan baik pada bagian AD maupun bagian ART. Pada AD/ART terbitan 1993 pengertian pustakawan dijelaskan pada ART yaitu bahwa pustakawan adalah (a) Mereka yang memiliki kualifikasi ilmu perpustakaan, dokumentasi atau informasi melalui pendidikan sekurang-kurangnya D-II; (b) Mereka yang mengabdi dan atau bekerja di bidang perpustakaan, sesuai dengan persyaratan jabatan pustakawan; (c) Mereka yang menjabat Pustakawan berdasarkan SK Menpan no. 18/MENPAN/1988; (d) Mereka yang sudah menjadi anggota IPI sebelum Kongres IPI ke-6. Pada AD/ART baru atau terbitan 2010 pengertian pustakawan dijadikan salah satu pasal pada Anggaran Dasar yaitu pada Bab Ketentuan Umum pasal 1 yang bunyinya dikutip persis (ditambah dengan kata serta pengembangan) dari pasal 1 ayat 8 UU 43 tahun 2007 yang berbunyi: “Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan serta pengembangan perpustakaan.” Saya kira maksud sidang kongres adalah untuk mempertegas bahwa Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) ini merupakan tempat berhimpunnya para pustakawan yang memenuhi syarat atau sesuai dengan definisi Undang-undang nomor 43 tahun 2007. Saya kira ini kemauan dan semangat yang sangat berani karena dengan definisi ini anggota IPI akan berkurang secara signifikan. Mengapa? Ada beberapa alasan yang menyebabkan anggota IPI menjadi berkurang dengan menerapkan definisi tersebut. Pertama, selama ini sudah menjadi rahasia umum bahwa semua orang yang bekerja di perpustakaan mengaku dirinya pustakawan dan dapat menjadi anggota IPI (lihat definisi pustakawan pada ART IPI 1993 dan pasal 1 ayat 1 AD/ART IPI terbitan tahun 2006). Dengan definisi baru ini maka banyak anggota IPI yang terpaksa menanggalkan keanggotaannya karena sesuai dengan definisi ini ia tidak lagi memenuhi syarat sebagai pustakawan. Kedua, dengan definisi ini maka yang dapat menjadi anggota IPI adalah jika dan hanya jika seseorang tersebut adalah pustakawan. Dosen dalam bidang ilmu perpustakaan tidak termasuk didalamnya. Sebab dosen tidak mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan serta pengembangan perpustakaan. Betul, seorang dosen ilmu perpustakaan dapat saja memiliki kompetensi kepustakawanan yang diperoleh melalui pendidikan. Namun ia tidak memenuhi syarat sebagai pustakawan karena ia tidak melaksanakan sekaligus tiga hal yang dipersyaratkan yaitu pengelolaan dan pelayanan serta pengembangan perpustakaan. Ketiga, saya kira ini juga berlaku untuk pustakawan yang sudah pensiun. Ia tidak lagi memenuhi syarat untuk disebut sebagai pustakawan sesuai dengan definisi tersebut. Sebab ia tidak lagi mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan serta pengembangan perpustakaan.

Namun, tidak demikian barangkali yang dipikirkan oleh sidang kongres ketika merevisi AD/ART ini. Sebab hasil sidang kongres IPI Batam yang dituangkan dalam Anggaran Dasar pada pasal 16 ayat 2 disebutkan bahwa yang menjadi anggota biasa adalah warga negara Indonesia dan warga negara asing yang berdomisili di Indonesia, yang berpendidikan dan berpengalaman di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi. Jika demikian, apa manfaat definisi pustakawan pada pasal 1 ayat 1 Anggaran Dasar ini? Padahal jelas menurut UU 43 tahun 2007 organisasi profesi pustakawan adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan oleh pustakawan untuk mengembangkan profesionalitas kepustakawanan. Jika organisasi profesi yang dimaksud oleh UU 43 tersebut adalah IPI (sekali lagi jika IPI yang dimaksud oleh UU 43), maka anggota IPI haruslah hanya dari kelompok pustakawan (pasal 34 UU 43 tahun 2007). Bahkan UU ini mewajibkan setiap pustakawan untuk menjadi anggota organisasi profesi (pasal 34 ayat 3). Jadi jelas pasal 16 ayat 2 Anggaran Dasar IPI bertentangan dengan pasal 34 Undang-undang 43 tahun 2007. Saya kira ketidak sesuaian ini harus diperbaiki, setidaknya pada kongres ke XII yang akan datang, sebab AD/ART hanya dapat diubah melalui kongres. Untuk mengakomodir keanggotaan pakar ilmu perpustakaan dari kalangan dosen dan atau pensiunan pustakawan, Anggaran Dasar IPI dapat memasukkannya dalam anggota luar biasa atau anggota kehormatan. Namun perlu diingat bahwa anggota luar biasa atau anggota kehormatan hanya memiliki hak bicara saja dan tidak mempunyai hak suara, hak memilih dan hak dipilih. Demikian juga anggota luar biasa dan anggota kehormatan tidak mempunyai hak untuk menjadi pengurus. Jika anggota luar biasa ingin ikut aktif dalam aktifitas IPI, mereka dapat bekerja sebagai anggota sekretariat IPI. Atau jika ia menginginkan menjadi pengurus, maka ia harus bekerja sebagai pustakawan di sebuah perpustakaan.

Kembali pada bentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi profesi, saya mencoba melakukan perbandingan. Tiga AD/ART organisasi profesi yang saya sempat baca adalah AD/ART Ikatan Dokter Indonesia (ID) dan AD/ART Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan AD/ART Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Pada ketiga AD/ART tersebut tidak terdapat pasal yang menjelaskan definisi profesi masing-masing, seperti definisi dokter pada AD/ART IDI atau definisi guru pada AD/ART PGRI atau definisi Apoteker pada AD/ART Ikatan Apoteker Indonesia. Saya belum sempat membaca AD/ART organisasi profesi yang lain. Namun dengan tiga organisasi profesi pembanding tersebut sebenarnya saya bisa menyimpulkan bahwa pustakawan belum percaya diri terhadap profesinya sehingga masih memerlukan bantuan definisi dengan mengutip definisi pustakawan dari undang-undang. Saya kira kita para pustakawan harus berani menyatakan bahwa pustakawan adalah profesi, terlepas dari profesi ini masih mengalami persoalan. Pustakawan sudah didefinisikan oleh Undang-undang. Dengan definisi ini jelas bahwa Ikatan Pustakawan Indonesia atau IPI adalah organisasi milik pustakawan yang anggotanya adalah pustakawan. Oleh karena itu hemat saya organisasi ini harus melakukan perubahan AD/ART sesuai dengan perkembangan dan tuntutan profesi pustakawan yang diamanatkan oleh pasal 34 Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.

Minat Baca

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Suatu kali penulis berkesempatan menghadiri acara seminar yang acaranya bersamaan dengan musyawarah nasional GPMB. GPMB adalah Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca yang terbentuk untuk mendorong tumbuhnya minat baca di masyarakat Indonesia. GPMB ini berdiri setelah presiden RI pada saat itu dijabat oleh Ibu Megawati mencanangkan gerakan minat baca di PNRI. Munas GPMB tahun 2008 (?) yang secara kebetulan penulis hadiri, dilaksanakan di Makassar. Seperti biasanya, munas ini merupakan ajang untuk mempertanggung jawabkan kepengurusan periode yang lalu dan memilih ketua yang akan memimpin organisasi ini ke depan. Munas ini sepertinya dihadiri oleh banyak pustakawan dan pejabat-pejabat perpustakaan baik PNRI maupun perpustakaan propinsi. Kebetulan penulis bertemu dengan beberapa kolega pustakawan yang banyak bercerita bahwa GPMB tersebut terselenggara dengan sukses.

Penulis hanya dua hari berada di Makassar. Hari kedua penulis menuju Bandara internasional Hasanuddin yang lama. Bandara ini belum seperti kondisi sekarang yang demikian besar dan megah. Ternyata di bandara sudah berkumpul para peserta munas GPMB dari berbagai daerah yang juga mau kembali ke tempatnya masing-masing. Sebagian besar dari Jakarta. Di bandara Hasanuddin ini para “pustakawan” ini beraktifitas sambil menunggu boarding. Seperti biasanya, penulis selalu berbekal buku bacaan untuk mengisi waktu luang selama menunggu. Karena waktu penerbangan penulis yang masih lama, maka penulis dan isteri mengeluarkan buku untuk dibaca. Di sela-sela kegiatan membaca tersebut penulis masih sempat memperhatikan para kolega pustakawan yang ada di ruang tunggu. Ternyata tidak satupun dari mereka yang melakukan kegiatan yang sama dengan penulis yakni membaca buku. Penulis berpikir, “bagaimana mereka akan menggerakkan orang untuk membaca, kalau mereka sendiri ternyata tidak membaca?”

Ternyata betul, budaya membaca masih sangat jauh dari masyarakat kita. Di negara maju kita bisa lihat orang membaca di ruang tunggu seperti bandara ini. Mereka membaca di kendaraan umum seperti bis dan kereta, bahkan mereka tetap membaca ketika posisi mereka sebenarnya tidak nyaman untuk membaca seperti di bis yang sesak dengan penumpang. Di republik tercinta ini pustakawan saja, yang selama hidupnya berada disekeliling bahan bacaan, masih malas membaca. Seorang kolega membantah ketika penulis mengatakan bahwa budaya baca kita ini masih rendah. Katanya, dia selalu membaca. Apa yang dibacanya? Ternyata dia mengatakan untuk mengerjakan klasifikasi dia harus membaca terlebih dahulu dokumen yang dikerjakannya. Penulis katakan itu salah. Karena yang termasuk klasifikasi membaca itu adalah membaca yang fakultatif, bukan kegiatan membaca yang imperatif. Kegiatan membaca imperatif tidak dapat dihitung sebagai kegiatan membaca sebagai bagian dari budaya baca, karena kegiatan ini merupakan keharusan atau kewajiban yang berkaitan dengan pekerjaan, pelajaran dan lain-lain. Yang harus dihitung sebagai kegiatan membaca pada budaya baca adalah kegiatan membaca yang fakultatif, yaitu kegiatan membaca karena suatu pilihan atau dorongan psikologis dari dalam diri seseorang untuk membaca. Tidak ada paksaan untuk membaca pada kegiatan ini. Mereka membaca semata-mata karena dorongan dalam dirinya yang selalu ingin membaca. Pertanyaannya, seberapa banyak pustakawan yang masuk dalam kelompok peminat baca tinggi ini? Wallahua’lam bissawab.

Sabtu, 27 November 2010

Trust

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Trust menurut Kamus Inggris – Indonesia karangan John M. Echols dan Hassan Shadily adalah kepercayaan. Dalam pengembangan perpustakaan maka unsur kepercayaan atau trust ini memegang peranan penting. Misalnya, pada konsep perpustakaan 2.0. (library 2.0.) menempatkan kepercayaan sebagai komponen yang harus dipertimbangkan. Rumusnya adalah:

P2.0.= (book n stuff + people + radical trust) X participation

Tidak mudah memang membangun kepercayaan ini. Di perpustakaan seringkali pustakawan tidak percaya kepada pemustaka. Ini karena banyak kejadian yang menyebabkan pustakawan selalu curiga kepada pemustaka. Misalnya, adanya penyobekan buku, pencurian buku, sampai pada pencurian peralatan yang disediakan untuk pemustaka (seperti mouse komputer dll). Di lain pihak, pemustaka juga curiga kepada pustakawan, misalnya ada informasi yang disembunyikan agar dapat di”perjual-belikan” secara ilegal dan lain-lain.

Berbicara tentang trust ini penulis teringat kepada diskusi antara pustakawan dengan beberapa pimpinan institusi tempat penulis bekerja, salah satunya adalah Prof. Syafrida Manuwoto. Beliau mengatakan bahwa tidak adanya trust ini merupakan penyakit bangsa kita. Contohnya dapat kita lihat di jalanan. Pada lampu lalu lintas di perempatan jalan sering tidak berfungsi dengan baik. Bukan lampunya yang tidak menyala. Namun ada saja orang yang lenaggar peraraturan, seperti walaupun lampu merah sudah menyala, masih ada saja pengendara yang menerobos. Kecuali jika dijaga oleh polisi. Ini karena trust tidak terbangun dengan baik. Berbeda dengan negara maju yang sistemnya sudah berjalan. Ketika penulis menyelesaikan studi penulis di Sheffield, penulis tinggal di university flat. Kebetulan sekali dapur flat penulis berada tepat di sudut menghadap ke sebuah pertigaan. Setiap sore ketika penulis menunggu nasi matang, penulis sering berdiri di jendela menghadap pertigaan tersebut. Di pertigaan ini tidak ada lampu merah. Hanya ada bundaran yang dibuat dengan menggambar aspal dengan cat putih. Penulis selalu memperhatikan mobil yang melintas bundaran tersebut. Ketika mobil akan masuk budaran, maka mobil itu selalu berhenti sejenak. Sekalipun tidak ada mobil lain yang melintas. Kemudian barulah mobil itu masuk ke wilayah bundaran tersebut untuk melintas. Herannya, tidak ada satupun mobil yang menginjak batas bundaran tersebut. Padahal tidak ada satupun polisi yang menjaga di pertigaan itu. Ini terjadi karena trust sudah terbangun. Intinya adalah aturan dibuat untuk dipatuhi, bukan untuk dilanggar. Penulisngnya di republik kita tercinta ini kesadaran untuk mematuhi aturan belum sepenuhnya berjalan. Sehingga trust ini tidak terbangun. Bahkan sering kita dengar joke yang mengatakan bahwa di negeri ini peraturan itu dibuat bukan untuk dipatuhi tetapi untuk dilanggar.

Kembali kepada trust di perpustakaan. Hemat penulis trust ini harus dibangun. Caranya adalah dimulai dari pustakawan sendiri. Pertama, pustakawan harus konsisten. Jika perpustakaan melarang pemakainya menggunakan sandal jepit jika masuk ke perpustakaan, maka pustakawan haruslah orang pertama yang mematuhi aturan tersebut. Begitu juga, jika perpustakaan melarang pemakai melakukan kegiatan makan, minum dan merokok di ruang publik perpustakaan, maka harusnya tidak ada pustakawan yang melakukan kegiatan makan, minum dan merokok di ruang tersebut. Kedua, manajemen di perpustakaan harus sempurna. Bahkan harus mendekati zero defect. Jadi tidak boleh ada kasus transaksi peminjaman maupun pengembalian yang lupa dicatat. Apalagi sudah menggunakan teknologi informasi. Dengan demikian maka pemustaka tidak akan mencoba-coba berbohong mengatakan sudah mengembalikan, padahal belum misalnya. Jika ada layanan yang berbayar, maka harus dibuatkan aturan mainnya dengan terbuka. Tidak sembunyi-sembunyi. Tarif yang jelas dan bisa dikontrol oleh siapa saja. Yang ketiga, buatkan kondisi ruang publik yang nyaman sehingga pemustaka tidak merasa diawasi. Pengawasan dilakukan secara tersembunyi misalnya dengan security gate ataupun kamera pengintai. Yang keempat, pustakawan selalu melakukan sosialisasi kepada pemustaka tentang perpustakaan dan layanan yang diberikan. Pustakawan harus selalu siap membantu bila diperlukan. Dan yang kelima, lakukanlah pendidikan pengguna sehingga pemustaka merasa mudah menggunakan perpustakaan.

Dengan upaya-upaya tersebut kita sudah membuat fondasi untuk membangun trust terhadap pemustaka. Pemustaka yang dengan mudah mendapatkan informasi di tempat kita tidak akan curiga kepada pustakawan bahwa pustakawan menyembunyikan informasi untuk tujuan bisnis informasi ilegal.

Diperlukan Outliers di Pustakawan

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Outliers adalah sebuah kata yang cukup baru. Mungkin tidak banyak yang mengenal kata ini. Menurut Pak Asep Saefuddin, Pak Andi Hakim Nasoetion (mantan Rektor IPB dan seorang ahli statistika terapan) menerjemahkan outliers tersebut sebagai pencilan yaitu suatu pengamatan statistik yang nilainya berbeda sekali dari kelompoknya1. Pak Asep memberikan ilustrasi seperti ini. Pada populasi ayam dengan bobot rata-rata 2 kg dan simpangan baku 0,2 kg, maka kita akan sulit menemukan ayam dengan bobot di atas 3 kg. Jika ada ayam yang berbobot di atas 3 kg, maka ayam tersebut disebut sebagai outliers karena dia mencil jauh di atas kawan-kawannya. Karena itu maka outliers tersebut diterjemahkan menjadi pencilan. Kata outliers ini oleh digunakan oleh Malcolm Gladwell sebagai judul bukunya. Buku ini kemudian menjadi bestseller selain dua buku lainnya dengan judul Tipping point dan Blink. Dalam buku outliers, Gladwell menggambarkan bagaimana orang-orang menjadi outliers, yaitu orang-orang yang luar biasa di bidangnya. Beberapa orang tersebut seperti Bill Gates dan Bill Joy yang terkenal dalam bidang komputer. Dan masih banyak lagi nama-nama yang dicontohkan Gladwell sebagai outliers.
Dalam bidang kepustakawanan tentu kita mengenal Melvil Dewey dan Ranganathan. Dua orang itu adalah salah dua yang paling terkenal dalam bidang perpustakaan. Melvil Dewey yang menciptakan klasifikasi persepuluhan (Dewey Decimal Classification) yang sampai saat ini digunakan oleh ribuan perpustakaan di seluruh dunia. Sedangkan Ranganathan adalah orang yang menciptakan colon classification yang juga terkenal. Ranganathan juga terkenal dengan lima hukum dalam ilmu perpustakaan (five laws of library science). Lima hukum tersebut kira-kira seperti ini: buku untuk dibaca; pembaca harus disediakan buku sesuai kebutuhannya; setiap buku memiliki pembacanya sendiri; menghemat waktu pembaca; dan perpustakaan merupakan organisme yang tumbuh. Maka dua orang ini menurut saya termasuk outliers dalam bidang kepustakawanan.

Sudah puluhan atau ratusan tahun sejak Dewey dan Ranganathan ini berkibar sebagai outliers, kita tidak menemukan outliers lain dalam bidang kepustakawanan. Mengapa? Saya kira ada beberapa alasan yang bisa kita kemukakan. Diantaranya yang pertama, karena tidak adanya orang (pustakawan) yang mau dan mampu bekerja keras untuk mencapai outliers tersebut. Gladwell menggambarkan bagaimana personel the Beatles berlatih keras sebelum sukses menjadi band legendaris dunia. Konon mereka menghabiskan waktu lebih dari 10.000 jam untuk menjadi outliers dalam bidang seni yang ditekuninya tersebut. Bill Gates juga menghabiskan ribuan jam melakukan eksperimen di Computer Center milik University of Washington untuk mencapai karir yang kemudian merubah peradaban dunia. Alasan yang kedua, adalah tidak adanya kesempatan bagi pustakawan untuk melakukan eksperimen dalam bidang kepustakawanan. Gladwell memberi contoh bahwa Bill Gates memiliki kesempatan yang hampir tak terbatas untuk melakukan eksperimen dalam bidang komputer oleh pusat komputernya University of Washington. Begitu juga Bill Joy mendapatan kesempatan yang sama yang diberikan oleh University of Michigan. The Beatles mendapatkan jam manggung yang sangat berlebihan di Hamburg, Jerman yang memaksa mereka belajar banyak lagu agar mereka tetap ditonton dan tidak dilempari botol minuman oleh penonton.

Berbicara soal kesempatan ini, saya berbincang-bincang dengan Pak Blasius Sudarsono. Beliau terobsesi untuk membuka laboratorium perpustakaan di tempat beliau bekerja. Beliau berobsesi bahwa tempat beliau bekerja menjadi tempat berkumpulnya (rendezvous) para pustakawan untuk melakukan diskusi dan bereksperimen dalam bidang kepustakawanan. Saya kira kita patut mendukung obsesi beliau dan berupaya untuk merealisasikannya. Memang saya agak skeptis tentang hal ini. Adakah pustakawan yang bersedia menghabiskan ribuan jam dalam laboratorium perpustakaan yang akan dibangun oleh Pak Blasius ini? Pertanyaan ini saya sampaikan pada beliau pada kesempatan berbincang di hotel Millenium beberapa waktu yang lalu. “Mengapa?” Kata Pak Blasius. Saya bilang, pustakawan itu masih sibuk mencari makan Pak. Kemudian saya berandai-andai begini. Seandainya kegiatan ini disokong oleh donatur, dimana para pustakawan tersebut bisa mendapatkan “imbalan” dalam kegiatan di laboratorium tersebut, maka saya dapat sedikit menghapus sikap skeptis saya terhadap gagasan Pak Blasiun ini. Saya kemudian ingat dalam bukunya Gladwell bahwa Bill Gates mendapatkan “proyek” membuat perangkat lunak untuk pembayaran gaji sebuah perusahaan. Walaupun Gates berasal dari kalangan orang kaya, dan tidak memerlukan suntikan dana, namun “proyek” yang diperoleh Bill Gates dari aktifitasnya bermain-main dengan komputer mungkin dapat menginsprirasi kita untuk sedikit memodifikasinya untuk memperoleh bayaran dari aktifitas laboratorium perpustakaan tersebut. Mungkin gagasan Pak Blasius ini dapat terealisasi jika laboratorium ini dapat bekerjasama dengan perusahaan yang membutuhkan jasa para pustakawan dan para pustakawan dalam laboratorium ini tetap bereskperimen sambil mendapatkan “pekerjaan” dan tentu saja uang dari laboratorium tersebut.


1 Asep Saefuddin. Percikan Pemikiran: kepemimpinan dan pendidikan. Bogor: IPB Press, 2010. hal 37.

Kamis, 25 November 2010

Mampukah IPI Menjawab Tantangan Jaman?: Sebuah catatan pengalaman ikut memimpin IPI

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama Perpustakaan IPB)

Pendahuluan
Pustakawan diakui sebagai suatu profesi dan sejajar dengan profesi-profesi lain seperti profesi peneliti, guru, dosen, dokter dan lain-lain. Profesi secara umum diartikan sebagai pekerjaan. Menurut Sulistyo-Basuki (1991) ada beberapa ciri dari suatu profesi seperti (1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, (2) terdapat pola pendidikan yang jelas, (3) adanya kode etik profesi, (4) berorientasi pada jasa, (5) adanya tingkat kemandirian. Satu ciri dari sebuah profesi adalah adanya suatu organisasi profesi yang merupakan perwujudan dari kerjasama dan tekad seluruh warga profesi yang bersangkutan untuk bersatu dan berkembang bersama. Identifikasi ciri-ciri profesi ini telah sejak lama dilakukan sejalan dengan adanya tuntutan masyarakat untuk hanya menghargai lebih tinggi jenis-jenis pekerjaan yang termasuk dalam kategori profesi daripada jenis pekerjaan lainnya (Sungkana, 2002).
Menyadari bahwa perpustakaan merupakan salah satu profesi maka pustakawan Indonesia merasa terpanggil untuk membentuk suatu organisasi profesi yaitu dengan mendirikan Ikatan Perpustawan Indonesia yang lahir pada tanggal 6 Juli tahun 1973.
Sejak didirikan 37 tahun yang lalu, IPI telah berbuat banyak, yaitu antara lain menyelenggarakan beragam kegiatan dan pertemuan sesuai dengan AD/ART seperti kongres, rakerpus, seminar di tingkat pusat dan beragam pertemuan lain di tingkat daerah serta ikut berpartisipasi dalam forum regional (CONSAL) maupun forum internasional (IFLA). Silih berganti kepengurusan telah menghasilkan produk-produk keprofesian seperti jurnal, prosiding, newsletter, buku, pedoman dan lain sebagainya
Pengurus Pusat IPI perlu memperhatikan bahwa tahun-tahun mendatang, tantangan yang dihadapi akan makin banyak, makin kompleks, makin berkaitan satu sama lain, akibat pergeseran dari era independence menuju ke era interdependence. Karena itu keberadaan profesi kita yang dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang naik dan pasang surut perlu didiagnosa ulang untuk mengetahui kesiapan menghadapi tantangan yang berubah dengan cepat.
Banyak pertanyaan untuk dijawab secara bersama (sharing of experiences) oleh para pustakawan yang tergabung dalam organisasi IPI seperti:
a. Apa jenis kegiatan yang bisa diciptakan dalam koridor AD & ART untuk meningkatkan citra IPI sebagai profesi di tengah masayarakat. Dalam program reformasi birokrasi program semacam ini disebut dengan program Quick Win.
b. Selama ini dan hampir selalu, kepengurusan IPI diduduki oleh personal yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta yang sudah sibuk karena jabatannya yang tinggi dengan alasan memudahkan fasilitas, bantuan dan sebagainya. Masih relevankah hal ini untuk tahun-tahun mendatang?
c. Dalam hal dana, organisasi IPI tidak memiliki dana yang memadai, karena penggalangan dana baik melalui iuran maupun sponsor tidak berjalan mulus. Apakah yang harus dilakukan?
d. Bagaimana wujud sumbangan IPI terhadap kemajuan pendidikan kepustakawanan, mengingat semua jenis dan kegiatan pendidikan maupun pelatihan telah dimonopoli oleh lembaga pemerintah?
e. Bagaimana pengaruh prinsip otonomi dan desentralisasi terhadap profesi pustakawan baik di pusat maupun di daerah?
f. Sebagai organisasi profesi, alat kelengkapan/komponen apa yang harus ditambahkan supaya IPI lebih powerful?

Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menjawab tantangan jaman oleh IPI dalam upaya memberikan manfaat bagi anggotanya antara lain adalah sebagai berikut:
* Revitalisasi profesi kepustakawanan Indonesia
Ikatan Pustakakawan Indonesia harus melakukan revitalisasi dengan cara mengambil peran untuk hal-hal yang bersifat strategis misalnya saja ikut berperan aktif dalam penyusunan RPP Perpusakaan, pengembangan standard perpustakaan, pengembangan standar kompetensi profesi pustakawan, ikut serta dalam akreditasi perpustakaan dan lain-lain. Selain itu IPI dapat mengembangkan pedoman-pedoman atau guide-lines untuk pegangan pustakawan dalam menjalani profesinya.
* Pengembangan pendidikan Perpusdokinfo
Pendidikan perpustakaan yang mencetak pustakawan baik terampil maupun ahli telah berkembang cukup banyak di Indonesia. Namun ini hanya dilihat dari segi jumlah saja. Pertanyaannya bagaimana kualitas dari pendidikan tersebut? Sangat bervariasi, dari yang sangat maju sampai ke yang kurang maju. Ikatan Pustakawan Indonesia harus memfasilitasi agar penyelenggara program studi perpustakaan peduli terhadap peningkatan kurikulum. Menyamakan mutu setiap program studi memang suatu hal yang tidak mungkin, namun memberikan guide line kurikulum minimal untuk penyelenggaraan perpustakaan mungkin perlu. Memang, urusan kurikulum adalah urusan Ditjen Pendidikan Tinggi, namun IPI dapat memfasilitasi penyelenggara program studi untuk duduk bersama dalam mengembangkan kurikulum inti program perpustakaan.
* Pembinaan kelembagaan perpustakaan di daerah
Posisi kelembagaan perpustakaan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah sangat bervariasi. Ada yang dihargai dengan posisi yang cukup tinggi, misalnya setingkat Badan di provinsi, atau setingkat Direktorat di Universitas. Namun yang kurang beruntung masih sangat banyak. Disinilah Ikatan Pustakawan Indonesia diharapkan peranannya dalam memberikan advokasi dan fasilitasi untuk peningkatan status perpustakaan. Tugas ini memang tidak ringan dan sampai saat ini perlu pemikiran yang serius dan strategi yang tepat untuk membantu saudara-saudara kita yang belum beruntung tersebut.
* Pembinaan dan pengembangan pustakawan swasta
Salah satu problema yang sampai saat ini belum terpecahkan adalah ”memberikan” jabatan fungsional pustakawan pada pustakawan swasta. Ikatan Pustakawan Indonesia tentu saja bersama-sama pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah harus terus bersama-sama memikirkan dan mencari jalan keluar, bagaimana memberikan status jabatan fungsional kepada pustakawan swasta tersebut. Dengan status tersebut mungkin pustakawan di lembaga-lembaga swasta kondisinya menjadi lebih baik.
Selain itu ada beberapa hal yang menjadi perhatian IPI berkaitan dengan masalah-masalah internal organisasi seperti:
* Kartu anggota belum seragam dan tidak memberikan kebanggaan bagi anggota.
* Organisasi belum semua terbentuk dan berjalan dengan baik.
* Banyak anggota yang masih belum merasakan manfaat dari menjadi anggota IPI.
* Masalah jabatan fungsional, baik masalah besarnya tunjangan, maupun banyaknya pustakawan fungsional yang keluar dari pekerjaan pustakawan, disebabkan karena mutasi yang dilakukan oleh pihak Pemda.
* Perlunya akurasi database anggota IPI baik di pengurus cabang maupun di pengurus daerah.
* Perlunya IPI proaktif melihat perkembangan peraturan dan perundang-undangan yang akan dibuat pemerintah sehingga lembaga perpustakaan maupun pustakawan tidak tertinggal peranan formalnya.
* Perlunya sertifikasi bagi pelatihan perpusdokinfo di daerah.
* Perlunya income generating activities bagi IPI untuk menghimpun dana guna membiayai aktifitas IPI.
* Penerbitan majalah Ikatan Pustakawan Indonesia perlu diusahakan terus.
* Perlu suatu sistem yang tepat untuk penghimpunan iuran.
* Perlunya dana abadi yang dapat dijadikan sumber pembiayaan kegiatan IPI.
Dalam usianya yang sudah mendekati 40 tahun seharusnya IPI sudah mulai matang dan sudah mulai mampu membangun citranya sendiri. Kenyataannya saat ini IPI masih belum bisa keluar dari ketergantunganya kepada instansi pemerintah seperti PNRI di tingkat pusat dan Badan Perpustakaan di tingkat provinsi. Ini sangat disayangkan, karena seharusnya IPI menjadi ”sparring patner” pemerintah dalam pengembangan perpustakaan. Namun dengan ketidak madiriannya ini IPI justru tidak mampu memberikan pressure kepada pemerintah dalam pengembangan perpustakaan.

Selasa, 02 November 2010

Apakah Pustakawan Sebuah Profesi?

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Beberapa bulan yang lalu saya berkesempatan mengikuti pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai perpustakaan. Pembahasan ini dilakukan antara tim penyusun RPP yang berasal dari Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dengan tim RPP yang berasal dari Balitbang Diknas (Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional). Tim PNRI terdiri dari beberapa pejabat PNRI ditambah dengan beberapa praktisi pustakawan termasuk saya. Mengenai judul RPP tersebut sengaja saya sebut RPP perpustakaan sebagai judul RPP sementara sebab judul RPP yang definitif memang belum ada dan masih dicari. Jumlah RPPnyapun masih simpang siur apakah akan dibuat satu saja RPP atau dua RPP. Masalah ini tidak akan saya bahas. Yang akan saya kemukakan disini adalah pembahasan tim penyusun RPP yang berkaitan dengan pertanyaan seperti pada judul tulisan ini, apakah pustakawan itu sebuah profesi?

Perdebatan diawali ketika tim sudah masuk kepada pembahasan masalah standar profesi dan sertifikasi profesi. Para pustakawan memang menghendaki agar pasal mengenai standar profesi tersebut masuk sebagai salah satu pasal dalam peraturan pemerintah. Maklum, di negeri ini sedang demam sertifikasi profesi. Seperti kita ketahui bahwa terhadap dosen dan guru sudah dilakukan sertifikasi profesi. Kepada pemegang sertifikat profesi dosen atau guru diberikan tunjangan profesi yang cukup menggiurkan yaitu sebesar satu bulan gaji yang bersangkutan. Artinya seorang guru atau dosen akan dalam sebulan mendapatkan penghasilan sebesar dua kali gaji ditambah dengan tunjangan fungsional. Maka tidak heran kalau pustakawan juga menginginkan penghargaan hal semacan itu. Namun yang mengejutkan ketika membahas profesi dan sertifikasi profesi pustakawan adalah munculnya pertanyaan dari salah seorang anggota tim yang berasal dari Balitbang Diknas. Pertanyaannya begini. Apakah pustakawan tersebut merupakan profesi? Tim dari pihak pustakawan tentu saja dengan sedikit emosi menjawab bahwa pustakawan adalah profesi. Mengapa? Kemudian tim PNRI menjelaskan dengan teori mengenai profesi yang dikutip dari bukunya Prof Sulistyo-Basuki. Menurut Prof Sulistyo pustakawan memang diakui sebagai suatu jabatan profesi dan sejajar dengan profesi-profesi lain seperti profesi peneliti, guru, dosen, hakim, dokter dan lain-lain. Ada beberapa ciri (dan pustakawan memiliki ciri itu) dari suatu profesi seperti (1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, (2) terdapat pola pendidikan yang jelas, (3) adanya kode etik profesi, (4) berorientasi pada jasa, (5) adanya tingkat kemandirian. Tim dari Balitbang Diknas tetap tidak dapat menerima pernyataan bahwa pustakawan tersebut adalah profesi. Dia meminta bukti bahwa jika pustakawan itu memang profesi, maka seharusnya ada pendidikan profesi pustakawan. Sebagaimana profesi dokter maka sebelum seorang dokter boleh menyandang gelar (profesi) dokter maka ia harus mengikuti pendidikan profesi dokter yang disebut Co-asistensi selama dua tahun. Begitu juga profesi pengacara yang diikuti oleh seorang sarjana hukum selama satu tahun sebelum yang bersangkutan boleh menyandang gelar profesi pengacara. Apakah ada pendidikan profesi bagi pustakawan? Ternyata menurut anggota tim tadi tidak ada. Bagaimana dengan guru dan dosen? Apakah ada pendidikan profesinya? Saya mendapat penjelasan bahwa untuk guru ada pendidikan akta IV dan untuk dosen ada pendidikan akta V. Apakah itu diberikan pada pendidikan profesi sebagaimana profesi dokter, pengacara, notaris dan lain-lain? Saya tidak mendapatkan jawaban memuaskan dari anggota tim Balitbang Diknas tersebut.

Pembahasan tentang serfikasi memang terus berlanjut. Beberapa pasal tentang sertifikasi pustakawan terbentuk. Namun bagi saya pertanyaan apakah pustakawan merupakan sebuah profesi tetap menggelitik. Pertanyaan ini harus segera dijawab, sebab ini menyangkut masa depan profesi pustakawan. Tentu bukan oleh pustakawan secara perorangan seperti saya ini. Hemat saya, Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) yang merupakan himpunan profesi pustakawan harus mengambil inisiatif untuk membahas masalah ini. Namun IPI saja tidak cukup. IPI harus duduk bersama dengan Perpustakaan Nasional RI sebagai wakil pemerintah (regulator) dibidang perpustakaan serta para wakil dari lembaga pendidikan (universitas). Kita tahu universitas yang menyelenggarakan pendidikan perpustakaan sudah banyak. Konon sudah mencapai lebih dari 23 universitas. Selain itu saya kira Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) perlu berkontribusi terhadap pembahan masalah ini. Bulan November ini IPI akan menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional Pustakawan (Rakerpus) di Mataram, NTB. Saya kira ada baiknya masalah pendidikan profesi ini diangkat pada Rakerpus kali ini. Jawaban atas pertanyaan anggota tim RPP dari Balitbang Diknas ini tetap ditunggu. Apakah seorang sarjana perpustakaan secara otomastis menyandang gelar profesi pustakawan? Apakah harus mengikuti pendidikan profesi pustakawan terlebih dahulu untuk menyandang gelar profesi pustakawan? Kalau ya, maka ini akan mengubah konstelasi pendidikan perpustakaan di Indonesia. Universitas penyelenggara pendidikan perpustakaan harus menyiapkan pendidikan profesi. Kurikulum pendidikan profesi juga harus disiapkan. Penyelenggaraan pendidikan profesi harus dilaksanakan. Para pustakawan yang sudah merasa menyandang gelar profesi pustakawan harus dipikirkan, apakah tetap harus mengikuti pendidikan profesi atau cukup disertifikasi saja. Dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Jika pendidikan profesi ini bisa terselengara, maka saya yakin hal ini akan menjawab perdebatan yang selama ini terjadi di kalangan pustakawan tentang pendidikan yang menghasilkan pustakawan. Dengan pendidikan profesi maka pustakawan akan dapat dibedakan, mana yang hanya produk kursus atau pelatihan dan mana yang produk pendidikan profesi. Dengan pendidikan profesi, maka tidak mungkin lagi sebuah proyek pelatihan dapat menghasilkan pustakawan. Mungkin pelatihan bisa menghasilkan tenaga terampil yang dapat melakukan pekerjaan perpustakaan, namun produk pelatihan tetap tidak dapat disebut pustakawan. Sebagaimana dukun beranak tetap tidak akan dapat menyandang gelar profesi bidan, walaupun dukun beranak tersebut sangat terampil dalam membantu persalinan seorang pasien seperti halnya bidan.

Senin, 01 November 2010

Kritik (lanjutan…) kepada IPI

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.
(Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Ketika tahun lalu penulis menghadiri Kongres IPI di Batam, penulis masih berstatus sebagai anggota pengurus pusat. Sayang sekali, penulis tidak mendapatkan tanda peserta walaupun penulis sudah melapor kepada panitia, sehingga penulis tidak bisa memasuki arena kongres. Barangkali ini akibat dari otokritik yang penulis sampaikan melalui media publik yaitu milis para pustakawan dan tenaga perpustakaan yang bernama ICS. Ya, pada otokritik itu penulis menggugat kepengurusan IPI pusat periode 2006-2009 yang didominasi oleh para pensiunan. Bayangkan, dua dari tiga ketua adalah pensiunan pejabat PNRI. Belum lagi koordinator seksi yang juga besaral dari pensiunan. Perkiraan penulis, lebih dari 50 % posisi strategis pengurus IPI di”duduki” oleh para pensiunan. Akibat otokritik ini dapat diduga, penulis dikucilkan dari kepengurusan IPI. Dipecat sih tidak, tetapi keberadaan penulis di pengurus IPI dianggap tidak ada. Bahkan ketika kongres berlangsung, ya di Batam itu, penulis dinyatakan berhalangan hadir, padahal penulis berada di Batam. Hanya ya itu tadi, penulis tidak mendapatkan tanda peserta kongres sehingga penulis tidak bisa masuk ke arena kongres.

Akhirnya yang bisa penulis lakukan adalah memantau jalannya kongres dari kawan-kawan pengurus IPI cabang Bogor. Di hotel tempat penulis menginap, kebetulan kamar kawan-kawan utusan IPI cabang Bogor bertetangga dengan kamar penulis. Dan kamar tersebut menjadi arena diskusi kawan-kawan utusan Bogor bersama penulis. Mereka melaporkan apa yang terjadi di arena kongres. Ternyata apa yang terjadi di Batam, merupakan pengulangan kongres sebelumnya di Denpasar. Salah satu yang menonjol adalah sebagian utusan yang datang ke kongres tidak membawa mandat sebagai utusan untuk mengikuti kongres. Padahal dalam tatatertib kongres sudah jelas dicantumkan bahwa kongres hanya boleh dihadiri oleh peserta yang membawa mandat dari pengurus daerah. Begitu juga tentang hak suara yang harusnya mereka tuntut. Dalam AD/ART jelas dikatakan bahwa pengurus daerah memiliki 3 suara, pengurus cabang memiliki 1 suara ditambah dengan 1 suara setiap 20 anggota yang terdaftar di cabangnya. Dari semua pengurus daerah dan pengurus cabang yang hadir, hampir semuanya tidak membawa daftar anggotanya (yang dibuktikan dengan nomor anggota). Dengan demikian maka mereka tidak dapat meng”klaim” suara yang seharusnya mereka peroleh. Dari kejadian ini mungkin kita perlu berbenah diri. Penulis mengusulkan, khususnya kepada pengurus IPI Cabang Bogor, agar mengadakan pelatihan dasar organisasi. Kemudian sertifikat pelatihan tersebut harus dijadikan sebagai syarat untuk duduk sebagai pengurus. Dengan pelatihan ini diharapkan, paling tidak IPI dapat menerapkan disiplin organisasi.

Selain itu sidang kongres di Batam ini tidak menghasilkan rekomendasi yang strategis kepada pemerintah menyangkut kehidupan kepustakawanan Indonesia. Padahal sesuatu yang strategis untuk kehidupan kepustakawanan Indonesia sedang diperjuangkan seperti Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan UU Perpustakaan yang belum kunjung disahkan oleh pemerintah. Seharusnya IPI menjadi “pressure group” yang mendesak pemerintah untuk segera mensahkan PP yang pada saat itu sedang diusulkan. Mungkin kita harus belajar dari kongres pustakawan-pustakawan senior kita dulu. Kongres PAPSI tahun 1956 misalnya, menghasilkan banyak sekali resolusi yang disampaikan kepada pemerintah, diantaranya resolusi tentang perlunya undang-undang perpustakaan.

Tentang DCPTA

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.
(Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Menurut Rachmad Natadjumena pada orasi ilmiahnya saat ini Indonesia memiliki pustakawan (PNS) sebanyak kurang lebih 2.888 orang. Padahal untuk perpustakaan sekolah saja Indonesia memerlukan sebanyak 219.785 pustakawan. Itu kalau satu sekolah dikelola oleh satu orang pustakawan. Jumlah ini belum termasuk kebutuhan pustakawan untuk perpustakaan nasional, perpustakaan umum, perpustakaan khusus, dan perpustakaan perguruan tinggi. Selanjutnya menurut beliau jika seluruh lembaga pendidikan perpustakaan di Indonesia menghasilkan 1.000 pustakawan saja setiap tahun, maka untuk memenuhi kebutuhan pustakawan di perpustakaan sekolah saja Indonesia memerlukan lebih dari 219 tahun. Untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan inilah maka PNRI membuka katup baru yang menghasilkan pustakawan yaitu program Diklat Calon Pustakawan Tingkat Ahli atau disingkat DCPTA. Diklat ini dilaksanakan selama 650 jam terhadap sarjana non perpustakaan. Pemegang sertifikat DCPTA dapat langsung masuk menjadi pustakawan yang setara dengan sarjana perpustakaan. Pro dan kontra tentu saja terjadi atas adanya DCPTA tersebut. Banyak yang setuju, namun tidak sedikit yang menentang. Bahkan banyak kalangan yang menggugat dan mempertanyakan kualitas pemegang sertifikat DCPTA. Bagaimana mungkin dengan hanya 650 jam seseorang dapat menjadi pustakawan. Padahal sarjana perpustakaan harus menjalaninya dengan berdarah-darah selama sedikitnya 4 tahun. Bahkan banyak yang tidak selesai tepat waktu sehingga mulur lebih dari 4 tahun.

Bagaimana pandangan penulis terhadap DCPTA ini? Hemat penulis seandainya lembaga pendidikan sudah bisa memenuhi kuota lulusan untuk kebutuhan pustakawan, maka DCPTA ini tidak perlu. Namun, mengingat kesenjangan antara kebutuhan pustakawan dan produktifitas lembaga pendidikan perpustakaan masih sangat besar, maka DCPTA ini masih diperlukan. Anggap saja bahwa DCPTA ini merupakan pintu darurat yang dibuka hanya pada keadaan darurat. Jika keadaan sudah normal, maka pintu ini harus ditutup kembali. Yang perlu kita cermati adalah bagaimana kurikulum dan jumlah jam (setara dengan bobot SKS) yang dilaksanakan oleh DCPTA memenuhi kualitas yang tidak jauh berbeda dengan pendidikan perpustakaan yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi. Sama persis mungkin sangat sulit. Hemat penulis, perlu dipetakan mata kuliah yang diajarkan di lembaga pendidikan perpustakaan dan dibandingkan dengan yang dilakukan oleh DCPTA. Di lembaga pendidikan perpustakaan tentu ada MKDU yang tidak ada hubungan langsung dengan keahlian pustakawan seperti Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kewiraan, dan lain-lain. Kemudian ada MKDK atau Mata Kuliah Dasar Keahlian yang terdiri dari Pengantar Ilmu Perpustakaan dan lain-lain. Terakhir adalah MKK atau Mata Kuliah Keahlian yang terdiri dari mata kuliah inti ilmu perpustakaan. Selanjutnya kita juga petakan pula mata kuliah dari DCPTA. Peserta DCPTA adalah seorang sarjana non perpustakaan. Tentunya mereka sudah mendapatkan MKDU yang hemat penulis sama dengan mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan. Dengan demikian pada DCPTA tidak perlu ada mata pelajaran MKDU. Kemudian mereka juga telah mendapatkan MKDK yang menjadi dasar bidang keilmuannya. Ini tentu berbeda dengan mahasiswa ilmu perpustakaan. Terakhir MKK yang tentunya berbeda dengan mahasiswa ilmu perpustakaan. Dengan pemetaan ini dapat diketahui ilmu perpustakaan apa saja yang harus diberikan pada DCPTA tersebut. Bobot SKSnya juga dapat ditentukan sehingga kita dapat menentukan berapa total jam yang harus diikuti oleh peserta DCPTA untuk memperoleh kelayanan sebagai seorang pustakawan.

Selain kurikulum dan jumlah jam pelaksanaan DCPTA, hal lain yang perlu diperhatikan adalah kualitas pengajar. PNRI sebagai pelaksana DCPTA hendaknya tidak asal comot dalam menrekrut pengajar atau instruktur. Harus diperhatikan selain kemampuan bidang keilmuan, khususnya ilmu perpustakaan, juga kemampuan instruktur tersebut dalam melakukan transfer ilmu (pedagogi?). Sebab tidak sedikit orang yang pintar, tetapi hanya pintar untuk diri sendiri, tidak dapat membuat orang lain pintar. Artinya orang yang seperti ini tidak layak untuk direkrut sebagai instruktur DCPTA.

Ada satu keuntungan yang didapat oleh penyelenggaraan DCPTA ini yang perlu dicatat. Pustakawan yang dilahirkan oleh DCPTA memiliki kompetensi ilmu lain yang mungkin sangat diperlukan dalam melaksanakan tugas-tugas kepustakawanan. Misalnya pustakawan yang bertugas di perpustakaan lembaga penelitian bidang pertanian akan lebih baik jika pustakawan tersebut memiliki bidang keilmuan pertanian. Pustakawan yang demikian inilah yang disebut dengan subject matter specialist.

Oleh karena itu, dengan pemetaan kurikulum yang benar, dan penentuan bobot SKS yang benar, serta didukung oleh instruktur yang mumpuni, hemat penulis tidak perlu lagi ada dikotomi pro dan kontra terhadap penyelenggaraan DCPTA. Namun tetap perlu diingat bahwa DCPTA adalah pintu darurat. Ketika kodisi sudah normal maka pintu darurat ini harus ditutup rapat-rapat.

Krisis Pustakawan di IPB

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.
(Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Perpustakaan di perguruan tinggi memang hanya penunjang. Saking dianggap tidak penting, beberapa petinggi perguruan tinggi menganggap perpustakaan ibarat vitamin pada komposisi makanan. Keberadaan vitamin memang wajib untuk asupan gizi manusia, namun keberadaannya hanya diperlukan sedikit saja, sangat sedikit bahkan. Begitu juga perpustakaan, keberadaannya wajib karena menjadi persyaratan untuk mendirikan sebuah universitas, namun hanya sekedar ada saja. Penulis menyaksikan sendiri ada sebuah perpustakaan di sebuah PTS di sebuah kota provinsi yang ruangannya berada paling belakang bersebelahan dengan toilet umum untuk mahasiswa.

Namun beberapa petinggi universitas menganggap bahwa perpustakaan merupakan jantung dari sebuah universitas yang bertugas memompakan darah ilmu ke seluruh sivitas akademika. Hal ini juga disadari betul oleh para wakil rakyat, sehingga atas inisiatif DPR dibuatlah undang-undang yang mengatur tentang perpustakaan ini. Didalam pelaksanaannya maka perpustakaan harus dikelola oleh tenaga perpustakaan yang disebut dengan pustakawan. Pustakawan adalah sebuah jabatan fungsional bagi PNS yang bekerja di perpustakaan. Untuk menjadi pustakawan diperlukan syarat-syarat khusus antara lain pendidikan di bidang ilmu perpustakaan. Oleh karena itu merekrut pejabat fungsional pustakawan tidaklah semudah merekrut tenaga administrasi biasa. Sejak berlakunya UU 43 tahun 2007 tentang pengaturan perpustakaan, maka pejabat pustakawan nantinya harus memiliki ijazah sarjana bidang perpustakaan.
Sejak diberlakukannya Kepmenpan tentang jabatan pustakawan, Perpustakaan IPB memiliki sejumlah pustakawan. Pada awalnya Perpustakaan IPB memiliki 63 orang pustakawan. Jumlah ini terus menurun dan pada tahun 2010 tinggal hanya 31 orang. Yang lebih menyedihkan penyusutan ini tidak hanya disebabkan oleh pustakawan yang pensiun, tetapi beberapa pustakawan di pindahkan oleh IPB menjadi tenaga administrasi biasa di beberapa unit di IPB. Sebut saja, ada pustakawan yang sekarang berada di KPE, Humas, Tata Usaha Sekolah Pasca Sarjana, dan masih ada di beberapa tata usaha fakultas. Seperti dikatakan diawal tulisan ini, merekrut pustakawan sangat sulit karena ada syarat-syarat khusus yang tidak mudah dimiliki oleh setiap PNS, sebaliknya merekrut tenaga administrasi biasa jauh lebih mudah karena tidak diperlukan syarat khusus.

Sampai tahun 2010 ini kondisi pustakawan IPB tinggal 31 orang yang terdiri dari 15 orang pustakawan ahli dan 16 pustakawan tingkat terampil. Keadaan ini menjadi sangat kritis manakala kita melihat dari usia mereka yang rata-rata sudah mencapai usia 50 tahun ke atas bahkan sebagian sudah berada di usia 55 tahun. Dalam 10 tahun yang akan datang pustakawan ini akan habis karena pensiun. Jika IPB tidak menginginkan kinerja perpustakaannya semakin menurun, maka krisis pustakawan ini perlu segera mendapat perhatian serius. Hemat penulis, untuk pemecahan masalah yang cepat, maka IPB harus mengembalikan pustakawan yang dipindahkan ke unit-unit lain di lingkungan IPB. Sebab rekrutmen baru tentunya tidak akan dapat segera terlaksana dengan cepat. Yang kedua adalah IPB harus membuka kesempatan alih fungsi dari tenaga administrasi menjadi pustakawan. Namun cara ini tentunya harus sembari mengirim tenaga ini ke diklat calon pustakawan yang dapat menjadi salah satu pintu untuk menjadi pustakawan. Yang ke tiga, tentunya IPB harus melakukan rekrutmen baru tenaga pustakawan yang besaral dari sarjana baru lulusan sekolah perpustakaan.

Kesempatan

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.
(Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Beberapa tahun yang lalu ketika penulis masih menjabat sebagai Kepala Perpustakaan, penulis pernah di”komplain” oleh salah seorang kolega pustakawan. Ia merasa diperlakukan tidak adil karena ia tidak pernah ditugasi untuk menjadi pembicara pada beberapa pertemuan yang dihadiri oleh penulis. Ia menuduh bahwa kesempatan menjadi pembicara pada beberapa pertemuan pustakawan tersebut selalu diambil sendiri oleh penulis karena kekuasaan penulis sebagai kepala. Dia berpikir sebagai kepala perpustakaan, penulis dapat dengan seenaknya menentukan siapa yang akan ditugasi menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Dengan kata lain jabatan kepala adalah tiket untuk menjadi pembicara dalam seminar. Dia tidak pernah berpikir bahwa untuk memiliki kemampuan sebagai pembicara dalam seminar seseorang harus mengalami pematangan baik dari aspek pengetahuan, skill, maupun kemampuan berbicara, serta yang paling penting adalah mendapatkan kepercayaan dari publik, khususnya panitia penyelenggara seminar. Dia berpikir apa susahnya berbicara tentang perpustakaan. Toh semua teori sudah tersedia. Tinggal baca, dan sampaikan. Begitu barangkali dia berpikir.
Sebagai pembicara seminar, maka seseorang harus menguasai pengetahuan yang berkaitan dengan materi yang dibawakannya. Untuk itu ia perlu waktu bertahun-tahun memupuk pengetahuannya sehingga ia mempunyai kelebihan dalam hal pengetahuannya tersebut dibandingkan dengan para koleganya. Dalam hal skill atau kemampuan teknis kepustakawanan, ia perlu mengasah kemampuan teknis tersebut dan tentu saja perlu waktu yang sangat lama. Seperti layaknya seorang dokter yang dapat mendiagnosa penyakit seorang pasien dengan hanya berdialog dan memeriksa denyut jantung pasien menggunakan stetoskop dalam beberapa menit, maka seorang pustakawan yang ahli dalam bidang TI Perpustakaan, dia dapat menemukan masalah dalam basisdata hanya dengan melihat dan menekan tombol papan ketik komputer dalam beberapa menit. Sekali lagi, untuk mendapatkan skill yang demikian, seseorang memerlukan latihan intensif dalam bentuk kerja dan dalam waktu yang sangat lama. Begitu juga kemampuan berbicara. Kemampuan berbicara seseorang tidak akan muncul dengan sendirinya, namun perlu dilatih bertahun-tahun. Seseorang yang pintar belum tentu dapat mengekspresikan pikirannya dihadapan orang banyak. Kadang-kadang apa yang akan disampaikannya segera menghilang ketika dia sudah berdiri dihadapan publik. Maka untuk mencapai kemampuan berbicara di depan publik yang baik, seseorang perlu latihan secara intensif dalam waktu yang juga sangat lama. Dan yang terakhir ini yang juga sangat penting yaitu kepercayaan dari publik terhadap kinerja kita. Orang yang pintar saja tidak serta merta dapat dipercaya untuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Untuk dapat dipercaya oleh orang lain, seseorang harus memperjuangkan sesuatu yang disebut dengan “citra” atau “image”. Membangun citra atau image building pasti tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Oleh karena itu, jika kita menginginkan dipercaya oleh orang lain untuk membagi pengetahuan dan skill kita dalam suatu pertemuan yang disebut dengan seminar, maka kita perlu memperjuangkannya untuk itu. Tidak ada kesempatan yang datang dengan cuma-cuma. Terbukti, setelah sekian tahun berlalu, kolega penulis yang melakukan komplain tersebut sudah menempati posisi yang pada waktu itu dianggap menjadi tiket untuk mejadi pembicara dalam seminar, toh sampai sekarang tidak ada seorangpun yang mengundangnya menjadi pembicara dalam seminar.

Kamis, 30 September 2010

Logika Kerja Pustakawan

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Sejak tahun 2006 penulis kebetulan dipercaya untuk menjadi anggota tim penilai angka kredit pustakawan di tingkat pusat. Tim Penilai tingkat pusat ini adalah tim yang melakukan penilaian atas DUPAK pustakawan yang akan naik dari golongan IVa ke golongan yang lebih tinggi sampai IVe. Atau pustakawan yang akan naik dari pustakawan madya ke pustakawan utama. Banyak pustakawan yang merasa mendapatkan kesulitan ketika dinilai oleh tim penilai pusat ini. Mereka merasa dipersulit untuk manapaki karir mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Padahal, tidak ada maksud sedikitpun dari anggota tim penilai ini untuk menghambat karir mereka. Yang mereka lakukan adalah mencoba menilai seobyektif mungkin sehingga jika seorang pustakawan naik pangkat atau jabatan, maka pustakawan tersebut memang pantas menduduki pangkat atau jabatan tersebut. Jangan sampai seorang pustakawan mempunyai pangkat jenderal namun memiliki kemampuan kopral. Begitu yang sering didengungkan oleh Pak Supriyanto, Deputi Pengembangan Sumberdaya Perpustakaan.

Terkait dengan judul di atas, penulis akan menyampaikan apa yang pernah penulis alami dalam meneliti DUPAK seorang pustakawan, sebagai kegiatan awal penilaian DUPAK. Pustakawan ini sangat luar biasa. Dari pustakawan pertama dengan pangkat IIIa yang bersangkutan oleh Rektornya dinaikkan menjadi pustakawan Madya dengan angka kredit sebesar 446,370, sementara pangkatnya hanya bisa naik satu tingkat yaitu IIIb. Setahun kemudian ia mengajukan tambahan angka kredit sebesar 746,91 sehingga total angka kredit pada DUPAK yang diusulkan menjadi sebesar 1193,28 dan mengusulkan dirinya untuk diangkat menjadi pustakawan utama. Semua anggota tim penilai pusat agak kebingungan menghadapi usulan yang tidak pernah disangka-sangka sebelumnya. Ini adalah kasus baru. Seorang pustakawan hanya dalam waktu satu tahun mengusulkan dari pustakawan madya menjadi pustakawan utama. Pada kesempatan rapat tim penilai pusat, ketua tim penilai memberikan tugas meneliti berkas pustakawan ini kepada penulis.

Penulis yakin ada sesuatu yang salah dalam pengusulan ini. Adalah tidak mungkin seorang pustakawan mampu mengumpulkan Angka kredit sebesar 746,91 hanya dalam waktu satu tahun. Sebagai ilustrasi saja, angka kredit menulis buku yang dipublikasikan secara nasional memiliki nilai Angka Kredit sebesar 12,5. Jika seluruh angka kredit yang diajukan tersebut kita anggap berasal dari satu kegiatan saja yaitu dari menulis buku, maka yang bersangkutan pasti telah menulis buku sebanyak kurang lebih 60 judul buku dalam satu tahun. Suatu angka yang penulis yakin belum pernah dilakukan orang.

Hasil penelitian penulis terhadap usulan pustakawan ini memang menunjukkan adanya kesalahan hitung. Misalnya pada bagian kegiatan membuat resensi buku, pustakawan ini mengusulkan suatu angka yang fantastis yaitu sebesar 3.000 judul buku yang diakuinya dibuatkan resensinya dalam satu tahun. Padahal standar waktu atau norma waktu untuk membuat resensi buku adalah 9 jam per judul buku. Artinya, untuk membuat resensi satu judul buku diperlukan 9 jam yang terdiri dari kegiatan membaca buku tersebut sampai menuliskan resensinya. Jika yang bersangkutan membuat resensi atas 3.000 buku, maka yang bersangkutan memerlukan waktu sebanyak 27.000 jam dalam satu tahun. Padahal, satu tahun kerja menurut standar Menpan orang hanya bekerja 1.250 jam saja. Ini jam efektif kerja yang sudah dipotong waktu istirahat, sholat, cuti, bahkan sudah diperhitungkan ketika seorang PNS ke kamar kecil. Dugaan penulis adalah, pustakawan ini sesungguhnya tidak melakukan sendiri resensi terhadap buku tersebut, namun mengumpulkan hasil resensi yang dilakukan oleh orang lain. Sayang sekali, logika kerja dari pustakawan ini tidak digunakan sehingga dia tidak memperhitungkan bahwa seseorang pasti memiliki keterbatasan dalam melakukan pekerjaan, dan keterbatasan yang menyangkut waktu, tidak akan bisa direkayasa.