Senin, 01 November 2010

Kritik (lanjutan…) kepada IPI

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.
(Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Ketika tahun lalu penulis menghadiri Kongres IPI di Batam, penulis masih berstatus sebagai anggota pengurus pusat. Sayang sekali, penulis tidak mendapatkan tanda peserta walaupun penulis sudah melapor kepada panitia, sehingga penulis tidak bisa memasuki arena kongres. Barangkali ini akibat dari otokritik yang penulis sampaikan melalui media publik yaitu milis para pustakawan dan tenaga perpustakaan yang bernama ICS. Ya, pada otokritik itu penulis menggugat kepengurusan IPI pusat periode 2006-2009 yang didominasi oleh para pensiunan. Bayangkan, dua dari tiga ketua adalah pensiunan pejabat PNRI. Belum lagi koordinator seksi yang juga besaral dari pensiunan. Perkiraan penulis, lebih dari 50 % posisi strategis pengurus IPI di”duduki” oleh para pensiunan. Akibat otokritik ini dapat diduga, penulis dikucilkan dari kepengurusan IPI. Dipecat sih tidak, tetapi keberadaan penulis di pengurus IPI dianggap tidak ada. Bahkan ketika kongres berlangsung, ya di Batam itu, penulis dinyatakan berhalangan hadir, padahal penulis berada di Batam. Hanya ya itu tadi, penulis tidak mendapatkan tanda peserta kongres sehingga penulis tidak bisa masuk ke arena kongres.

Akhirnya yang bisa penulis lakukan adalah memantau jalannya kongres dari kawan-kawan pengurus IPI cabang Bogor. Di hotel tempat penulis menginap, kebetulan kamar kawan-kawan utusan IPI cabang Bogor bertetangga dengan kamar penulis. Dan kamar tersebut menjadi arena diskusi kawan-kawan utusan Bogor bersama penulis. Mereka melaporkan apa yang terjadi di arena kongres. Ternyata apa yang terjadi di Batam, merupakan pengulangan kongres sebelumnya di Denpasar. Salah satu yang menonjol adalah sebagian utusan yang datang ke kongres tidak membawa mandat sebagai utusan untuk mengikuti kongres. Padahal dalam tatatertib kongres sudah jelas dicantumkan bahwa kongres hanya boleh dihadiri oleh peserta yang membawa mandat dari pengurus daerah. Begitu juga tentang hak suara yang harusnya mereka tuntut. Dalam AD/ART jelas dikatakan bahwa pengurus daerah memiliki 3 suara, pengurus cabang memiliki 1 suara ditambah dengan 1 suara setiap 20 anggota yang terdaftar di cabangnya. Dari semua pengurus daerah dan pengurus cabang yang hadir, hampir semuanya tidak membawa daftar anggotanya (yang dibuktikan dengan nomor anggota). Dengan demikian maka mereka tidak dapat meng”klaim” suara yang seharusnya mereka peroleh. Dari kejadian ini mungkin kita perlu berbenah diri. Penulis mengusulkan, khususnya kepada pengurus IPI Cabang Bogor, agar mengadakan pelatihan dasar organisasi. Kemudian sertifikat pelatihan tersebut harus dijadikan sebagai syarat untuk duduk sebagai pengurus. Dengan pelatihan ini diharapkan, paling tidak IPI dapat menerapkan disiplin organisasi.

Selain itu sidang kongres di Batam ini tidak menghasilkan rekomendasi yang strategis kepada pemerintah menyangkut kehidupan kepustakawanan Indonesia. Padahal sesuatu yang strategis untuk kehidupan kepustakawanan Indonesia sedang diperjuangkan seperti Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan UU Perpustakaan yang belum kunjung disahkan oleh pemerintah. Seharusnya IPI menjadi “pressure group” yang mendesak pemerintah untuk segera mensahkan PP yang pada saat itu sedang diusulkan. Mungkin kita harus belajar dari kongres pustakawan-pustakawan senior kita dulu. Kongres PAPSI tahun 1956 misalnya, menghasilkan banyak sekali resolusi yang disampaikan kepada pemerintah, diantaranya resolusi tentang perlunya undang-undang perpustakaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar