Kamis, 30 September 2010

Logika Kerja Pustakawan

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Sejak tahun 2006 penulis kebetulan dipercaya untuk menjadi anggota tim penilai angka kredit pustakawan di tingkat pusat. Tim Penilai tingkat pusat ini adalah tim yang melakukan penilaian atas DUPAK pustakawan yang akan naik dari golongan IVa ke golongan yang lebih tinggi sampai IVe. Atau pustakawan yang akan naik dari pustakawan madya ke pustakawan utama. Banyak pustakawan yang merasa mendapatkan kesulitan ketika dinilai oleh tim penilai pusat ini. Mereka merasa dipersulit untuk manapaki karir mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Padahal, tidak ada maksud sedikitpun dari anggota tim penilai ini untuk menghambat karir mereka. Yang mereka lakukan adalah mencoba menilai seobyektif mungkin sehingga jika seorang pustakawan naik pangkat atau jabatan, maka pustakawan tersebut memang pantas menduduki pangkat atau jabatan tersebut. Jangan sampai seorang pustakawan mempunyai pangkat jenderal namun memiliki kemampuan kopral. Begitu yang sering didengungkan oleh Pak Supriyanto, Deputi Pengembangan Sumberdaya Perpustakaan.

Terkait dengan judul di atas, penulis akan menyampaikan apa yang pernah penulis alami dalam meneliti DUPAK seorang pustakawan, sebagai kegiatan awal penilaian DUPAK. Pustakawan ini sangat luar biasa. Dari pustakawan pertama dengan pangkat IIIa yang bersangkutan oleh Rektornya dinaikkan menjadi pustakawan Madya dengan angka kredit sebesar 446,370, sementara pangkatnya hanya bisa naik satu tingkat yaitu IIIb. Setahun kemudian ia mengajukan tambahan angka kredit sebesar 746,91 sehingga total angka kredit pada DUPAK yang diusulkan menjadi sebesar 1193,28 dan mengusulkan dirinya untuk diangkat menjadi pustakawan utama. Semua anggota tim penilai pusat agak kebingungan menghadapi usulan yang tidak pernah disangka-sangka sebelumnya. Ini adalah kasus baru. Seorang pustakawan hanya dalam waktu satu tahun mengusulkan dari pustakawan madya menjadi pustakawan utama. Pada kesempatan rapat tim penilai pusat, ketua tim penilai memberikan tugas meneliti berkas pustakawan ini kepada penulis.

Penulis yakin ada sesuatu yang salah dalam pengusulan ini. Adalah tidak mungkin seorang pustakawan mampu mengumpulkan Angka kredit sebesar 746,91 hanya dalam waktu satu tahun. Sebagai ilustrasi saja, angka kredit menulis buku yang dipublikasikan secara nasional memiliki nilai Angka Kredit sebesar 12,5. Jika seluruh angka kredit yang diajukan tersebut kita anggap berasal dari satu kegiatan saja yaitu dari menulis buku, maka yang bersangkutan pasti telah menulis buku sebanyak kurang lebih 60 judul buku dalam satu tahun. Suatu angka yang penulis yakin belum pernah dilakukan orang.

Hasil penelitian penulis terhadap usulan pustakawan ini memang menunjukkan adanya kesalahan hitung. Misalnya pada bagian kegiatan membuat resensi buku, pustakawan ini mengusulkan suatu angka yang fantastis yaitu sebesar 3.000 judul buku yang diakuinya dibuatkan resensinya dalam satu tahun. Padahal standar waktu atau norma waktu untuk membuat resensi buku adalah 9 jam per judul buku. Artinya, untuk membuat resensi satu judul buku diperlukan 9 jam yang terdiri dari kegiatan membaca buku tersebut sampai menuliskan resensinya. Jika yang bersangkutan membuat resensi atas 3.000 buku, maka yang bersangkutan memerlukan waktu sebanyak 27.000 jam dalam satu tahun. Padahal, satu tahun kerja menurut standar Menpan orang hanya bekerja 1.250 jam saja. Ini jam efektif kerja yang sudah dipotong waktu istirahat, sholat, cuti, bahkan sudah diperhitungkan ketika seorang PNS ke kamar kecil. Dugaan penulis adalah, pustakawan ini sesungguhnya tidak melakukan sendiri resensi terhadap buku tersebut, namun mengumpulkan hasil resensi yang dilakukan oleh orang lain. Sayang sekali, logika kerja dari pustakawan ini tidak digunakan sehingga dia tidak memperhitungkan bahwa seseorang pasti memiliki keterbatasan dalam melakukan pekerjaan, dan keterbatasan yang menyangkut waktu, tidak akan bisa direkayasa.

Jabatan fungsional dan formasi pustakawan

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpusakaan IPB)

Penulis termasuk kelompok yang beruntung sebab pada saatpenulis berada pada usia produktif jabatan fungsional pustakawan mulai diberlakukan. Sebelum tahun 1991, ketika jabatan fungsional pustakawan tersebut betul-betul diimplementasikan,penulis cukup frustasi karena sejak 1982penulis yang telah dibujuk untuk menjadi pustakawan, jabatan fungsional tersebut tidak kunjung terimplementasi. Banyak kawan-kawan seangkatanpenulis yang direkrut oleh pimpinanpenulis akhirnya keluar dari perpustakaan. Sebagian masuk ke dunia LSM dan bahkan ada yang kemudian menjadi anggota DPR-RI.
Jabatan pustakawan saat ini memang sudah diimplementasikan. Namun demikian, sesudah 20 tahun pelaksanaan jabatan fungsional pustakawan ini, jabatan ini belum mampu berkembang sebagaimana diinginkan oleh para perancangnya. Apakah ada sesuatu yang salah dalam implementasi jabatan fungsional ini? Mengapa jabatan ini tidak berkembang sebagaimana jabatan fungsional dosen atau peneliti?

Untuk melihat permasalahan jabatan fungsional pustakawan, mungkin kita harus lihat beberapa hal yang mungkin menjadi kendala. Mengelola jabatan fungsional pasti tidak sama dengan mengelola jabatan struktural. Jabatan struktural formasinya sudah ditentukan. Untuk melihat bagaimana pengelolaan jabatan struktural, mungkin kita bisa melihat apa yang terjadi di Tentara Nasional Indonesia (TNI). Jabatan dalam TNI sudah ditentukan, misalnya hanya ada satu jabatan panglima TNI dengan pejabat berpangkat jenderal berbintang 4. Di bawahnya ada tiga jabatan kepala staf angkatan yang diduduki oleh tentara berpangkat jenderal berbintang 4. Begitulah seterusnya ke jabatan yang paling bawah seperti di koramil yang akan diduduki oleh tentara dengan pangkat misalnya sersan. Dengan sistem formasi seperti ini, maka logikanya tidak akan ada seorang jenderal yang berdinas di tingkat koramil, karena koramil tidak memerlukan jenderal. Pada jabatan fungsional, maka yang perlu dilihat adalah kebutuhan kompetensi dari jabatan tersebut di lapangan. Misalnya, pada perguruan tinggi “kecil” di sebuah kabupaten tetap memerlukan seorang guru besar seperti sebuah perguruan tinggi besar yang berada di pusat pemerintahan. Oleh karena itu untuk melihat kebutuhan pustakawan utama sebuah perpustakaan, kita tidak boleh melihat lokasi dari perpustakaan tersebut. Yang harus dilihat adalah jenis, tingkatan dan kualitas layanan yang diberikan kepada para pemustaka yang memerlukan layanan tersebut yang lebih penting. Suatu perpustakaan lembaga penelitian di sebuah kota kecil mungkin lebih memerlukan pustakawan utama dibandingkan dengan perpustakaan umum, sekalipun perpustakaan umum tersebut berada di ibukota propinsi. Dengan sistem pengelolaan jabatan fungsional seperti ini, maka kurang tepat bila pekerjaan pustakawan di”kotak-kotak”kan dan masing-masing kotak tersebut diberikan kepada jenjang jabatan tertentu. Dengan sistem seperti ini, maka jabatan fungsional pustakawan tersebut tidak akan berkembang, karena pada perpustakaan “kecil” sudah dipatok jabatan pustakawannya hanya sampai kepada level tertentu. Padahal, kerja pustakawan sebagai jabatan fungsional adalah kerja mandiri.

Untuk mengatasi keterbatasan ini, hematpenulis adalah perlu diatur agar ada pekerjaan inti yang menjadi core business dari pejabat pustakawan. Jika kita menganalogikan dengan dosen, maka seorang dosen tidak memandang tingkat jabatan dan pangkatnya, dia mempunyai kewajiban mengajar. Yang membedakan apakah dosen tersebut masih asisten ahli ataukah sudah guru besar adalah materi dan tingkatan dia mengajar. Hemat penulis, pejabat pustakawan haruslah demikian. Ada pekerjaan pustakawan yang harus dikerjakan oleh pustakawan baik pada level pustakawan pertama maupun sampai level pustakawan utama. Dengan demikian, maka jabatan pustakawan ini dapat berkembang sebagaimana jabatan dosen dan jabatan peneliti.

Logika Pustakawan vs Kepmenpan

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB).

Pada waktu pertengahan puasa tahun 2010 saya berkesempatan mengunjungi Perpustakaan UNAIR di Surabaya. Tujuan kunjungan ini sesungguhnya adalah untuk mengumpulkan kuesioner mengenai pelaksanaan Kepmenpan 132/2002, sekaligus memotret masalah-masalah yang terjadi di lapangan. Karena itu pada hari pertama kunjungan penulis, penulis dihadapkan kepada seluruh pustakawan di UNAIR yang berjumlah 38 orang. Diskusi berjalan baik dan hangat, karena memang demikianlah jika diskusi tersebut menyangkut nasib kita sendiri. Pada akhir pertemuan saya dikejutkan oleh pertanyaan yang menurut hemat saya menggunakan logika yang sangat baik. Pertanyaan ini sebenarnya sudah sering dilontarkan, namun tidak pernah disampaikan pada kesempatan resmi dan dimuka umum seperti ini. Pertanyaannya demikian. Mengapa seorang pustakawan muda yang mengerjakan pekerjaan pustakawan diatasnya kok malah dikenai hukuman yaitu hanya diakui sebesar 80 % dari angka kredit yang seharusnya ia peroleh. Padahal, seharusnya ia mendapatkan bonus karena mampu mengerjakan pekerjaan yang lebih sulit dari pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan. Dari logika berpikir normal, maka pernyataan atau pertanyaan pustakawan ini dapat dimengerti. Semakin tinggi pangkat atau jabatan pustakawan seharusnya mengerjakan pekerjaan yang semakin sulit. Nah, jika ada pustakawan di bawahnya yang mampu mengerjakan pekerjaan yang sulit tersebut, seharusnya ia mendapatkan reward atau bonus atas kemampuannya tersebut.

Sayangnya logika Kepmenpan tidak demikian. Saya menjawab pertanyaan tersebut dengan perumpamaan. Jika kita seorang pemilik industri dan sebagai pemilik industri kita memerlukan tenaga kerja, maka kita akan memilih tenaga kerja yang mempunyai kualifikasi sesuai dengan jenis pekerjaan yang tersedia. Jika pekerjaan tersebut cukup dikerjakan oleh lulusan Diploma, maka untuk efisiensi kita tidak akan merekrut tenaga kerja lulusan S1 apalagi S2 atau S3. Sebab dengan merekrut tenaga kerja yang overqualified tersebut kita sebagai pemilik perusahaan akan dirugikan, karena kita akan membayar gaji lebih besar daripada yang seharusnya. Maka, jika kita analogikan dengan perusahaan tersebut, kita akan mengerti bahwa pemerintah melalui kepmenpan tidak akan membuat jabatan pustakawan madya, apalagi pustakawan utama, jika semua pekerjaan pustakawan madya dan utama tersebut bisa diselesaikan oleh pustakawan muda. Artinya, puncak karir pustakawan tersebut hanya sampai pustakawan muda, karena jenis pekerjaannya memang sampai disitu. Begitulah logika kepmenpan yang memang berbeda dengan logika pustakawan. Tidak ada yang salah pada kedua logika tersebut. Yang jelas masing-masing pihak melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Plagiarisme di Kalangan Pustakawan

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Sejak tahun 1992 penulis berkesempatan menjadi Tim Penilai untuk pejabat fungsional pustakawan yang akan naik pangkat dan atau jabatan dari jenjang yang lebih rendah menjadi satu tingkat lebih tinggi. Sampai tahun 2006 penulis hanya menilai pada tingkat instansi yaitu di lingkungan Institut Pertanian Bogor. Namun sejak tahun 2006 penulis diminta untuk menjadi anggota tim penilai di tingkat nasional dengan tugas dan tanggung jawab yang jauh lebih besar dibandingkan ketika penulis menilai pada tingkat intansi. Pada tingkat pusat, penulis harus menilai pustakawan yang akan naik pangkat dari golongan IVa sampai IVe dan atau jabatan dari pustakawan madya ke pustakawan utama. Salah satu kegiatan yang wajib dilakukan pada tingkat ini adalah kegiatan pengembangan profesi dengan angka kredit minimal yang harus dikumpulkan sebesar 12 AK. Kegiatan pengembangan profesi ini sebagian besar adalah kegiatan menulis karya ilmiah. Karena kegiatan ini wajib dilakukan, sedangkan pustakawan sebagian besar tidak memiliki kemampuan yang cukup melakukannya maka terjadilah hal-hal memalukan yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan karena itu melanggar UU nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Beberapa kasus yang sempat penulis temui adalah: (1) pustakawan yang mengakui tulisan orang lain sebagai tulisannya sendiri dimana tulisan orang lain tersebut ditulis ulang dan hanya mengubah nama penulisnya saja; (2) pustakawan yang mengambil sebagian besar kalimat-kalimat tulisan orang lain tanpa menyebutkan sumber asli tulisan tersebut sehingga seolah-olah kalimat tersebut adalah kalimatnya sendiri; (3) Mengambil tugas akhir atau skripsi mahasiswa dalam bidang perpustakaan dan hanya mengubah nama penulis skripsi tersebut menjadi namanya sendiri dan mengubah beberapa kalimat yang berhubungan dengan kata skripsi menjadi karya penelitian; (4) pustakawan yang menjiplak karyanya sendiri yang sebelumnya pernah diajukan untuk dinilai AKnya pada usulan DUPAK sebelumnya.

Pustakawan melakukan pelanggaran tersebut bisa dengan sadar dan sengaja dengan asumsi bahwa tim penilai tidak akan mengetahui bahwa karya tulisnya tersebut termasuk dalam empat kategori pelanggaran di atas. Bisa pula pustakawan melakukan pelanggaran tersebut karena memang tidak tahu resiko yang bakal ditanggungnya bila hal ini “terbongkar” baik oleh tim penilai maupun oleh orang lain, khususnya oleh penulis asli karya tersebut. Perbuatan ini sesunggunya melanggar UU nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, khususnya pasal 15 yang berbunyi “Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta (a) penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;…. Dan jika ini dilanggar maka pelanggar diancam hukuman paling sedikit satu bulan penjara dan paling lama tujuh tahun penjara atau denda uang paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak sebesar 5 milyar rupiah.

Masalah plagiarisme di kalangan pustakawan ini menurut penulis adalah masalah serius yang harus segera dicarikan solusinya. Penulis berpendapat perlu diadakan kegiatan diskusi-diskusi, seminar dan pertemuan-pertemuan lain yang sejenis baik di tingkat lokal maupun nasional dengan pembicara dari kalangan mereka sendiri yang diatur secara bergilir. Dengan demikian maka pustakawan akan belajar berpikir analistis dan belajar menulis karena yang bersangkutan memang diharuskan untuk membagikan makalah sebagai bahan dalam pertemuan atau acara diskusi tersebut. Tentu saja pelatihan teknik penulisan juga sangat diperlukan. Namun pelatihan saja tanpa memberi kesempatan untuk tampil membawakan tulisannya tidak akan mendorong produktifitas pustakawan dalam menulis.

Mengapa Tidak Menulis?

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Penulis kenal Pak Blasius Sudarsono sejak beliau menjabat Kepala PDII-LIPI. Namun perkenalan intens penulis dengan beliau dimulai sejak penulis berkesempatan ikut mobil beliau dari Bandung ke Bogor. Kesempatan itu terjadi sekitar tahun 1998. Saat itu penulis menghadiri Workshop on Library Information Technology and Resource Sharing, yang diselenggarakan oleh Eastern Indonesia Universities Development Project, di Hotel Holiday Inn, Bandung. Saat pertemuan bubar dan semua peserta check out dari hotel, beliau menawarkan apakah penulis mau ikut bersamanya pulang dan akan mendrop penulis di Bogor, sementara beliau akan meneruskan perjalanan ke Jakarta. Dalam perjalanan dari Bandung menuju Bogor itulah penulis mulai berkenalan intens dengan Pak Dar, demikian ia kerap disapa. Banyak pikiran beliau yang penulis nilai terlampau jauh ke depan, didiskusikan dengan penulis. Lalu pada akhirnya, penulis menyarankan kepada beliau untuk menuliskan ide-idenya tersebut dalam bentuk buku. Namun beberapa tahun setelah itu penulis tunggu buku beliau belum kunjung muncul. Penulis tidak bosan untuk selalu menagih janji kepada beliau agar beliau menuliskan pikirannya dalam bentuk buku. Penantian penulis tidak sia-sia, karena pada tahun 2006 buku beliau muncul dan di“launching” di Denpasar pada kesempatan Kongres Ikatan Pustakawan Indonesia ke X. Buku tersebut diberi judul “Antologi Kepustakawanan”. Beberapa tahun kemudian terbit buku beliau yang kedua dan lagi-lagi di”launching” pada waktu para pustakawan berkumpul yaitu pada acara Munas ISIIPI yang digabung dengan Munas Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) di Bandung pada tanggal 17 November 2009. Kali ini buku tersebut diberi judul “Pustakawan, Cinta dan Teknologi.” Artikel-artikel pada kedua buku tersebut sangat sarat dengan ide dan pemikiran beliau untuk memajukan dan mengembangkan kepustakawanan Indonesia.

Apa pelajaran yang dapat dipetik dari kinerja Pak Dar ini bagi para pustakawan, khususnya penulis? Maka jawabannya tidak lain adalah seperti pada judul tulisan ini yaitu mengapa tidak menulis? Pertanyaan sekian tahun yang lalu penulis lontarkan kepada Pak Dar, menjadi bumerang bagi penulis sendiri. Maka penulis berjanji kepada diri sendiri bahwa penulis akan menulis buku sekurang-kurangnya satu judul setiap tahun, dan menulis artikel bidang kepustakawanan sekurang-kurangnya tiga judul setiap tahun. Dan yang terakhir ini lebih ekstrim, mengapa penulis tidak menuliskan saja apa yang ada dalam pikiran penulis setiap hari? Sehingga dalam satu tahun setidaknya ada 300 artikel pendek. Ini jika penulis asumsikan bahwa penulis libur tidak menulis selama 65 hari dalam satu tahun. Semoga kepala penulis tidak pernah kering dari ide.

Seleksi Pustakawan Berprestasi Tingkat Nasional

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Pemilihan pustakawan berprestasi tingkat nasinal oleh Perpustakaan Nasional RI sejak tahun 2009 mendapatkan pesaing yaitu pemilihan pustakawan berprestasi tingkat nasional oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional (Ditjen Dikti, Kemdiknas). Pemilihan pustakawan berprestasi oleh Ditjen Dikti sesungguhnya mempunyai sasaran yang sedikit berbeda yaitu pustakawan dari lingkungan perguruan tinggi. Dengan demikian calon yang mengikuti pemilihan pustakawan berprestasi tingkat nasional oleh Ditjen Dikti ini semuanya berasal dari perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di Indonesia. Sedangkan kegiatan yang sama yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional diikuti oleh semua pustakawan dari semua jenis perpustakaan. Harus diakui bahwa selama beberapa kali penyelenggaraan acara ini sebagian besar peserta yang menonjol adalah peserta dari perpustakaan perguruan tinggi. Hal ini tidak mengherankan, karena pustakawan yang berasal dari perguruan tinggi memang memiliki latar belakang pendidikan bidang perpustakaan yang baik dan mempunyai karakter yang lebih baik dibandingkan dengan pustakawan dari perpustakaan jenis lain. Dengan demikian maka yang memenangi pemilihan pustakawan berprestasi selama ini sebagian besar berasal dari perpustakaan perguruan tinggi.

Dengan adanya pemilihan pustakawan berprestasi oleh Ditjen Dikti, maka menurut penulis kualitas pemilihan yang diselenggarakan oleh PNRI terancam menurun kualitasnya. Hal ini disebabkan banyak peserta yang baik dari perguruan tinggi tidak dikirim ke PNRI, tetapi dikirim ke Ditjen Dikti. Untuk mempertahankan kualitas dari pustakawan berprestasi tingkat nasional yang diselenggarakan oleh PNRI, maka PNRI harus melakukan perubahan pola penilaian yaitu dengan menekankan kepada wawancara yang lebih mendalam terhadap calon pustakawan berprestasi.

Biasanya calon yang diundang untuk mengikuti pemilihan pustakawan berprestasi tingkat nasional oleh PNRI adalah pustakawan berprestasi (juara I) tingkat provinsi. Seleksi yang dilakukan oleh provinsi bersifat independen sehingga tim dari PNRI tidak berhak mencampuri pemilihan tingkat provinsi. Penulisngnya pemilihan di tingkat provinsi sering tidak sesuai dengan harapan. Banyak hal yang menyebabkan hasil pemilihan di tingkat provinsi ini tidak memuaskan tim juri tingkat pusat (PNRI), antara lain provinsi memang tidak memiliki calon yang memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh PNRI; adanya alasan politis sehingga harus memenangkan calon tertentu, dan lain-lain.

Calon-calon yang “dipaksakan” dikirim ke tingkat nasional tersebut tentu sangat berat untuk memenangi kompetisi atau pemilihan pustakawan berprestasi ini. Beberapa kasus yang pernah ada ialah, peserta yang sudah didiskualifikasi pada tahap awal proses penilaian seperti pada saat penilaian administratif, karena secara administratif yang bersangkutan sudah tidak dapat memenuhi syarat, misalnya ybs tidak dapat membuktikan bahwa dirinya menduduki jabatan fungsional pustakawan. Ada pula yang sudah dapat dipastikan tidak akan lolos pada tahap berikutnya setelah dilakukan penilaian terhadap karya tulis yang harus disertakan pada berkas pengusulan. Ada pula yang sudah dapat diputuskan bahwa ybs tidak dapat mengikuti proses selanjutnya sesudah dilakukan tes tertulis, dan seterusnya.

Dengan alasan-alasan bahwa sebagian peserta sudah dapat diputuskan untuk tidak maju ke proses penilaian akhir, maka penulis mengusulkan agar proses penilaian dilakukan beberapa tahap dan tahap akhir hanya diikuti oleh sebagian peserta yang sudah lolos tahap sebelumnya. Rinciannya adalah sebagai berikut:
* Penilaian Tahap I
Penilaian tahap 1 adalah penilaian berkas administrasi. Pada tahap ini yang dinilai adalah kelengkapan serta kesesuaian berkas dengan yang dipersyaratkan oleh Panitia Pemilihan Pustakawan Berprestasi PNRI. Sebenarnya pada tahap ini Panitia sudah bisa menolak peserta bila berkas peserta tidak memenuhi syarat. Misalnya saja, peserta tidak menyertakan bukti bahwa ybs adalah pejabat fungsional pustakawan yang masih aktif sebagai pustakawan. Penilaian tahap I ini dilakukan oleh Panitia Pemilihan Pustakawan Berprestasi Tingkat Nasional PNRI.

* Penilaian Tahap II
Penilaian tahap II adalah penilaian karya unggulan peserta yang tertulis dalam pernyataan tertulis peserta. Dalam pernyataan tertulis ini peserta harus menulis pernyataan yang berisi tugas, tanggung jawab dan prestasi yang dicapai peserta selama peserta menjabat sebagai pustakawan (prestasi yang diunggulkan). Pada pernyataan ini juga berisi daftar publikasi yang tentunya diunggulkan pula. Dari penilaian ini dapat dihasilkan daftar urutan peserta berdasarkan nilai tertinggi. Dengan demikian sudah diketahui urutan calon pemenang dari pemilihan pustakawan berprestasi tersebut. Penilaian ini dilakukan oleh Dewan Juri dan dilakukan terhadap semua berkas peserta.

* Penilaian Tahap III
Penilaian tahap III adalah penilaian kemampuan kognitif peserta. Pada tahap ini kepada semua peserta dilakukan tes tertulis. Soal tes tertulis berisi soal-soal yang berkaitan dengan pengetahuan umum yang berkaitan dengan perpusdokinfo, pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh pustakawan, dan pengetahuan teknis yang harus dikuasai oleh pustakawan. Pada tahap ini tentunya Dewan Juri juga dapat membuat daftar unggulan calon pustakawan berprestasi berdasarkan kemampuan kognitif peserta. Penilaian tahap ini dilakukan oleh Dewan Juri dan diikuti oleh semua peserta pemilihan pustakawan berprestasi.

* Penilaian Tahap IV
Penilaian tahap IV adalah penilaian kemampuan menyampaikan pendapat peserta. Pada tahap ini semua peserta diberi kesempatan untuk untuk melakukan presentasi. Bahan presentasi adalah karya tulis unggulan yang ditulis sebagai pernyataan tertulis peserta. Waktu presentasi sangat terbatas dan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh peserta untuk menunjukkan prestasi ybs selama menjabat sebagai pustakawan. Dari tahap ini diperoleh nilai berdasarkan kemampuan peserta dalam mengekspresikan pikiran dan apa yang telah mereka capai. Penilaian dilakukan oleh Dewan Juri.

* Penilaian Tahap V
Sampai pada tahap IV Dewan Juri telah memiliki sekurang-kurangnya tiga nilai yang bila dirata-ratakan sudah dapat menentukan urutan calon pustakawan berprestasi tingkat nasional. Penilaian tahap V adalah penilaian terhadap peserta yang berkaitan dengan dengan beberapa hal seperti motivasi, keterampilan berkomunikasi lisan, keluwesan dalam menghadapi masalah, kemampuan dalam menghadapi tekanan kerja, tanggung jawab pribadi peserta terhadap kepustakawanan, kemampuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, kepemimpinan dan lain-lain. Pada tahap ini Dewan Juri harus melakukan penilaian yang “exhaustive” atau sangat mendalam terhadap calon “juara”. Karena itu Dewan Juri memerlukan waktu yang cukup “lama” untuk berinteraksi dengan peserta dalam bentuk wawancara. Keterbatasan waktu yang dimiliki oleh Dewan Juri tidak memungkinkan untuk melakukan wawancara mendalam terhadap peserta jika dilakukan kepada semua peserta. Oleh karena itu pada tahap ini dipilih 10 (sepuluh) peserta dengan nilai rata-rata terbaik untuk dilakukan wawancara mendalam. Dengan wawancara seperti ini diharapkan Dewan Juri dapat memilih peserta yang benar-benar ideal sebagai pustakawan berprestasi tingkat nasional.

Sebagaimana disampaikan pada pendahuluan bahwa PNRI mendapatkan “pesaing” dalam menjaring pustakawan berprestasi tingkat nasional. Jika PNRI menginginkan pustakawan berprestasi versi PNRI memiliki kualitas yang dapat dibanggakan, maka proses pemilihan sejak dari tingkat daerah sudah dilakukan secara baik dan bertanggungjawab. Juara provinsi yang dikirim ke tingkat pusat harus betul-betul murni juara. Kemudian penilaian di tingkat pusat juga harus benar-benar dilakukan secara mendalam, walaupun hanya dalam waktu yang sangat terbatas. Harapan penulis dengan usulan sistem penilaian seperti di atas, PNRI mendapatkan pustakawan berprestasi yang benar-benar berkualitas.

Quick Win bagi PNRI

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustatakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Beberapa waktu yang lalu penulis berkesempatan mengikuti rapat para pejabat struktural di lingkungan PNRI dengan agenda rapat yang berkaitan dengan Reformasi Birokrasi. Penulis yang bukan pejabat dari kalangan PNRI diundang untuk menjadi nara sumber. Dalam pikiran penulis, PNRI menginginkan ada “orang luar” yang ikut berpikir untuk kemajuan PNRI. Ini saya kira sangat baik, bukankah jika orang melihat dari luar akan bisa melihat lebih jernih ketimbang orang tersebut berada di dalam? Seeing from out of the box kata orang akan menghasilkan pikiran-pikiran yang baik karena tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi yang berpotensi terjadinya conflict of interest.

Dalam presentasi pengarahannya, seorang konsultan dari LAN, mengatakan bahwa ada beberapa tahapan dalam melakukan reformasi birokrasi. Ada bagian yang menurut penulis sangat penting dan harus segera ditindak lanjuti untuk memperbaiki citra PNRI yang konon menurut beberapa kolega sudah sangat menurun. Bagian ini yang disebut dengan Quick Win. Quick Win merupakan program kerja jangka pendek untuk mendongkrak citra suatu lembaga. Syarat Quick Win tersebut adalah: (1) merupakan TUPOKSI dari lembaga yang bersangkutan; (2) Berhubungan dengan kepentingan orang banyak; (3) Mempunyai daya ungkit yang besar; dan (4) dapat dikerjakan dalam waktu sekurang-kurangnya dalam 3 bulan atau paling lama satu tahun.

Hemat penulis, ada beberapa program kerja yang dapat dijadikan Quick Win oleh PNRI. Yang pertama adalah layanan ISBN (dan KDT) oleh Direktorat Deposit PNRI. Seperti pada layanan pemberian Surat Ijin Mengemudi (SIM) pada Kepolisian dimana sarat dengan pelanggaran aturan, maka pemberian ISBN oleh PNRI sudah menjadi polemik yang berkepanjangan bahwa layanan ini juga penuh dengan kontroversi. Kepolisian sudah melakukan perbaikan layanan SIM yang hasilnya sangat dirasakan oleh masyarakat banyak termasuk penulis. Pada PNRI salah satu yang dirasakan oleh pemangku kepentingan PNRI adalah layanan ISBN yang lamban serta pengenaan biaya terhadap layanan tersebut. Jika terhadap layanan ISBN ini dilakukan dua hal yaitu mempercepat layanan serta menghilangkan biaya layanan alias gratis, maka penulis yakin ini akan menaikkan citra PNRI sebagai lembaga yang memberikan layanan publik yang sangat baik. Apalagi jika PNRI dapat memberikan layanan ini dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga penerbit yang mengajukan ISBN tidak perlu lagi mengirim contoh terbitan secara fisik kepada PNRI, cukup dengan mengirimkan contoh dokumen elektroniknya, maka kecepatan layanan ini akan sangat dipersingkat.

Yang kedua adalah pengembangan Bibliografi Nasional Indonesia (BNI) juga oleh Direkrotat Deposit PNRI. Seperti kita ketahui bersama selama beberapa tahun terakhir PNRI tidak pernah menerbitkan BNI tepat waktu. Padahal menurut ketentuan, PNRI wajib menerbitkan BNI sekali setiap tiga bulan, dan setiap satu tahun harus diterbitkan BNI kumulatifnya (pasal 19 PP nomor 70 tahun 1991). Penulis yakin untuk menerbitkan BNI tepat waktu, PNRI tidak memiliki kesulitan. SDM yang menguasai teknologi informasi sudah cukup banyak di lingkungan PNRI. Yang diperlukan adalah perubahan pola pikir dan sinergisme dari beberapa bidang atau pusat yang berbeda, sebab setahu penulis, pada kegiatan deposit ini ada pekerjaan yang tumpang tindih dengan pusat lain seperti Pusat Pengembangan Koleksi Bahan Bahan Perpustakaan yaitu dalam hal pengolahan. Dengan keinginan yang kuat, penulis yakin sinergisme kegiatan ini dapat dicapai sehingga menghasilkan kinerja yang baik. Dengan demikian PNRI dapat menerbitkan BNI yang menjadi TUPOKSInya tersebut tepat waktu.

Yang ketiga adalah Pengembangan Katalog Induk Nasional (KIN) oleh Pusat Pengembangan Jasa PNRI. KIN ini merupakan TUPOKSI yang secara langsung diamanatkan oleh UU kepada PNRI (pasal 13 UU 43 tahun 2007). Bagi masyarakat pustakawan, KIN ini sangat berguna, karena dapat membantu mereka mengolah bahan perpustakaan yang menjadi koleksinya. Bagi masyarakat pemustaka, KIN ini sangat berguna karena ia dapat mengetahui keberadaan suatu bahan perpustakaan yang diperlukan. Dengan KIN maka koleksi seluruh perpustakaan di Indonesia akan tercatat dan diketahui keberadaannya. Hemat penulis untuk merealisasikan terbitan KIN ini tidaklah terlalu susah, sebab kemajuan teknologi saat ini sudah sangat mendukung. KIN dapat diterbitkan dalam bentuk elektronik sehingga menghemat biaya. Jika untuk menerbitkan KIN yang mencakup seluruh perpustakaan di Indonesia belum dimungkinkan dalam 12 bulan mendatang, maka PNRI dapat melokalisir daerah-daerah yang sudah siap datanya. Misalnya KIN yang mencakup koleksi PNRI dan seluruh provinsi di Jawa. Selanjutnya, jika provinsi lain sudah siap, maka KIN dapat diperluas dengan provinsi lain.

Selasa, 28 September 2010

Menanti Perubahan di Perpustakaan Nasional RI

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Memiliki Perpustakaan Nasional bagi suatu negara merupakan suatu keniscayaan, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia Perpustakaan Nasionalnya masih tergolong sangat belia yaitu baru dibentuk tahun 1980 dan baru berfungsi sebagai perpustakaan nasional sesungguhnya sejak tahun 1989. Bandingkan dengan British Library yang berdiri sejak tahun 1753 sebagai British Museum (dengan sejarah yang panjang dan baru menjadi British Library pada tahun 1972), atau Library of Congress yang berdiri sejak tahun 1800. Keberadaan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia ini kemudian mendapat legitimasi tertinggi sejak lahirnya UU 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.

Perpustakaan nasional kita sejak lahir telah dipimpin oleh tiga orang Kepala yaitu Mastini Harjoprakoso, MLS; Hernandono, MLS, MA.; dan Drs. Dady P. Rachmananta, MLIS. Sejak sekitar dua bulan yang lalu pemimpin perpustakaan nasional ke empat telah lahir, yaitu sejak Dra. Sri Sularsih, M.Si. dilantik menjadi Kepala Perpustakaan Nasional RI. Banyak harapan masyarakat yang ditumpukan kepada pundak kepala perpusnas yang baru ini. Tidak heran, karena selama ini perpustakaan nasional kita terkesan sangat lamban berkembang dengan kinerja yang sangat buruk. Salah satu yang sangat terasa bagi masyarakat, khususnya penerbit, adalah lambannya pelayanan pemberian ISBN bagi buku yang akan diterbitkannya, bahkan selain lamban layanan ini menuntut suatu biaya tertentu. Layanan ini sudah menjadi polemik di kalangan masyarakat perpustakaan dan penerbit, bahkan sudah dibahas di koran-koran nasional. Namun setelah dua bulan berlangsung, harapan terjadinya perubahan tersebut belum kunjung muncul. Beberapa hal yang penting misalnya posisi pejabat yang kosong masih dibiarkan seperti apa adanya. Bisa dimengerti kalau kepala yang baru tersebut sangat berhati-hati dalam memilih para pembantu terdekatnya, sebab pilihannya merupakan taruhan bagi kinerja tim yang dia bentuk selama lima tahun ke depan. Salah pilih orang dapat menyebabkan tersendatnya program kerja dia ke depan. Namun demikian hendaknya kepala yang baru ini jangan terlalu banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan sehingga terlalu lama tidak menampakkan perubahan apa-apa dalam periode awal kepemimpinannya. Semua mata tertuju kepada kinerja beliau. Bahkan jika pimpinan tersebut adalah seorang presiden, maka perubahan tersebut dituntut sebagai program kerja 100 hari pertama pada masa jabatannya. Sayapun mengerti jika kepala yang baru tersebut menginginkan perubahan pada banyak hal. Ini terlontar dari pembicaraan beliau kepada saya pada beberapa kesempatan pertemuan yang sangat langks dengan beliau. Saya pernah menyampaikan pada kesempatan pertemuan dengan beliau bahwa melakukan perubahan tersebut ibarat seorang pandai besi yang akan membuat suatu bentuk dari besi yang sedang ditempanya. Besi tersebut dapat diubah bentuknya selagi panas membara. Jika besi sudah dingin, maka siapapun akan sulit melakukan perubahan bentuk dari besi yang tidak beraturan menjadi suatu bentuk yang kita inginkan, misalnya sebuah pisau. “Jadi,” kata saya saat itu, “Ibu kepala harus memanfaatkan kondisi awal yang sedang membara tersebut untuk segera melakukan perubahan. Jangan menunggu suasana dingin. Jika tidak, maka Ibu akan kehilangan momentum. Dan jika Ibu kehilangan meomentum, maka perubahan apapun yang Ibu bisa lakukan akan menghadapi kendala yang amat sangat berat.” Yang melegakan bagi saya adalah jawaban beliau. “Tunggu Pak, sesudah hari raya Idul Fitri 1431 H, perubahan itu akan terjadi.” Nah, tulisan ini saya buat pada hari H+7 Idul Fitri 1431. Sayapun menunggu janji beliau. Semoga.