Kamis, 25 Oktober 2012

Standar

Hari Kamis yang lalu (18/10/2012)  saya bersama dua orang staf dari Pusat Informasi dan Dokumentasi Standardisasi, Badan Standardisasi Nasional (BSN) datang ke Perpustakaan Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang. Kedatangan rombongan saya tersebut dalam rangka mengembangkan jejaring informasi standardisasi (Instanet). Sebetulnya program ini sudah bergulir selama tiga tahun dan sudah mendatangi 8 kota. Dari program ini telah diperoleh sebanyak lebih dari 80 instansi, sebagian besar perpustakaan, yang menjadi anggota jejaring Instanet. Sebenarnya tugas saya hanya ke UNDIP dengan tujuan untuk meningkatkan hubungan terkait dengan jejaring instanet tersebut. Namun, saya merasa sayang kalau kehadiran saya dan kawan-kawan hanya bertemu dengan rekan-rekan dari Perpustakaan UNDIP saja. Oleh karena itu saya mengajak Perpustakaan UNDIP untuk mengundang perpustakaan lain, khususnya perguruan tinggi yang ada di sekitar Semarang untuk datang ke pertemuan kami. Pertemuan itu kami beri tajuk “Forum Diskusi Kerjasama Jejaring Informasi Standardisasi” dengan penyelenggara bersama antara BSN dan Perpustakaan UNDIP. Alhamdulillah, ternyata cukup banyak teman-teman dari berbagai perpustakaan perguruan tinggi yang hadir yaitu sekitar 30 orang termasuk dari Unsoed, Purwokerto. Materi yang saya bawakan adalah tentang peran standar dalam kehidupan masyarakat, khususnya Standar Nasional Indonesia (SNI) serta peran perpustakaan dalam penyebarluasan SNI. Satu hal yang mengejutkan saya yaitu para peserta diskusi ternyata kurang memahami mengenai standar. Bahkan mereka bingung karena ada beberapa standar yang dikeluarkan oleh lembaga standar yang berbeda. Hal ini terungkap pada acara tanya jawab dimana ada beberapa orang yang mempertanyakan mengenai (1) standar profesi, (2) standar kualitas buku pelajaran, (3) Standar perpustakaan yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional (SNP perpustakaan), (4) standar penyelenggaraan pendidikan, dan lain-lain.

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin perlu dijelaskan bahwa di Indonesia dikenal ada tiga lembaga yang memiliki hak mengeluarkan standar. Lembaga pertama bernama Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang memiliki kewenangan menetapkan standar profesi. Badan ini dibentuk oleh Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2004 dengan tugas utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja. Badan ini berada di bawah Kementerian Tenaga Kerja. Standar yang ditetapkannya bernama Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Lembaga yang kedua adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang memiliki kewenangan rangka pengembangan, pemantauan, dan pelaporan pencapaian standar nasional pendidikan. Badan ini berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005. Standar yang ditetapkan bernama Standar Nasional Pendidikan (SNP). Lembaga yang ke tiga adalah Badan Standardisasi Nasional (BSN), yang memiliki wewenang menetapkan standar dengan ruang lingkup mencakup semua kegiatan yang berkaitan dengan metrologi teknik, standar, pengujian dan mutu. Badan Standardisasi Nasional dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001. Sedangkan dalam melaksanakan tugasnya Badan Standardisasi Nasional berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Standar yang ditetapkan bernama Standar Nasional Indonesia (SNI). Dengan demikian, kita di Indonesia mengenal tiga macam standar yaitu:
  1. SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang dikeluarkan oleh BNSP
  2. SNP (Standar Nasional Pendidikan) yang dikeluarkan oleh BSNP
  3. SNI (Standar Nasional Indonesia) yang dikeluarkan oleh BSN
Di luar ketiga macam standar tersebut tidak bisa diakui sebagai standar nasional karena hanya tiga Badan tersebut (BNSP, BNSP, dan BSN) yang diberi wewenang oleh Pemerintah RI untuk menerbitkan atau menetapkan standar.
Dengan penjelasan yang sedikit tersebut semoga dapat sedikit menjawab pertanyaan yang muncul dalam diskusi di Perpustakaan UNDIP tersebut yaitu: pertanyaan mengenai standar profesi harus dijawab dengan SKKNI yang diterbitkan oleh BNSP; pertanyaan mengenai standar kualitas buku dan penyelenggaraan pendidikan harus dijawab dengan SNP yang diterbitkan oleh BSNP; sedangkan pertanyaan yang berkaitan dengan kualitas manajemen penyelenggaraan pendidikan, ataupun manajemen perpustakaan harus dijawab dengan SNI (misalnya SNI ISO 9001:2008 tentang standar manajemen mutu) yang standarnya ditetapkan oleh BSN.

Salah satu pertanyaan lain yang diajukan oleh peserta adalah bagaimana kedudukan Standar Nasional Perpustakaan (yang kebetulan juga disingkat SNP)? Untuk menjawab pertanyaan ini memang agak sulit. Jawaban tersebut harus dimulai dengan menjelaskan bahwa ada beberapa jenis standar berdasarkan levelnya (yang menunjukkan wilayah operasinya suatu standar) yaitu: (1) Standar individu, (2) Standar perusahaan, (3) Standar asosiasi, (4) Standar nasional, (5) Standar regional, dan (6) Standar internasional. Bagaimana dengan kedudukan SNP (perpustakaan)? Ditinjau dari sisi level yang menunjukkan wilayah operasinya standar tersebut mungkin bisa dikategorikan sebagai Standar Nasional. Tetapi ditinjau dari lembaga yang menetapkannya, maka SNP perpustakaan ini tidak bisa diakui sebagai standar nasional karena tidak diterbitkan oleh salah satu dari tiga Badan yang oleh Pemerintah RI diberi wewenang menetapkan standar. Mungkin SNP perpustakaan ini tidak perlu menyebutkan standar tetapi sebut saja sebagai Peraturan Perpustakaan Nasional tentang persyaratan perpustakaan. Jika ingin ditetapkan sebagai Standar Nasional Indonesia, maka SNP perpustakaan ini harus diajukan kepada badan yang berwenang menetapkan standar, yang paling tepat dalam hal ini adalah Badan Standardisasi Nasional, untuk ditetapkan. Bukankah di Perpustakaan Nasional ada Panitia Teknis (PT dengan kode 01-01) yang bertanggung jawab untuk merumuskan standar bidang perpustakaan dan kepustakaan?

Kamis, 13 Januari 2011

IRC – IPB: Riwayatmu Dulu

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama Perpustakaan IPB)

Bulan Juni tahun 1982 saya baru saja diwisuda dari IPB. Sudah barang tentu saya sangat bahagia karena baru saja selesai melakukan tugas berat selama 4 tahun di IPB. Seperti layaknya lulusan perguruan tinggi, maka sayapun kemudian mencari kerja. Salah seorang dosen pembimbing saya (Pak Asep Saefuddin) menyarankan saya untuk menjadi staf di IPB. Kebetulan IPB sedang mendirikan lembaga baru yang diberi nama IRC atau Information Resource Center. Sebuah nama yang keren. Karena namanya yang keren itulah maka saya tertarik. Setelah mendapatkan penjelasan singkat dari Kang Asep (saya memanggil dengan sebutan Kang kepada pembim¬bing saya sebagaimana kebiasaan mahasiswa di HMI), maka saya makin tertarik untuk bergabung. Singkat kata kemudian saya “dikirim” kepada Dr. Emir Alkissah Siregar yang saat itu dipercaya untuk menjadi direktur IRC. Setelah “wawancara singkat” saya diterima menjadi staf di IRC.

IRC adalah konsep yang berhasil dilahirkan pada jaman Pak Andi Hakim Nasoetion menjadi Rektor di IPB. IRC ini merupakan lembaga sumberdaya informasi (nama ini kemu-dian menjadi nama resmi dari IRC) dengan tugas mengum-pul¬kan informasi, mengolah informasi, mengelola informasi, dan melayankan informasi kepada sivitas akademika IPB, khususnya, dan kepada masyarakat umum. Karena itu IRC dilengkapi dengan: (1) Perpustakaan; (2) Pusat Produksi Media Informasi; (3) Penerbitan dan Percetakan. Ketiga unit tersebut merupakan satu kesatuan atau meminjam istilah sekarang adalah three in one. Ketiga unit ini tidak boleh terpisah karena ketiganya saling mendukung dalam memberikan layanan (service) kepada stake holdernya. Menurut konsep Pak Andi, semua bahan ajar akan berasal dari IRC ini. Percetakan dan penerbitan akan memproduksi dan menerbitkan karya tulis staf pengajar IPB. Sebagian akan disimpan di perpusta¬kaan untuk para mahasiswa yang tidak mampu membelinya, dan sebagian lagi akan dijual kepada mahasiswa melalui toko buku yang juga berada di IRC. Selain itu penerbit IPB akan mendistribusikan hasil terbitan buku staf pengajar IPB terse¬but ke luar IPB. Bahan kuliah dosen yang berupa slid (slide) dan multimedia, bahkan film, diproduksi pada unit produksi media informasi. Hasilnya dapat digunakan oleh dosen untuk mengajar. Duplikatnya disimpan di perpustakaan untuk digu¬na¬kan oleh mahasiswa yang berhalangan menghadiri kuliah dosen yang bersangkutan. Pendek kata semua bahan untuk aktifitas perkuliahan tersebut akan muncul dari IRC ini. Bahkan IRC ini dilengkapi dengan studio radio dan TV yang direncakan untuk menyiarkan acara penyuluhan kepada tujuh desa lingkar kampus. Sebagaimana diketahui bahwa kampus IPB ini dikelilingi oleh sebanyak 7 desa. Tidak ada kata lain untuk menggambarkan konsep Pak Andi ini selain kata “sempurna”.
Namun apa yang terjadi kemudian? Sungguh menye-dihkan. Mimpi Pak Andi ini kemudian tidak pernah menjadi kenyataan. Mengapa? Pertama, konsep ini lahir terlalu cepat. Sebab pada saat itu yang terjadi adalah penyeragaman organi¬sasi di perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri. Lahirnya PP nomor 5 tahun 1980 sangat membelenggu kebe¬bas¬an institusi untuk berkembang. Padahal, meminjam istilah Malcolm Gladwell, IRC pada masa itu adalah outliers (mungkin kurang tepat, karena outliers digunakan untuk orang), karena IRC adalah institusi yang mencil sendiri diantara institusi yang ada. Karena IRC tidak sama dengan dengan yang lain, maka IRC tidak mendapatkan “restu” dari pemerintah. Dan ini berakibat pada legitimasi kepemimpinan di IRC serta ang¬garan. Tanpa anggaran yang cukup, maka IRC tidak bisa tumbuh dan bergerak maju. Kondisi ini diperparah dengan berakhirnya masa kepemimpinan Pak Andi sebagai Rektor pada saat IRC baru dilahirkan. Tanpa “kekuasaan” maka Pak Andi tidak dapat mewujudkan mimpinya menjadikan bayi IRC tumbuh menjadi besar.

Kedua, Kurang dipahaminya konsep three in one pada IRC oleh para pelaku yang berada pada lingkungan IRC. Sebagai-mana diketahui IRC ini lahir dengan menggabungkan unit-unit yang telah ada sebelumnya yaitu Unit Perpustakaan dan Unit Percetakan. Hanya Unit Produksi Media Informasi yang murni dilahirkan sebagai bayi pada waktu itu. Adanya conflict of interest dari unit-unit lama ketika harus bergabung menyebab¬kan terjadinya resistensi unit-unit yang ada. Adanya conflict of interest ini kemudian memunculkan konflik antar pemimpin yang kemudian menjadikan unit-unit ini berjalan sendiri-sendiri. Produksi buku yang seharusnya sebagian disimpan di perpustakaan tidak terjadi. Demikian juga dengan produksi media informasi. Untuk keperluan layanan, unit produksi media informasi ini kemudian mendirikan sendiri perpusta¬kaan multimedia. Tidak berjalannya konsep three in one ini kemudian menyebabkan kehancuran IRC.

Sebetulnya sudah ada upaya untuk memperbaiki manaje-men IRC ini dengan mengganti pemimpin yang “bertikai”. Sayangnya, konsep awal IRC ini juga tidak dijalankan oleh pemimpin yang meneruskan pemimpin lama. Saya bisa kata-kan misalnya, ada satu periode dimana IRC dijadikan sebagai lembaga yang melakukan penelitian, khususnya “penelitian pesanan”. Ini menimbulkan konflik baru, karena tugas peneli¬ti¬an sesungguhnya dimandatkan kepada Lembaga Penelitian IPB. Bahkan menjelang matinya, IRC dijadikan sebagai lembaga think thank IPB yang memberikan masukan kepada pimpinan IPB. Pada saat itu IRC semakin jauh dari mimpi Pak Andi.

Ketiga, IRC tidak bisa membina SDM dengan baik. Di tingkat lembaga, semua staf IRC merupakan pinjaman dari unit-unit seperti perpustakaan dan percetakan. Pimpinan IRC berasal dari dosen beberapa fakultas. Tidak adanya ikatan secara kelembagaan dari SDM ini menyebabkan tidak jelasnya jenjang karir dari staf IRC. Sedangkan dosen yang ada di IRC tentu saja melakukan pengembangan karir melalui jalur dosen¬nya. Jadilah IRC sebagai tempat persinggahan semen¬tara bagi staf yang ditempatkan disana. Integritas dan loyalitas terhadap unit tidak bisa berkembang. Inilah yang kemudian menyebabkan IRC sekarat dan akhirnya pada akhir tahun 2003 betul-betul mati.

Sebenarnya IRC pada tahun 2003 tidak betul-betul mati. Yang sesungguhnya terjadi pada tahun itu adalah IRC bermetamorfosa. Pada saat itu terjadi penggabungan Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) atau IRC yang sudah melenceng dari konsep IRC yang sesungguhnya, dengan UPT Perpusta¬kaan, UPT Produksi Media Informasi, dan IPB Press. Ini merupakan upaya IPB untuk mengembalikan konsep IRC lama. Hanya saja nama yang digunakan adalah Perpustakaan. Secara kelembagaan posisi “Perpustakaan baru” tersebut memang mempunyai posisi yang lebih baik dibandingkan dengan UPT Perpustakaan. Kepalanya menjadi setingkat dengan direktur dan secara ex-officio menjadi anggota senat akademik. Beberapa tahun sejak penggabungan ini perpusta¬kaan “baru” tersebut betul-betul menjalankan konsep IRC. Hanya karena anggaran yang masih belum memadai maka studio radio, studio TV, dan toko buku yang merupakan kelengkapan IRC lama tidak dapat direalisasikan. Namun sesudah periode awal penggabungan ini, perpustakaan menjadi tereduksi kembali. Beberapa mandat IRC lama seperti produksi media informasi dan IPB Press pelan-pelan keluar atau dikeluarkan dari perpustakaan. Unit produksi media informasi memang sudah kalah dengan jaman. Saat ini produksi multimedia banyak dilakukan sendiri oleh dosen dengan software mutlimedia. Slid tidak perlu diproduksi oleh seorang ahli. Dengan kamera digital dan komputer jinjing semua orang bisa membuat multimedia. Tentu saja unit produksi media informasi ini menjadi tereduksi dengan sendirinya. Pelan-pelan makin mengecil dan akhirnya mati. Sedangkan IPB Press “diceraikan” dengan Perpustakaan dan saat ini berdiri sendiri. Produktifitas IPB Press setelah ber¬cerai dengan Perpustakaan menjadi sangat baik. Saya kira ini menunjukkan bahwa Perpustakaan memang tidak mampu mengem¬ban amanah yang begitu besar. Wajar saja. Sebab tatkala terjadi penggabungan dari beberapa unit menjadi perpustakaan baru, perpustakaan tidak disertai dengan penambahan SDM dengan kualitas dan kompetensi yang diperlukan. Bahkan beberapa tenaga yang baik malah dipin-dah¬kan ke luar dari perpustakaan.

Saya kira jika IPB menginginkan konsep IRC lama ini terealisasi, diperlukan tidak saja keinginan yang kuat dari pimpinan puncak universitas, namun semua orang yang terlibat haruslah memahami visi dan misi IRC yang diinginkan oleh universitas. Tanpa kesamaan visi dan misi, maka mimpi IRC ini tidak akan menjadi kenyataan.

Kamis, 23 Desember 2010

Peran Perpustakaan di Perguruan Tinggi Belum Optimal: Mengapa?

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama di Perpustakaan IPB)

“Perpustakaan adalah jantung universitas. Karena itu perpustakaan di perguruan tinggi mempunyai kedudukan yang sangat penting”.  Pernyataan ini sering disampaikan oleh pejabat tinggi di lingkungan pendidikan baik di lingkungan universitas ataupun di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam kehidupan sehari-hari siapa yang tak butuh informasi? Semua butuh informasi. Lihat disekeliling kita. Informasi berseliweran, lewat televisi, radio, koran dan media massa lainnya. Karena itu informasi merupakan sumberdaya yang sangat penting dalam hidup kita. Lebih-lebih di perguruan tinggi. Untuk mendidik generasi penerus kita perlu informasi. Untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi baru kita perlu informasi.

Perpustakaan adalah salah satu tempat berakumulasinya informasi. Sayangnya perpustakaan ini belum mendapatkan tempat yang baik di masyarakat kita. Suatu kali ketika saya baru lulus dari fakultas peternakan dan bekerja di perpustakaan, kawan-kawan saya menertawakan saya. Katanya, “kamu mau beternak kutu buku ya”. Karenanya tidak heran kalau banyak sarjana yang malu mengaku bekerja di perpustakaan, bila ia “terpaksa” bekerja di perpustakaan.

Sebenarnya, pemerintah tidak terlalu melupakan pengembangan perpustakaan, khususnya perpustakaan perguruan tinggi negeri. Perhatian pemerintah ini diwujudkan dalam bentuk peningkatan sarana dan prasarana seperti gedung dan peralatan, peningkatan mutu koleksi perpustakaan, serta peningkatan mutu SDM atau pustakawan. Konon pemerintah melalui bank dunia, pada tahun 1990an, sudah menghabiskan tidak kurang dari 1,65 trilyun rupiah (dengan nilai tukar dolar terhadap rupiah Rp. 8500) untuk melakukan peningkatan mutu perpustakaan perguruan tinggi. Sejak akhir dekade 70an Ditjen Dikti telah membentuk satuan tugas yang diberi mandat untuk memberi masukan kepada direktur jenderal pendidikan tinggi dalam meningkatkan mutu dan peran perpustakaan perguruan tinggi dalam menunjang sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Namun semua ini sepertinya sia-sia, karena sampai saat ini mutu perpustakaan perguruan tinggi negeri (apalagi swasta) masih belum menunjukkan kemajuan seperti yang diharapkan. Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebab ketertinggalan perpustakaan ini seperti: Pertama, posisi perpustakaan di perguruan tinggi terlalu rendah. Sejak diterbitkannya PP nomor 5 tahun 1980 sampai PP 60 tahun 2000, posisi perpustakaan di perguruan tinggi turun dari pejabat setingkat direktur atau setingkat eselon II1 menjadi setingkat kepala bagian atau eselon III2. Padahal kepala perpustakaan harus bertanggung jawab kepada Rektor yang setingkat dengan eselon I. Dengan posisi yang rendah ini hampir semua perpustakaan perguruan tinggi tidak lagi bisa secara langsung terlibat dalam pengambilan keputusan di perguruan tinggi. Bahkan untuk menentukan arah pengembangan perpustakaannya sendiri kepala perpustakaan tidak secara langsung ikut menentukannya. Bukti yang menunjuk ke arah ini cukup banyak seperti misalnya pembangunan gedung perpustakaan yang tidak sesuai dengan standard gedung perpustakaan. Penentuan anggaran yang alokasinya tidak pernah sesuai dengan kebutuhan perpustakaan adalah bukti yang lain. Posisi yang rendah ini juga menyebabkan degradasi kepemimpinan di perpustakaan perguruan tinggi. Kalau dulu kepala perpustakaan sering dipegang oleh orang yang bergelar doktor bahkan profesor, biasanya dosen yang mendapatkan tugas tambahan, maka sejak PP 5/80 tersebut tidak ada lagi atau jarang sekali SDM yang bermutu mau menduduki jabatan perpustakaan (kecuali di beberapa perguruan tinggi terkemuka dengan alasan tertentu). Sebagai gantinya adalah SDM yang kurang memiliki kemampuan leadership yang memimpin perpustakaan. Akibat kurangnya leadership di perpustakaan perguruan tinggi tersebut maka perkembangan perpustakaan menjadi terseok-seok dan nyaris berhenti. Untuk mengembalikan peran perpustakaan perguruan tinggi maka diperlukan leadership yang tinggi. Karena itu seharusnyalah kepala perpustakaan mempunyai posisi yang lebih tinggi di perguruan tinggi. Peraturan Pemerintah nomor 61/1999 sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan peraturan sebelumnya (PP 5/80, PP 30/90 dan PP 60/1999). Dalam PP 61/1999 kepala perpustakaan mendapatkan tempat yang cukup terhormat, misalnya kepala perpustakaan secara ex-officio menjadi anggota senat universitas, dan termasuk jajaran pimpinan perguruan tinggi.  Dengan demikian perpustakaan mempunyai kesempatan secara langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan di perguruan tinggi, khususnya yang berhubungan dengan pengembangan dan peran perpustakaan. Akan tetapi PP 61/1999 ini hanya diberlakukan terhadap tujuh perguruan tinggi negeri yang akan segera menyandang predikat Perguruan Tinggi Berbadan Hukum Milik Negara atau PTBHMN (yaitu UI, IPB, ITB, UGM, Unair, UPI dan USU). Bagaimana nasib perpustakaan perguruan tinggi yang lain? Namun beberapa waktu yang lalu UU Badan Hukum Milik Negara atau UU-BHP yang mengatur perguruan tinggi dibatalkan oleh Mahkaman Konstitusi (MK). Dengan batalnya UU-BHP, maka PT-BHMN juga menjadi terombang-ambing. Sebagai gantinya memang pemerintah telah mengeluarkan PP 17 tahun 2010 yang kemudian direvisi menjadi PP 66 tahun 2010. Namun dalam PP 66 tahun 2010 tidak diatur mengenai perpustakaan. Dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional tidak diatur secara rinci tentang perpustakaan. Satu-satunya peraturan terbaru yang mengatur tentang perpustakaan perguruan tinggi adalah Permendiknas nomor 234 tahun 2000.

Kedua, Perpustakaan tidak pernah memperoleh anggaran yang cukup untuk melakukan pembinaan koleksinya maupun untuk mengembangkan infrastruktur teknologi informasi seperti komputer, jaringan LAN serta komunikasi ke luar (internet). Akibatnya perpustakaan kehilangan pelanggannya. Sebagian dosen atau bahkan mahasiswa mengatakan bahwa dia mempunyai koleksi dan fasilitas yang lebih lengkap dan mutakhir dibandingkan dengan perpustakaan. Lemahnya infrastruktur ini juga menyebabkan perpustakaan tidak bisa mendayagunakan koleksi lokalnya dengan baik seperti skripsi atau tugas akhir, tesis disertasi, laporan penelitian dosen serta terbitan lokal lainnya. Sebenarnya dengan infrastruktur teknologi informasi yang baik perpustakaan perguruan tinggi dapat melakukan tukar menukar koleksinya dengan perpustakaan lain yang sejenis sehinggga dapat menambah kekayaan koleksinya. Koleksi lokal dapat diubah formatnya dari dokumen tercetak menjadi dokumen digital sehingga lebih mudah dipertukarkan. Dengan pertukaran ini perpustakaan dapat memupuk koleksinya tanpa harus membelinya dengan harga yang sangat mahal. Disamping itu infrastruktur teknologi informasi yang memadai dapat mempermudah pemakai dalam melakukan akses informasi disamping meningkatkan daya tarik pemakai informasi untuk datang ke perpustakaan.

Ketiga, perpustakaan kekurangan SDM atau pustakawan yang berkualitas. SDM berkualitas biasanya tidak akan pernah memilih perpustakaan sebagai bidang yang ditekuninya. Hal ini karena penghargaan terhadap profesi pustakawan sangat kurang.  Bahkan penghargaan dari segi penghasilan misalnya sangat jauh berbeda dengan dosen. Tunjangan fungsional pustakawan yang paling tinggi misalnya hanya setengah tunjangan dosen dengan jabatan yang setara. Bagi dosen masih ada tunjangan lain seperti tunjangan sertifikasi dosen. Bahkan bagi dosen yang sudah mencapai tingkat guru besar, maka dosen itu mendapatkan tunjangan guru besar. Alhasil, pendapatan pustakawan dengan dosen seperti bumi dan langit. Oleh karena itu kalau ingin memajukan perpustakaan maka kesenjangan penghasilan ini perlu diperkecil. Sebagai contoh di Inggris misalnya pustakawan digaji tidak terlalu jauh dibandingkan dengan dosen. Bahkan mereka membuat ranking penggajian dengan “related academic staff”. Dengan penghargaan seperti itu maka daya tarik profesi pustakawan akan menjadi meningkat dan profesi ini akan dapat merekrut calon-calon pustakawan dari bibit yang baik.

Keempat, kurangnya profesionalisme SDM yang bekerja di perpustakaan. Sangat sering terdengar bahwa perpustakaan selalu menjadi tempat “buangan” staf atau pegawai yang bermasalah di unit lain. Bahkan kepala perpustakaan seringkali adalah dosen yang tidak kebagian jabatan di universitas. Dengan SDM seperti ini memang sangat berat untuk mengharapkan bisa profesional. Beberapa perpustakaan PTN yang “besar” masih dijabat oleh dosen. Masih bagus kalau dosen tersebut adalah dosen dengan bidang studi ilmu perpustakaan. Anggapan bahwa dosen yang rajin ke perpustakaan dan seorang pemerhati perpustakaan kemudian bisa memimpin perpustakaan adalah tidak benar. Untuk memperbaiki kondisi ini perguruan tinggi harus merekrut tenaga profesional di bidang perpustakaan. Kepala perpustakaan hendaknya adalah berasal dari pustakawan3 dan sekurang-kurangnya pemegang ijazah master di bidang perpustakaan atau dokumentasi dan informasi (pusdokinfo)4.  Hal ini untuk mengimbangi status akademik dari pemakai di perguruan tinggi. Kebutuhan pengguna perpustakaan yang tinggi dan komplek harus bisa dilayani oleh pustakawan yang profesional. Selain itu pustakawan atau kepala perpustakaan harus menguasai teknologi informasi atau sekurang-kurangnya memiliki visi teknologi informasi.

Untuk memperbaiki citra perpustakaan memang sangat berat. Namun dengan tekad seluruh pustakawan untuk selalu bersikap profesional, saya yakin perjuangan memperbaiki citra perpustakaan ini suatu saat akan berhasil. Hal ini sesuai dengan yang sambutan Kepala Perpustakaan Nasional RI pada suatu acara seminar pustakawan bahwa pustakawan harus siap berubah karena paradigma layanan perpustakaan sudah berubah yaitu dari paradigma kepemilikan yang biasanya bersifat pasif dan menunggu pemakai datang ke perpustakaan untuk mendapatkan layanan menjadi paradigma aksessabilitas dimaka pustakawan dituntut untuk aktif dan agresif dalam memberikan layanan kepada pemakainya. Pustakawan harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan paradigma layanan tersebut. Semoga.

Catatan kaki:

1 Menurut Instruksi Menteri PTIP nomor 9 tahun 1962, perpustakaan perguruan tinggi dipimpin oleh seorang direktur yang diajukan oleh senat akademik dan diangkat oleh Menteri.

2 Menurut PP 5 tahun 1980 sampai PP 30 tahun 2000 kedudukan perpustakaan perguruan tinggi adalah sebagai unit pelaksana teknis yang setingkat dengan bagian atau eselon III.

3 Lihat pasal 30 UU nomor 43 tahun 2007

4 Dalam RPP diatur bahwa kepala perpustakaan perguruan tinggi adalah seorang yang berijazah S2

Rabu, 15 Desember 2010

Ibu dan Pengembangan Budaya Baca

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

    Bulan Desember, tepatnya tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari ibu. Pada hari ibu ini biasanya anak-anak perempuan diminta berbusana pakaian nasional yaitu kebaya sebagai bagian dari memperingati hari ibu. Pada kesempatan hari ibu ini saya ingin mengungkapkan bagaimana peran ibu dalam membiasakan anak-anaknya membaca, khususnya dalam pendidikan keluarga.

    Semua orang pasti kenal Thomas Alva Edison, yaitu salah seorang penemu terkenal pada abad 19. Temuan-temuannya sampai kini masih digunakan orang seperti antara lain bola lampu listrik. Tapi, banyak orang yang tidak tahu bahwa Thomas kecil pernah dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlalu bebal untuk mengikuti pelajaran. Ketika Thomas dikeluarkan dari sekolah, maka ibunya dengan sabar mengajarnya di rumah dan mendukung minatnya terhadap ilmu. Berkat peran ibunya maka Thomas kecil menjelma menjadi penemu terkenal.

    Ketika saya kecil, sekitar pertengahan tahun 1960an, Ibu saya selalu mendongeng untuk mengantarkan saya dan adik-adik tidur. Setiap hari dongengnya selalu berganti. Seakan-akan Ibu tak pernah kehabisan dongeng. Mulai dari dongeng “kancil mencuri timun” dengan berbagai setting cerita, sampai pada “tikus desa berkunjung ke kota”. Ketika ibu kehabisan bahan untuk mendongeng, ibu akan membacakan cerita dari buku kumpulan dongeng anak-anak. Sesekali kami anak-anaknya bertanya bila ada kata-kata yang tidak kami mengerti. Dan Ibu dengan sabar menjelaskan kata-kata tersebut sampai kami mengerti. Begitulah kami belajar dan mengumpulkan kosa kata. Pada waktunya kosa kata tersebut akan keluar dalam bentuk komunikasi dengan teman-teman kami. Selain itu dongeng itu menjadikan hubungan batin kami anak-anaknya dengan Ibu sangat dekat. Sesudah kami lancar membaca, maka kami dapat membaca sendiri cerita dari buku-buku yang dipinjami Bapak dari perpustakaan sekolahnya. Kebetulan Bapak adalah seorang kepala sekolah dasar suatu desa di Madura. Dan setiap waktu tertentu sekolah bapak mendapatkan kiriman buku-buku cerita terbitan Balai Pustaka dari pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kebiasaan membaca inilah kelak yang membantu saya menapaki hidup yang walaupun tidak berlebihan, namun tetap survive di tengah persaingan hidup yang sangat ketat.

    Saat ini, mungkin karena kesulitan ekonomi yang tak kunjung mereda, ibu-ibu sudah jarang sekali mendongeng untuk anak-anaknya guna mengantarkan tidur mereka. Ibu-ibu jaman sekarang harus bekerja untuk membantu meringankan beban keluarga. Mereka  kelelahan sesudah seharian bekerja dengan gaji yang tidak pernah cukup untuk menopang kebutuhan keluarga. Tidak ada waktu lagi untuk sekedar bercanda ria dengan anak-anaknya. Apalagi mendongeng. Apabila terpaksa mendongeng, maka dongeng sang ibu sering kacau karena kalah oleh kantuk, dan sudah tertidur sebelum dongengnya tamat. Padahal anaknya belum tertidur. Anak-anak tidak bisa belajar lagi di rumah. Pendidikan mereka 100 % diserahkan ke sekolah. Padahal di sekolahpun para guru tidak bisa  mendidik 100 % seperti jaman dulu. Karena guru-guru jaman sekarang mengajar di banyak sekolah untuk sekedar menambal kekurangan gaji mereka supaya dapur para guru itu tetap berasap (saat ini mungkin sebagian guru sudah bernasib lebih baik sejak diberlakukannya sertifikasi guru). Tinggallah anak-anak kita yang jadi korban. Anak-anak lebih banyak berkeliaran di mal-mal. Atau kalaupun ada di rumah, mereka duduk di depan TV menyaksikan tayangan yang penuh dengan kekerasan dan seks. Jika tidak nonton televisi, maka anak-anak sekarang banyak yang bermain PS atau game online yang penuh dengan kekerasan untuk mengisi waktu-waktu luangnya. Akibatnya, anak-anak ini menjadi mudah marah, mudah tersinggung. Puncaknya adalah tawuran antar sekolah, ketergantungan terhadap narkoba, perkosaan oleh remaja dan sebagainya. Dalam tawuran remaja kita tidak pernah tahu apa yang mereka bela. Kalau kehormatan sekolah yang dibela, mungkin masih dapat dimengerti. Namun tawuran mereka lebih sering karena alasan iseng saja. Saling mencemooh antar pelajar dan berbuntut saling baku hantam. Bahkan tidak jarang baku bacok.

    Kemampuan berkomunikasi merekapun juga kurang baik. Kadang-kadang pikiran mereka lebih cepat dari ucapan mereka. Janganlah mereka disuruh menulis. Berbicara saja mereka susah memilih kosa kata, karena memang miskin kosa kata. Mereka tidak pernah terlatih untuk menggunakan banyak kosa kata. Dengarkan jika kebetulan anak muda diwawancara oleh wartawan media elektronik. Jawaban mereka sering meloncat dari satu topik ke topik yang lain. Tidak pernah runtut dalam mengemukakan pendapat. Mengemukakan pikiran yang runtut hanya bisa dilatih dengan cara membaca dan menulis.

    Sesungguhnya pendidikan di lingkungan keluarga merupakan kunci dari permasalahan yang kita hadapi sekarang ini. Dan kunci pendidikan di lingkungan keluarga adalah ibu. Jika saja ibu dapat memberikan teladan-teladan yang berasal dari dongeng atau cerita dari buku dongeng anak-anak, maka jiwa anak-anak itu sudah diisi oleh hal-hal yang baik sejak dini. Masalahnya dari mana ibu-ibu tersebut bisa mendapatkan buku cerita supaya dia bisa mendongeng dengan baik. Membeli buku cerita anak bagi keluarga sederhana merupakan sesuatu yang muskil. Bayangkan, untuk satu nomor majalah Bobo saja harganya sama dengan setengah kilogram telur ayam. Padahal satu nomor majalah Bobo mungkin hanya bisa menjadi dua hari untuk bahan mendongeng. Jika anak-anak tersebut sudah bisa membaca sendiri, maka bahan bacaan yang dibutuhkannya akan semakin mahal. Satu nomor majalah Kawanku misalnya akan lebih mahal dari harga satu kilogram telur ayam.

    Untuk memenuhi bahan bacaan tersebut, saya teringat pengalaman saya sewaktu berkunjung ke Buin Batu National School. Buin Batu terletak di Pulau Sumbawa, tepatnya di kawasan pertambangan Newmont Nusa Tenggara. Buin Batu adalah kota kecil yang dari ujung kota yang satu ke ujung yang lain hanya ditempuh selama 30 menit berjalan kaki. Ketika saya mampir di toko kelontong (mini market) di salah satu sudut kota, saya tertarik ke salah satu ruangan yang ada pojok toko tersebut. Disitu ada rak-rak buku dan majalah. Semula saya sangka buku dan majalah yang ada disitu dijual. Karena kebetulan bahan bacaan saya sudah habis terbaca di tempat penginapan dan saya butuh bahan bacaan, saya bermaksud untuk membelinya. Saya masuk ke ruangan tersebut. Namun saya tidak dapati penjaga “toko buku” tersebut. Saya tanya security (begitu yang tertulis di topinya). Katanya buku dan majalah itu tidak dijual, tapi dapat dipinjam. “Kalau Bapak mau pinjam, silahkan memilih sendiri buku atau majalahnya, kemudian mencatatkan pinjaman Bapak di buku yang ada di sudut ruangan itu.” Kata security itu menjelaskan. Wah… ini baru layanan perpustakaan yang menganut swalayan atau self-service. Layanan seperti ini hanya bisa kita dapatkan di Singapura. Saya mencoba tanya lebih lanjut pada security. Ternyata koleksi “perpustakaan umum” itu berasal dari sumbangan warga Buin Batu. Prinsip mereka adalah sharing koleksi. Jika mereka bisa beli satu, maka mereka dapat membaca banyak. Yang tidak sanggup membelipun dapat membaca banyak. Gotong royong semacam ini mestinya dapat dikembangkan di tempat-tempat lain di Indonesia.

    Lebih jauh lagi mestinya penyediaan bahan bacaan ini merupakan tanggung jawab Pemerintah. Perpustakaan umum harus diberdayakan. Bahkan mestinya perpustakaan umum ini ditempatkan di pusat keramaian seperti pasar dan swalayan. Dengan demikian ibu-ibu yang lelah sehabis keliling berbelanja di pasar tersebut dapat mampir sejenak untuk memilih bahan bacaan untuk si kecil di rumah. Dalam hal penempatan lokasi perpustakaan umum ini kita patut menyontoh Singapura. Hampir setiap pusat pertokoan di Singapura ada perpustakaan umumnya. Salah satu perpustakaan umum di Singapura berlokasi di pusat perbelanjaan “Takasimaya” yang berlokasi di pusat kota, Orchid Road. Perpustakaan itu penuh dengan pengunjung tua, muda, bahkan anak-anak usia TK/SD yang melakukan aktifitas seperti membaca, melihat-lihat buku, meminjam, dan sebagainya. Di perpustakaan ini juga disediakan kafe dengan kualitas standard internasional, dan setiap beberapa hari perpustakaan juga menyelenggarakan life music di kafenya. Dengan demikian masyarakat yang datang ke perpustakaan juga bisa menikmati makanan yang enak dengan suasana yang enak, serta dapat membaca dengan enak pula. Di perpustakaan ini pendidikan masyarakat dapat dilakukan seperti mendidik berdisiplin dan saling menghargai satu sama lain. Mengambil contoh Singapura tadi misalnya, begitu masuk di pintu utama gedung perpustakaan pengunjung sudah diingatkan dengan etika ke perpustakaan atau library etiket. Peringatan tersebut digambar di lantai seperti matikan handphone dan pager, Jangan berbicara keras, Jangan berdiskusi di perpustakaan. Sedangkan yang berhubungan dengan bahan pustaka ada peringatan seperti Perlakukan pustaka dengan baik, kembalikan ke tempat semula atau ke keranjang pengembalian untuk kenyamanan pembaca lain, dan lain-lain. Disini masyarakat dibiasakan untuk mematuhi etika dan peraturan yang diberlakukan di perpustakaan. Juga dibiasakan untuk menghargai hak-hak orang lain. Misalnya jangan berbicara keras, karena bisa mengganggu kenyamanan orang lain; mematikan telepon genggamnya supaya tidak mengganggu kenyamanan orang lain dan sebagainya. Jika kebiasaan ini dapat berimbas kepada kehidupan mereka di luar perpustakaan, alangkah indah dan nyamannya kita beraktifitas sehari-hari. Tidak ada supir yang berhenti seenaknya; tidak ada orang yang menyerobot antrian di kasir pasar swalayan, di bank-bank dan ATM; tidak ada pejabat yang sibuk menerima panggilan telepon genggam padahal ia sedang menghadiri rapat penting, dan lain-lain.

    Perpustakaan juga dapat mendidik masyarakat untuk berperilaku halus yaitu dengan menyediakan bacaan-bacaan rekreasi yang bisa mengasah perasaan mereka seperti buku-buku sastra, novel, cerpen dan lain-lain. Lihat masyarakat sekarang yang cenderung brutal. Tidak terkecuali kalangan terpelajar seperti mahasiswa dan pelajar. Tanyakan kepada mereka, apakah dia sering membaca dan apa bacaannya. Saya yakin mereka jarang sekali membaca, bahkan mungkin tidak pernah membaca. Kalaupun membaca, saya yakin bacaan mereka adalah bacaan yang tidak bermutu yang banyak beredar di sekitar kita, seperti koran-koran kriminal, perkosaan, perampokan, penodongan, pelecehan seksual dan lain-lain yang justru menjadi pemicu kekerasan dan bahkan mengarahkan ke perilaku jahat. Jika perpustakaan dapat menyediakan bacaan bermutu dengan suasana yang nyaman, maka masyarakat mempunyai pilihan untuk mendapatkan informasi. Dengan kesibukan membaca maka para mahasiswa dan pelajar tidak punya waktu lagi untuk bergerombol dan “kongkow-kongkow” dan kemudian saling mengganggu dan tawuran.
    Kembali ke peran Ibu di rumah tangga, marilah pada kesempatan hari ibu ini kita berdayakan Ibu-ibu disekitar kita. Jika ibu dapat mendidik anak-anaknya dengan baik saya percaya bahwa generasi bangsa Indonesia kedepan akan lebih baik. Karena itu berilah ibu-ibu itu bahan untuk memberi teladan yang baik-baik kepada anaknya melalui dongeng-dongeng yang dapat mengantarkan anaknya tertidur dengan mimpi-mimpi indah. Selamat Hari Ibu.

Selasa, 07 Desember 2010

Definisi Perpustakaan

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Bagi para pustakawan dan tenaga perpustakaan mungkin definisi perpustakaan ini sudah sangat familiar. Namun tidak demikian bagi masyarakat awam. Bagi masyarakat awam sebuah ruangan tempat menyimpan buku bisa disebut perpustakaan. Sedangkan di masyarakat kita dikenal juga istilah lain yang berhubungan dengan tempat menyimpan buku tersebut misalnya seperti taman bacaan. Belakangan muncul istilah lain untuk menyatakan hal yang sama misalnya rumah baca, pondok baca, rumah pintar dan lain-lain. Lalu apa bedanya dengan perpustakaan? Pertanyaan ini tidak hanya muncul sebagai pertanyaan iseng saja. Namun juga muncul pada diskusi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan Undang-undang Perpustakaan dimana pesertanya tidak semuanya berasal dari pustakawan atau ahli di bidang perpustakaan. Ketika pertanyaan tersebut disampaikan dalam pertemuan resmi, tentu saja para pustakawan berusaha memberi jawaban, diantaranya menggunakan definisi yang ada dalam Undang-undang Perpustakaan. Namun tetap saja jawaban tersebut belum memuaskan penanya.

Menurut Undang-undang Perpustakaan (UU nomor 43 tahun 2007) disebutkan bahwa perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Sedangkan menurut Sulistyo-Basuki (1991: 3) perpustakaan adalah: sebuah ruangan, bagian sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual.
Mari kita bedah satu persatu. Institusi merupakan struktur dan mekanisma aturan dan kerjasama sosial yang mengawal perlakuan dua atau lebih individu. Institusi bisa juga berarti lembaga yaitu badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha. Pengelola berasal dari kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola. Jadi pengelola adalah seseorang yang mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola. Koleksi berarti kumpulan benda yang digemari. Dengan demikian maka koleksi karya tulis, karya cetak dan/atau karya rekam adalah kumpulan informasi yang berbentuk tulisan tangan, buku cetakan maupun yang direkam dalam berbagai media termasuk media elektronik dan digital. Profesional berarti memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankan. Dengan demikian “mengelola koleksi karya tulis, karya cetak dan atau karya rekam secara profesional” berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola kumpulan informasi dalam berbagai bentuk atau format dimana dalam melakukan pengelolaannya tersebut diperlukan keahlian khusus. Baku berarti sesuatu yang dipakai dasar ukuran (nilai, harga, dsb) standar. Jadi sistem baku merupakan sistem yang digunakan sebagai dasar dalam melakukan pengelolaan koleksi karya tulis, karya cetak dan atau karya rekam. Pemustaka menurut UU 43 tahun 2007 adalah pengguna perpustakaan, yaitu perseorangan, kelompok orang, masyarakat, atau lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan.

Dengan demikian maka makna dari kedua definisi yang dikutip pada awal tulisan ini adalah: perpustakaan merupakan institusi atau lembaga tempat menyimpan informasi dalam bentuk buku dan bentuk-bentuk lain yang disimpan menurut aturan tertentu yang baku untuk digunakan oleh orang lain (bukan hanya digunakan oleh pribadi) secara gratis untuk bermacam-macam tujuan atau kebutuhan seperti untuk pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi. Mari kita bandingkan dengan definisinya Wikipedia yang mendefinikan perpustakaan sebagai berikut:”A library is a collection of sources, resources, and services, and the structure in which it is housed; it is organized for use and maintained by a public body, an institution, or a private individual. In the more traditional sense, a library is a collection of books. It can mean the collection, the building or room that houses such a collection, or both.” Jadi makna beberapa definisi tersebut memiliki pengertian yang sama yakni: (1) merupakan kumpulan bahan perpustakaan; (2) dikelola secara profesional dengan sistem tertentu (baku); (3) dikelola oleh lembaga atau institusi dan atau individu; (4) diselenggarakan untuk kebutuhan pemustaka.

Menjawab pertanyaan apa beda perpustakaan dengan taman bacaan yang disampaikan oleh salah seorang kolega pada pembahasan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UU Perpustakaan, maka saya jawab seperti pada pernyataan saya berikut. Jika dalam mengelola taman bacaan dan sejenisnya tersebut memenuhi kriteria seperti disebutkan di atas, maka taman bacaan tersebut dapat dikatakan perpustakaan. Sebaliknya, jika kita menamakan perpustakaan, tetapi tidak dikelola secara profesional dengan sistem yang baku, maka apa yang kita namakan perpustakaan tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai sebuah perpustakaan.

Pertanyaan ini kemudian dihubungkan dengan standar jumlah minimum koleksi perpustakaan. Apakah sebuah perpustakaan yang memiliki koleksi kurang dari jumlah yang ditentukan dapat disebut perpustakaan? Untuk diketahui bahwa pada RPP standar ditentukan bahwa “Jumlah koleksi pada setiap perpustakaan umum dan perpustakaan khusus paling sedikit memiliki koleksi 1000 judul” atau “Jumlah koleksi pada setiap perpustakaan perguruan tinggi paling sedikit memiliki koleksi 2500 judul”. Standar jumlah koleksi ini tidak berhubungan dengan definisi perpustakaan. Jika sebuah perpustakaan memiliki jumlah koleksi dibawah standar, maka perpustakaan tersebut masih tetap dapat disebut perpustakaan. Namun perpustakaan tersebut tidak memenuhi standar seperti yang disepakati oelh masyarakat atau yang ditentukan oleh pemerintah. Hal ini dapat dianalogikan dengan produk keramik yang mengenal istilah KW-1, KW-2, atau KW-3. Jika sebuah pabrik keramik membuat keramik yang tidak memenuhi kualitas KW-1 sampai ke KW-3, maka produk keramik tersebut tetap dinamakan keramik, tetapi tidak memenuhi standar kualitas keramik.

Bogor, 7 Desember 2010

Menentukan Jumlah Koleksi Minimum Perpustakaan Perguruan Tinggi

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Lambat atau cepat perpustakaan akan berperan seperti yang diharapkan banyak orang. Perkembangan ini ditandai dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan. Namun demikian perjuangan para pustakawan masih panjang. Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh undang-undang sampai saat ini belum juga disahkan. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) ini sudah dibahas selama lebih dari dua tahun. Bahkan saat ini sudah memasuki tiga tahun. Banyak kendala dalam menyelesaikan RPP menjadi PP, diantaranya pemilu dan pemilihan presiden tahun 2008 dan 2009 yang menyita waktu para petinggi yang berkepentingan dengan disahkannya RPP ini. Tidak hanya itu, kesibukan pemerintahan presiden terpilih tahun pertama menyelesaikan program 100 hari serta pergantian menteri menyebabkan pembahasan RPP tentang pelaksanaan Undang-undang Perpustakaan nomor 43 tahun 2007 menjadi terpinggirkan. Namun beberapa waktu yang lalu pembahasan ini mulai hangat kembali. Pertengahan bulan November lalu tim penyusun RPP yang terdiri dari tim Perpusnas RI dan tim Balitbang Diknas bertemu dengan Wakil Menteri Pendidikan Nasional. Seharusnya tim ini bertemu dengan Menteri Pendidikan Nasional. Namun Mendiknas saat itu tidak bisa hadir karena ada rapat kabinet mendadak.

Pertemuan dengan Wamendiknas berkembang cukup baik. Ada beberapa pertanyaan dari Wamendiknas yang harus diklarifikasi oleh tim, diantaranya adalah dari mana angka 2.500 judul sebagai jumlah minimal koleksi perpustakaan perguruan tinggi. Sebenarnya RPP ini sudah ditayangkan di internet untuk mendapatkan tanggapan dari masyarakat. Namun sejauh ini belum ada yang bertanya demikian kritis seperti Wamendiknas. Angka 2.500 judul ini sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba atau dengan kata lain angka tersebut diambil saja dari langit. Namun ada dasarnya. Dasarnya adalah Surat Keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan nomor 0686/U/1991. SK Mendikbud 0686/U/1991 ini kemudian diperbaharui dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI nomor 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tingi. Keputusan ini memang tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. Namun didalam pedoman ini ada persyaratan minimum apa saja yang harus dimiliki oleh perguruan tinggi yang akan dibentuk termasuk didalamnya mengenai perpustakaan. Pasal 12 ayat 2 butir d KepMendiknas 234 tahun 2000 mengatur tentang jumlah minimum koleksi buku yang harus disediakan oleh perpustakaan pada suatu perguruan tinggi. Pasal ini merupakan penyempurnaan pasal 11 ayat 1 butir 3 SK Mendikbud 0686 tahun 1991 dimana isinya masih sama yaitu untuk program diploma dan program S1 harus disediakan: (a) buku mata buku mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) 1 judul. per-matakuliah; (b) buku mata kuliah ketrampilan dan keahlian (MKK) 2 judul per-mata kuliah; (c) jumlah buku sekurang-kurangnya 10% dari jumlah mahasiswa dengan memperhatikan komposisi jenis judul; (d) berlangganan jurnal ilmiah sekurang-kurangnya 1 judul untuk setiap program studi. Hanya istilah MKDU dan MKDK saja yang berubah menjadi MPK. Pasal inilah yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan jumlah koleksi minimum perpustakaan dalam Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi. Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi edisi kedua yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud RI pada tahun 1994. Pada halaman 36 dan 37 buku pedoman ini mensimulasikan jumlah koleksi minimum untuk tiga jenis pendidikan tinggi yaitu untuk Akademi dengan dua program studi, 300 orang mahasiswa dan 127 mata kuliah; Sekolah Tinggi dengan 4 program studi, 500 orang mahasiswa dan 307 mata kuliah; dan Universitas/Institut dengan 20 program studi, 5.000 orang mahasiswa dan 1.257 mata kuliah. Simulasi ini menghasilkan jumlah koleksi minimum untuk akademi adalah sebesar 1.631 judul dengan jumlah eksemplar sebesar 3.697 eksemplar; untuk sekolah tinggi berjumlah 3.856 judul dengan jumlah eksemplar sebesar 8.384 eksemplar; dan untuk universitas/institut berjumlah 15.017 judul dengan jumlah eksemplar sebesar 85.330 eksemplar. Nah, angka 2.500 judul sebagai jumlah minimal koleksi perpustakaan perguruan tinggi diambil dari rata-rata antara akademi dan sekolah tinggi yaitu 2.744 judul yang kemudian dibulatkan ke bawah menjadi 2.500 judul. Pertimbangan ini diambil dengan alasan bahwa perguruan tinggi terkecil akan memiliki minimal satu jurusan dengan dua program studi (pada akademi) sampai dua jurusan dengan empat program studi (pada sekolah tinggi) (pasal 2 SK Mendikbud 0686/U/1991). Pembulatan ke bawah diambil dengan pertimbangan bahwa masih banyak perguruan tinggi khususnya PTS yang kondisi perpustakaan masih sangat lemah. Itulah mengapa angka minimum koleksi perpustakaan perguruan tinggi pada Rancangan Peraturan Pemerintah ditetapkan sebesar 2.500 judul. Angka 2.500 judul tersebut terdiri dari (1) buku ajar untuk mendukung mata kuliah umum (MKDU); (2) mata kuliah dasar keahlian (MKDK); (3) mata kuliah keahlian (MKK); (4) buku anjuran; (5) buku pengayaan; (6) buku referensi umum; (7) buku referensi khusus; (8) terbitan berkala; (9) terbitan perguruan tinggi; (10) terbitan pemerintah; (11) koleksi khusus; (12) koleksi non buku; dan (13) jika perguruan tinggi tersebut menyelenggarakan pendidikan pascasarjana maka koleksinya harus ditambah dengan 500 judul buku serta 2 jurnal ilmiah untuk setiap program studi.

SK Mendikbud 0686/U/1991 memang sudah cukup tua sehingga kemudian diperbaharui dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI nomor 234/U/2000. Peraturan menteri mengenai standar perpustakaan perguruan tinggi memang belum pernah ada sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah dan Madrasah (Permendiknas nomor 24 tahun 2007) dan Permendiknas Tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah Kejuruan (Permendiknas nomor 40 tahun 2008). Hemat saya, harus segera dikeluarkan peraturan tentang standar teknis mengenai perpustakaan perguruan tinggi. Jika dimungkinkan standar ini bisa dikeluarkan oleh BSNP atau Badan Standarisasi Nasional Pendidikan. Jika BSNP tidak mengeluarkan standar ini, maka Perpustakaan Nasional RI dapat mengambil inisiatif untuk menyusunnya. Selanjutnya standar yang dikeluarkan oleh BSNP ini dijadikan dasar dalam menyusun kembali atau merevisi Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi. Buku Pedoman yang baru ini saya sarankan dapat menggabungkan isi dari pedoman yang sama edisi kedua 1994 dan edisi ketiga tahun 2004, dimana pada bagian koleksi perpustakaan tidak hanya disebutkan jumlah minimalnya saja, namun dijabarkan bahwa koleksi tersebut terdiri dari beberapa jenis koleksi seperti yang dicontohkan pada Permendiknas nomor 24 tahun 2007 dan Permendiknas nomor 40 tahun 2008 dimana koleksi perpustakaan dibagi menjadi: buku pelajaran, buku panduan pendidik, buku pengayaan, buku referensi, dan sumber belajar lain dimana didalamnya termasuk audio-visual.

Bogor, 2 Desember 2010

Bagaimana Seharusnya PNRI Menjaring Data Perpustakaan

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Dalam menulis kita biasanya membutuhkan banyak data. Banyak orang kemudian mencari data tersebut di BPS. Beberapa data penting memang ada di BPS. Namun untuk data yang spesifik seperti jumlah pustakawan di Indonesia, jumlah berbagai jenis perpustakaan dan lain-lain sangat sulit diperoleh. Data seperti ini mestinya dapat diperoleh dari Perpustakaan Nasional RI. Namun seringkali beberapa data yang ada di PNRI sangat ketinggalan. Kurangnya data atau kurangnya keakuratan data tersebut menyebabkan kita sering tidak bisa melakukan analisis dengan baik. Saya menyadari bahwa membangun data yang lengkap, akurat, dan mutakhir memang tidak mudah. Selain itu pasti memerlukan dana yang besar. Apakah dengan disediakan dana yang besar data yang kita perlukan dapat kita bangun? Belum tentu. Banyak sekali faktor yang berpengaruh terhadap proses membangun data tersebut.

Karena kebutuhan data untuk keperluan saya menulis sering tidak terpenuhi maka saya kemudian sering berangan-angan. Seandainya semua perpustakaan yang ada di Indonesia ini memiliki data yang akurat tentang jumlah koleksi yang dimiliki, jenis koleksi, bidang ilmu, luas gedung, anggaran, jumlah pengguna yang harus dilayani, dan banyak lagi indikator kinerja yang dapat dilaporkan, maka alangkah mudahnya kita melakukan kegiatan yang berkaitan dengan tulis menulis tentang perpustakaan, khususnya yang berisi analisis keadaan perpustakaan di Indonesia. Namun nampaknya angan-angan seperti ini masih jauh panggang dari api. Saya mengamati beberapa perpustakaan yang pernah saya kunjungi ternyata datanya sering tidak akurat. Masih ada yang menyatakan jumlah judul buku lebih banyak dari jumlah eksemplarnya. Sesuatu yang mustahil. Kalau jumlah eksemplar buku lebih banyak dari jumlah judulnya dapat dimengerti. Sebab ada judul yang jumlahnya lebih dari satu eksemplar. Namun sebaliknya adalah sesuatu yang tidak mungkin.

Saya kira PNRI mestinya bisa membangun data seperti yang saya dambakan di atas. Sebab PNRI merupakan lembaga pembina dari semua jenis perpustakaan (terlepas dari pro dan kontra soal pembina ini). Ini amanat dari undang-undang. Tentunya sebagai lembaga pembina PNRI memiliki kewenangan untuk meminta data dari semua perpustakaan. Namun apakah semua perpustakaan akan patuh dan memberikan datanya? Itu yang masih perlu dipertanyakan. Hemat saya Perpustakaan Nasional harus memberikan insentif terhadap data yang disediakan oleh setiap perpustakaan. Namun untuk memberi insentif seperti itu tidaklah mungkin, selain tidak mendidik juga memerlukan anggaran yang sangat besar. Jika memberikan insentif untuk setiap perpustakaan tidak bisa dilakukan, lalu bagaimana? Saya punya pikiran untuk memberikan apa yang disebut dengan competitive grand incentive bagi perpustakaan yang terdaftar di PNRI. PNRI dapat menyediakan sejumlah dana bantuan untuk pengembangan perpustakaan yang dipilih oleh tim seleksi PNRI. Bantuan tersebut dapat berbentuk: (1) Bantuan anggaran penyelenggaraan perpustakaan (saat ini sudah ada yang disebut dengan dana dekonsentrasi); Bantuan penambahan koleksi perpustakaan (saat ini juga sudah pernah dilaksanakan bantuan koleksi buku untuk perpustakaan kabupaten/kota, propinsi, perpustakaan keliling dan perpustakaan sekolah serta perpustakaan pesantren); (3) Bantuan pengadaan perangkat teknologi informasi (saat ini juga sudah dilakukan); (4) Pemberian hadiah bagi perpustakaan terbaik. Syaratnya perlu dibuat, misalnya perpustakaan tersebut terdaftar di PNRI dengan bukti nomor pendaftaran. Nah, dari proses pendaftaran perpustakaan ini data perpustakaan dapat dijaring, kemudian dibuatkan basisdatanya. Sintesis dari data ini dapat disajikan oleh PNRI melalui situs webnya PNRI.

Beberapa pemberian bantuan tersebut memang sudah pernah dilakukan seperti pengalokasian dana dekonsentrasi ke perpustakaan provinsi; pemberian bantuan koleksi buku untuk perpustakaan provinsi, kabupaten/ kota, perpustakaan keliling, perpustakaan sekolah, perpustakaan pesantren; dan pemberian bantuan perangkat teknologi informasi baik perangkat keras maupun perangkat lunak bahkan termasuk bantuan pelatihannya. Namun semua bantuan yang diberikan tersebut tidak dalam rangka competitive grand incentive. Mereka yang mendapat bantuan tidak perlu susah payah membangun perpustakaannya agar menjadi baik dan layak mendapat bantuan. Dengan competitive grand incentive maka perpustakaan yang ingin mendapatkan bantuan harus membangun dulu perpustakaannya menjadi baik, termasuk dari aspek manajemennya. Kemudian setiap perpustakaan harus membuat proposal yang disampaikan ke PNRI yang tentu saja proposal tersebut berisi kondisi perpustakaan saat proposal tersebut disampaikan. Dari proposal inilah PNRI akan mendapat data yang mutakhir dan akurat. Agar tingkat keakuratannya dapat dipertanggung jawabkan, maka setiap perpustakaan yang terpilih perlu dikonfirmasi semua datanya. Jika datanya tidak benar, maka bantuan tersebut bisa dibatalkan.

Untuk menjaring data pustakawan saya kira prosesnya lebih mudah dibandingkan dengan menjaring data perpustakaan. Saat inipun sebenarnya sudah ada data pustakawan. Namun seberapa besar tingkat kemutakhiran dan keakuratan data tersebut masih perlu dipertanyakan. Jika kita menginginkan data pustakawan yang akurat, maka saya pikir kita dapat menjaringnya dengan metode yang sama dengan menjaring data perpustakaan. Data pustakawan ini harus dikaitkan dengan program insentif yang diberikan oleh PNRI. Misalnya, PNRI bisa memberikan insentif yang dikompetisikan (competitive grand incentive) dalam bentuk: (1) memberikan hadiah bagi pemenang lomba; (2) memberikan hadiah bagi pustakawan yang terpilih sebagai pustakawan terbaik tingkat nasional; (3) memberikan dana penelitian atau kajian kepada pustakawan yang terpilih; (4) memberikan beasiswa belajar untuk meningkatkan pengetahuannya pada pusdiklat PNRI; (5) memberikan beasiswa belajar untuk mendapatkan gelar di bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Seperti pada pemberian competitive grand incentive pada lembaga perpustakaannya, maka untuk mendapatkan grand ini juga harus diberlakukan beberapa syarat. Syarat tersebut antara lain misalnya, pustakawan yang mengikuti program kompetisi harus terdaftar sebagai pustakawan di PNRI dibuktikan dengan nomor anggota sebagai pustakawan di PNRI. Tentu saja untuk mendapatkan nomor ini pustakawan harus mendaftar dengan mengisi formulir yang berisi data yang diperlukan oleh PNRI. Dengan cara seperti ini saya yakin setiap pustakawan akan sangat antusias mendaftarkan dirinya kepada PNRI karena ia berharap dengan keanggotaannya ini suatu saat ia akan mendapatkan salah satu dari program kompetisi yang disediakan oleh PNRI.

Pendaftaran ini dapat lebih dipermudah dengan perkembangan teknologi informasi saat ini. Dengan metode lama maka PNRI perlu menyebarkan formulir yang berisi pertanyaan atau data yang ingin dikumpulkan oleh PNRI. Dari formulir yang terkumpul kemudian datanya diinput ke basisdata yang ada di PNRI. Baru kemudian data tersebut disajikan baik melalui online ataupun melalui dokumen tercetak. Proses ini pasti memerlukan waktu yang tidak sedikit. Belum lagi kesalahan orang dalam melakukan input data (human error); ketidakseriusan pustakawan dalam mengisi data dalam formulir; keengganan pustakawan mengisi formulir; dan lain-lain. Inilah yang menyebabkan kesalahan dan ketidakakuratan data yang ada di PNRI. Sebagai contoh, saya melihat data pustakawan yang sudah pensiun atau meninggal masih ada di basisdata PNRI. Saya kira dengan teknologi informasi yang ada sekarang ini proses ini dapat dipangkas. PNRI dapat membuat sistem dimana setiap pustakawan dapat memperbaiki (mengedit) datanya sendiri melalui internet. Selain data pustakawan dan atau perpustakaan dapat dengan cepat berubah sesuai dengan perkembangan pustakawan dan atau perpustakaan tersebut, data tersebut pasti akurat karena yang memperbaiki adalah pemilik data. Memang, kemungkinan terjadi data yang diunggah ke internet tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan pasti ada. Namun dengan ancaman pembatalan program insentif bila data yang dituliskan tidak benar, kemungkinan ini tentu dapat diminimalkan.
Angan-angan saya agar PNRI dapat menjaring data seperti di atas memang tidak mudah dilaksanakan. Namun, berharap agar PNRI dapat melaksanakan seperti angan-angan saya di atas tentunya tidak salah toh.

Bogor, 23 November 2010