Kamis, 13 Januari 2011

IRC – IPB: Riwayatmu Dulu

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama Perpustakaan IPB)

Bulan Juni tahun 1982 saya baru saja diwisuda dari IPB. Sudah barang tentu saya sangat bahagia karena baru saja selesai melakukan tugas berat selama 4 tahun di IPB. Seperti layaknya lulusan perguruan tinggi, maka sayapun kemudian mencari kerja. Salah seorang dosen pembimbing saya (Pak Asep Saefuddin) menyarankan saya untuk menjadi staf di IPB. Kebetulan IPB sedang mendirikan lembaga baru yang diberi nama IRC atau Information Resource Center. Sebuah nama yang keren. Karena namanya yang keren itulah maka saya tertarik. Setelah mendapatkan penjelasan singkat dari Kang Asep (saya memanggil dengan sebutan Kang kepada pembim¬bing saya sebagaimana kebiasaan mahasiswa di HMI), maka saya makin tertarik untuk bergabung. Singkat kata kemudian saya “dikirim” kepada Dr. Emir Alkissah Siregar yang saat itu dipercaya untuk menjadi direktur IRC. Setelah “wawancara singkat” saya diterima menjadi staf di IRC.

IRC adalah konsep yang berhasil dilahirkan pada jaman Pak Andi Hakim Nasoetion menjadi Rektor di IPB. IRC ini merupakan lembaga sumberdaya informasi (nama ini kemu-dian menjadi nama resmi dari IRC) dengan tugas mengum-pul¬kan informasi, mengolah informasi, mengelola informasi, dan melayankan informasi kepada sivitas akademika IPB, khususnya, dan kepada masyarakat umum. Karena itu IRC dilengkapi dengan: (1) Perpustakaan; (2) Pusat Produksi Media Informasi; (3) Penerbitan dan Percetakan. Ketiga unit tersebut merupakan satu kesatuan atau meminjam istilah sekarang adalah three in one. Ketiga unit ini tidak boleh terpisah karena ketiganya saling mendukung dalam memberikan layanan (service) kepada stake holdernya. Menurut konsep Pak Andi, semua bahan ajar akan berasal dari IRC ini. Percetakan dan penerbitan akan memproduksi dan menerbitkan karya tulis staf pengajar IPB. Sebagian akan disimpan di perpusta¬kaan untuk para mahasiswa yang tidak mampu membelinya, dan sebagian lagi akan dijual kepada mahasiswa melalui toko buku yang juga berada di IRC. Selain itu penerbit IPB akan mendistribusikan hasil terbitan buku staf pengajar IPB terse¬but ke luar IPB. Bahan kuliah dosen yang berupa slid (slide) dan multimedia, bahkan film, diproduksi pada unit produksi media informasi. Hasilnya dapat digunakan oleh dosen untuk mengajar. Duplikatnya disimpan di perpustakaan untuk digu¬na¬kan oleh mahasiswa yang berhalangan menghadiri kuliah dosen yang bersangkutan. Pendek kata semua bahan untuk aktifitas perkuliahan tersebut akan muncul dari IRC ini. Bahkan IRC ini dilengkapi dengan studio radio dan TV yang direncakan untuk menyiarkan acara penyuluhan kepada tujuh desa lingkar kampus. Sebagaimana diketahui bahwa kampus IPB ini dikelilingi oleh sebanyak 7 desa. Tidak ada kata lain untuk menggambarkan konsep Pak Andi ini selain kata “sempurna”.
Namun apa yang terjadi kemudian? Sungguh menye-dihkan. Mimpi Pak Andi ini kemudian tidak pernah menjadi kenyataan. Mengapa? Pertama, konsep ini lahir terlalu cepat. Sebab pada saat itu yang terjadi adalah penyeragaman organi¬sasi di perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri. Lahirnya PP nomor 5 tahun 1980 sangat membelenggu kebe¬bas¬an institusi untuk berkembang. Padahal, meminjam istilah Malcolm Gladwell, IRC pada masa itu adalah outliers (mungkin kurang tepat, karena outliers digunakan untuk orang), karena IRC adalah institusi yang mencil sendiri diantara institusi yang ada. Karena IRC tidak sama dengan dengan yang lain, maka IRC tidak mendapatkan “restu” dari pemerintah. Dan ini berakibat pada legitimasi kepemimpinan di IRC serta ang¬garan. Tanpa anggaran yang cukup, maka IRC tidak bisa tumbuh dan bergerak maju. Kondisi ini diperparah dengan berakhirnya masa kepemimpinan Pak Andi sebagai Rektor pada saat IRC baru dilahirkan. Tanpa “kekuasaan” maka Pak Andi tidak dapat mewujudkan mimpinya menjadikan bayi IRC tumbuh menjadi besar.

Kedua, Kurang dipahaminya konsep three in one pada IRC oleh para pelaku yang berada pada lingkungan IRC. Sebagai-mana diketahui IRC ini lahir dengan menggabungkan unit-unit yang telah ada sebelumnya yaitu Unit Perpustakaan dan Unit Percetakan. Hanya Unit Produksi Media Informasi yang murni dilahirkan sebagai bayi pada waktu itu. Adanya conflict of interest dari unit-unit lama ketika harus bergabung menyebab¬kan terjadinya resistensi unit-unit yang ada. Adanya conflict of interest ini kemudian memunculkan konflik antar pemimpin yang kemudian menjadikan unit-unit ini berjalan sendiri-sendiri. Produksi buku yang seharusnya sebagian disimpan di perpustakaan tidak terjadi. Demikian juga dengan produksi media informasi. Untuk keperluan layanan, unit produksi media informasi ini kemudian mendirikan sendiri perpusta¬kaan multimedia. Tidak berjalannya konsep three in one ini kemudian menyebabkan kehancuran IRC.

Sebetulnya sudah ada upaya untuk memperbaiki manaje-men IRC ini dengan mengganti pemimpin yang “bertikai”. Sayangnya, konsep awal IRC ini juga tidak dijalankan oleh pemimpin yang meneruskan pemimpin lama. Saya bisa kata-kan misalnya, ada satu periode dimana IRC dijadikan sebagai lembaga yang melakukan penelitian, khususnya “penelitian pesanan”. Ini menimbulkan konflik baru, karena tugas peneli¬ti¬an sesungguhnya dimandatkan kepada Lembaga Penelitian IPB. Bahkan menjelang matinya, IRC dijadikan sebagai lembaga think thank IPB yang memberikan masukan kepada pimpinan IPB. Pada saat itu IRC semakin jauh dari mimpi Pak Andi.

Ketiga, IRC tidak bisa membina SDM dengan baik. Di tingkat lembaga, semua staf IRC merupakan pinjaman dari unit-unit seperti perpustakaan dan percetakan. Pimpinan IRC berasal dari dosen beberapa fakultas. Tidak adanya ikatan secara kelembagaan dari SDM ini menyebabkan tidak jelasnya jenjang karir dari staf IRC. Sedangkan dosen yang ada di IRC tentu saja melakukan pengembangan karir melalui jalur dosen¬nya. Jadilah IRC sebagai tempat persinggahan semen¬tara bagi staf yang ditempatkan disana. Integritas dan loyalitas terhadap unit tidak bisa berkembang. Inilah yang kemudian menyebabkan IRC sekarat dan akhirnya pada akhir tahun 2003 betul-betul mati.

Sebenarnya IRC pada tahun 2003 tidak betul-betul mati. Yang sesungguhnya terjadi pada tahun itu adalah IRC bermetamorfosa. Pada saat itu terjadi penggabungan Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) atau IRC yang sudah melenceng dari konsep IRC yang sesungguhnya, dengan UPT Perpusta¬kaan, UPT Produksi Media Informasi, dan IPB Press. Ini merupakan upaya IPB untuk mengembalikan konsep IRC lama. Hanya saja nama yang digunakan adalah Perpustakaan. Secara kelembagaan posisi “Perpustakaan baru” tersebut memang mempunyai posisi yang lebih baik dibandingkan dengan UPT Perpustakaan. Kepalanya menjadi setingkat dengan direktur dan secara ex-officio menjadi anggota senat akademik. Beberapa tahun sejak penggabungan ini perpusta¬kaan “baru” tersebut betul-betul menjalankan konsep IRC. Hanya karena anggaran yang masih belum memadai maka studio radio, studio TV, dan toko buku yang merupakan kelengkapan IRC lama tidak dapat direalisasikan. Namun sesudah periode awal penggabungan ini, perpustakaan menjadi tereduksi kembali. Beberapa mandat IRC lama seperti produksi media informasi dan IPB Press pelan-pelan keluar atau dikeluarkan dari perpustakaan. Unit produksi media informasi memang sudah kalah dengan jaman. Saat ini produksi multimedia banyak dilakukan sendiri oleh dosen dengan software mutlimedia. Slid tidak perlu diproduksi oleh seorang ahli. Dengan kamera digital dan komputer jinjing semua orang bisa membuat multimedia. Tentu saja unit produksi media informasi ini menjadi tereduksi dengan sendirinya. Pelan-pelan makin mengecil dan akhirnya mati. Sedangkan IPB Press “diceraikan” dengan Perpustakaan dan saat ini berdiri sendiri. Produktifitas IPB Press setelah ber¬cerai dengan Perpustakaan menjadi sangat baik. Saya kira ini menunjukkan bahwa Perpustakaan memang tidak mampu mengem¬ban amanah yang begitu besar. Wajar saja. Sebab tatkala terjadi penggabungan dari beberapa unit menjadi perpustakaan baru, perpustakaan tidak disertai dengan penambahan SDM dengan kualitas dan kompetensi yang diperlukan. Bahkan beberapa tenaga yang baik malah dipin-dah¬kan ke luar dari perpustakaan.

Saya kira jika IPB menginginkan konsep IRC lama ini terealisasi, diperlukan tidak saja keinginan yang kuat dari pimpinan puncak universitas, namun semua orang yang terlibat haruslah memahami visi dan misi IRC yang diinginkan oleh universitas. Tanpa kesamaan visi dan misi, maka mimpi IRC ini tidak akan menjadi kenyataan.