Sabtu, 27 November 2010

Trust

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Trust menurut Kamus Inggris – Indonesia karangan John M. Echols dan Hassan Shadily adalah kepercayaan. Dalam pengembangan perpustakaan maka unsur kepercayaan atau trust ini memegang peranan penting. Misalnya, pada konsep perpustakaan 2.0. (library 2.0.) menempatkan kepercayaan sebagai komponen yang harus dipertimbangkan. Rumusnya adalah:

P2.0.= (book n stuff + people + radical trust) X participation

Tidak mudah memang membangun kepercayaan ini. Di perpustakaan seringkali pustakawan tidak percaya kepada pemustaka. Ini karena banyak kejadian yang menyebabkan pustakawan selalu curiga kepada pemustaka. Misalnya, adanya penyobekan buku, pencurian buku, sampai pada pencurian peralatan yang disediakan untuk pemustaka (seperti mouse komputer dll). Di lain pihak, pemustaka juga curiga kepada pustakawan, misalnya ada informasi yang disembunyikan agar dapat di”perjual-belikan” secara ilegal dan lain-lain.

Berbicara tentang trust ini penulis teringat kepada diskusi antara pustakawan dengan beberapa pimpinan institusi tempat penulis bekerja, salah satunya adalah Prof. Syafrida Manuwoto. Beliau mengatakan bahwa tidak adanya trust ini merupakan penyakit bangsa kita. Contohnya dapat kita lihat di jalanan. Pada lampu lalu lintas di perempatan jalan sering tidak berfungsi dengan baik. Bukan lampunya yang tidak menyala. Namun ada saja orang yang lenaggar peraraturan, seperti walaupun lampu merah sudah menyala, masih ada saja pengendara yang menerobos. Kecuali jika dijaga oleh polisi. Ini karena trust tidak terbangun dengan baik. Berbeda dengan negara maju yang sistemnya sudah berjalan. Ketika penulis menyelesaikan studi penulis di Sheffield, penulis tinggal di university flat. Kebetulan sekali dapur flat penulis berada tepat di sudut menghadap ke sebuah pertigaan. Setiap sore ketika penulis menunggu nasi matang, penulis sering berdiri di jendela menghadap pertigaan tersebut. Di pertigaan ini tidak ada lampu merah. Hanya ada bundaran yang dibuat dengan menggambar aspal dengan cat putih. Penulis selalu memperhatikan mobil yang melintas bundaran tersebut. Ketika mobil akan masuk budaran, maka mobil itu selalu berhenti sejenak. Sekalipun tidak ada mobil lain yang melintas. Kemudian barulah mobil itu masuk ke wilayah bundaran tersebut untuk melintas. Herannya, tidak ada satupun mobil yang menginjak batas bundaran tersebut. Padahal tidak ada satupun polisi yang menjaga di pertigaan itu. Ini terjadi karena trust sudah terbangun. Intinya adalah aturan dibuat untuk dipatuhi, bukan untuk dilanggar. Penulisngnya di republik kita tercinta ini kesadaran untuk mematuhi aturan belum sepenuhnya berjalan. Sehingga trust ini tidak terbangun. Bahkan sering kita dengar joke yang mengatakan bahwa di negeri ini peraturan itu dibuat bukan untuk dipatuhi tetapi untuk dilanggar.

Kembali kepada trust di perpustakaan. Hemat penulis trust ini harus dibangun. Caranya adalah dimulai dari pustakawan sendiri. Pertama, pustakawan harus konsisten. Jika perpustakaan melarang pemakainya menggunakan sandal jepit jika masuk ke perpustakaan, maka pustakawan haruslah orang pertama yang mematuhi aturan tersebut. Begitu juga, jika perpustakaan melarang pemakai melakukan kegiatan makan, minum dan merokok di ruang publik perpustakaan, maka harusnya tidak ada pustakawan yang melakukan kegiatan makan, minum dan merokok di ruang tersebut. Kedua, manajemen di perpustakaan harus sempurna. Bahkan harus mendekati zero defect. Jadi tidak boleh ada kasus transaksi peminjaman maupun pengembalian yang lupa dicatat. Apalagi sudah menggunakan teknologi informasi. Dengan demikian maka pemustaka tidak akan mencoba-coba berbohong mengatakan sudah mengembalikan, padahal belum misalnya. Jika ada layanan yang berbayar, maka harus dibuatkan aturan mainnya dengan terbuka. Tidak sembunyi-sembunyi. Tarif yang jelas dan bisa dikontrol oleh siapa saja. Yang ketiga, buatkan kondisi ruang publik yang nyaman sehingga pemustaka tidak merasa diawasi. Pengawasan dilakukan secara tersembunyi misalnya dengan security gate ataupun kamera pengintai. Yang keempat, pustakawan selalu melakukan sosialisasi kepada pemustaka tentang perpustakaan dan layanan yang diberikan. Pustakawan harus selalu siap membantu bila diperlukan. Dan yang kelima, lakukanlah pendidikan pengguna sehingga pemustaka merasa mudah menggunakan perpustakaan.

Dengan upaya-upaya tersebut kita sudah membuat fondasi untuk membangun trust terhadap pemustaka. Pemustaka yang dengan mudah mendapatkan informasi di tempat kita tidak akan curiga kepada pustakawan bahwa pustakawan menyembunyikan informasi untuk tujuan bisnis informasi ilegal.

Diperlukan Outliers di Pustakawan

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Outliers adalah sebuah kata yang cukup baru. Mungkin tidak banyak yang mengenal kata ini. Menurut Pak Asep Saefuddin, Pak Andi Hakim Nasoetion (mantan Rektor IPB dan seorang ahli statistika terapan) menerjemahkan outliers tersebut sebagai pencilan yaitu suatu pengamatan statistik yang nilainya berbeda sekali dari kelompoknya1. Pak Asep memberikan ilustrasi seperti ini. Pada populasi ayam dengan bobot rata-rata 2 kg dan simpangan baku 0,2 kg, maka kita akan sulit menemukan ayam dengan bobot di atas 3 kg. Jika ada ayam yang berbobot di atas 3 kg, maka ayam tersebut disebut sebagai outliers karena dia mencil jauh di atas kawan-kawannya. Karena itu maka outliers tersebut diterjemahkan menjadi pencilan. Kata outliers ini oleh digunakan oleh Malcolm Gladwell sebagai judul bukunya. Buku ini kemudian menjadi bestseller selain dua buku lainnya dengan judul Tipping point dan Blink. Dalam buku outliers, Gladwell menggambarkan bagaimana orang-orang menjadi outliers, yaitu orang-orang yang luar biasa di bidangnya. Beberapa orang tersebut seperti Bill Gates dan Bill Joy yang terkenal dalam bidang komputer. Dan masih banyak lagi nama-nama yang dicontohkan Gladwell sebagai outliers.
Dalam bidang kepustakawanan tentu kita mengenal Melvil Dewey dan Ranganathan. Dua orang itu adalah salah dua yang paling terkenal dalam bidang perpustakaan. Melvil Dewey yang menciptakan klasifikasi persepuluhan (Dewey Decimal Classification) yang sampai saat ini digunakan oleh ribuan perpustakaan di seluruh dunia. Sedangkan Ranganathan adalah orang yang menciptakan colon classification yang juga terkenal. Ranganathan juga terkenal dengan lima hukum dalam ilmu perpustakaan (five laws of library science). Lima hukum tersebut kira-kira seperti ini: buku untuk dibaca; pembaca harus disediakan buku sesuai kebutuhannya; setiap buku memiliki pembacanya sendiri; menghemat waktu pembaca; dan perpustakaan merupakan organisme yang tumbuh. Maka dua orang ini menurut saya termasuk outliers dalam bidang kepustakawanan.

Sudah puluhan atau ratusan tahun sejak Dewey dan Ranganathan ini berkibar sebagai outliers, kita tidak menemukan outliers lain dalam bidang kepustakawanan. Mengapa? Saya kira ada beberapa alasan yang bisa kita kemukakan. Diantaranya yang pertama, karena tidak adanya orang (pustakawan) yang mau dan mampu bekerja keras untuk mencapai outliers tersebut. Gladwell menggambarkan bagaimana personel the Beatles berlatih keras sebelum sukses menjadi band legendaris dunia. Konon mereka menghabiskan waktu lebih dari 10.000 jam untuk menjadi outliers dalam bidang seni yang ditekuninya tersebut. Bill Gates juga menghabiskan ribuan jam melakukan eksperimen di Computer Center milik University of Washington untuk mencapai karir yang kemudian merubah peradaban dunia. Alasan yang kedua, adalah tidak adanya kesempatan bagi pustakawan untuk melakukan eksperimen dalam bidang kepustakawanan. Gladwell memberi contoh bahwa Bill Gates memiliki kesempatan yang hampir tak terbatas untuk melakukan eksperimen dalam bidang komputer oleh pusat komputernya University of Washington. Begitu juga Bill Joy mendapatan kesempatan yang sama yang diberikan oleh University of Michigan. The Beatles mendapatkan jam manggung yang sangat berlebihan di Hamburg, Jerman yang memaksa mereka belajar banyak lagu agar mereka tetap ditonton dan tidak dilempari botol minuman oleh penonton.

Berbicara soal kesempatan ini, saya berbincang-bincang dengan Pak Blasius Sudarsono. Beliau terobsesi untuk membuka laboratorium perpustakaan di tempat beliau bekerja. Beliau berobsesi bahwa tempat beliau bekerja menjadi tempat berkumpulnya (rendezvous) para pustakawan untuk melakukan diskusi dan bereksperimen dalam bidang kepustakawanan. Saya kira kita patut mendukung obsesi beliau dan berupaya untuk merealisasikannya. Memang saya agak skeptis tentang hal ini. Adakah pustakawan yang bersedia menghabiskan ribuan jam dalam laboratorium perpustakaan yang akan dibangun oleh Pak Blasius ini? Pertanyaan ini saya sampaikan pada beliau pada kesempatan berbincang di hotel Millenium beberapa waktu yang lalu. “Mengapa?” Kata Pak Blasius. Saya bilang, pustakawan itu masih sibuk mencari makan Pak. Kemudian saya berandai-andai begini. Seandainya kegiatan ini disokong oleh donatur, dimana para pustakawan tersebut bisa mendapatkan “imbalan” dalam kegiatan di laboratorium tersebut, maka saya dapat sedikit menghapus sikap skeptis saya terhadap gagasan Pak Blasiun ini. Saya kemudian ingat dalam bukunya Gladwell bahwa Bill Gates mendapatkan “proyek” membuat perangkat lunak untuk pembayaran gaji sebuah perusahaan. Walaupun Gates berasal dari kalangan orang kaya, dan tidak memerlukan suntikan dana, namun “proyek” yang diperoleh Bill Gates dari aktifitasnya bermain-main dengan komputer mungkin dapat menginsprirasi kita untuk sedikit memodifikasinya untuk memperoleh bayaran dari aktifitas laboratorium perpustakaan tersebut. Mungkin gagasan Pak Blasius ini dapat terealisasi jika laboratorium ini dapat bekerjasama dengan perusahaan yang membutuhkan jasa para pustakawan dan para pustakawan dalam laboratorium ini tetap bereskperimen sambil mendapatkan “pekerjaan” dan tentu saja uang dari laboratorium tersebut.


1 Asep Saefuddin. Percikan Pemikiran: kepemimpinan dan pendidikan. Bogor: IPB Press, 2010. hal 37.

Kamis, 25 November 2010

Mampukah IPI Menjawab Tantangan Jaman?: Sebuah catatan pengalaman ikut memimpin IPI

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama Perpustakaan IPB)

Pendahuluan
Pustakawan diakui sebagai suatu profesi dan sejajar dengan profesi-profesi lain seperti profesi peneliti, guru, dosen, dokter dan lain-lain. Profesi secara umum diartikan sebagai pekerjaan. Menurut Sulistyo-Basuki (1991) ada beberapa ciri dari suatu profesi seperti (1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, (2) terdapat pola pendidikan yang jelas, (3) adanya kode etik profesi, (4) berorientasi pada jasa, (5) adanya tingkat kemandirian. Satu ciri dari sebuah profesi adalah adanya suatu organisasi profesi yang merupakan perwujudan dari kerjasama dan tekad seluruh warga profesi yang bersangkutan untuk bersatu dan berkembang bersama. Identifikasi ciri-ciri profesi ini telah sejak lama dilakukan sejalan dengan adanya tuntutan masyarakat untuk hanya menghargai lebih tinggi jenis-jenis pekerjaan yang termasuk dalam kategori profesi daripada jenis pekerjaan lainnya (Sungkana, 2002).
Menyadari bahwa perpustakaan merupakan salah satu profesi maka pustakawan Indonesia merasa terpanggil untuk membentuk suatu organisasi profesi yaitu dengan mendirikan Ikatan Perpustawan Indonesia yang lahir pada tanggal 6 Juli tahun 1973.
Sejak didirikan 37 tahun yang lalu, IPI telah berbuat banyak, yaitu antara lain menyelenggarakan beragam kegiatan dan pertemuan sesuai dengan AD/ART seperti kongres, rakerpus, seminar di tingkat pusat dan beragam pertemuan lain di tingkat daerah serta ikut berpartisipasi dalam forum regional (CONSAL) maupun forum internasional (IFLA). Silih berganti kepengurusan telah menghasilkan produk-produk keprofesian seperti jurnal, prosiding, newsletter, buku, pedoman dan lain sebagainya
Pengurus Pusat IPI perlu memperhatikan bahwa tahun-tahun mendatang, tantangan yang dihadapi akan makin banyak, makin kompleks, makin berkaitan satu sama lain, akibat pergeseran dari era independence menuju ke era interdependence. Karena itu keberadaan profesi kita yang dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang naik dan pasang surut perlu didiagnosa ulang untuk mengetahui kesiapan menghadapi tantangan yang berubah dengan cepat.
Banyak pertanyaan untuk dijawab secara bersama (sharing of experiences) oleh para pustakawan yang tergabung dalam organisasi IPI seperti:
a. Apa jenis kegiatan yang bisa diciptakan dalam koridor AD & ART untuk meningkatkan citra IPI sebagai profesi di tengah masayarakat. Dalam program reformasi birokrasi program semacam ini disebut dengan program Quick Win.
b. Selama ini dan hampir selalu, kepengurusan IPI diduduki oleh personal yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta yang sudah sibuk karena jabatannya yang tinggi dengan alasan memudahkan fasilitas, bantuan dan sebagainya. Masih relevankah hal ini untuk tahun-tahun mendatang?
c. Dalam hal dana, organisasi IPI tidak memiliki dana yang memadai, karena penggalangan dana baik melalui iuran maupun sponsor tidak berjalan mulus. Apakah yang harus dilakukan?
d. Bagaimana wujud sumbangan IPI terhadap kemajuan pendidikan kepustakawanan, mengingat semua jenis dan kegiatan pendidikan maupun pelatihan telah dimonopoli oleh lembaga pemerintah?
e. Bagaimana pengaruh prinsip otonomi dan desentralisasi terhadap profesi pustakawan baik di pusat maupun di daerah?
f. Sebagai organisasi profesi, alat kelengkapan/komponen apa yang harus ditambahkan supaya IPI lebih powerful?

Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menjawab tantangan jaman oleh IPI dalam upaya memberikan manfaat bagi anggotanya antara lain adalah sebagai berikut:
* Revitalisasi profesi kepustakawanan Indonesia
Ikatan Pustakakawan Indonesia harus melakukan revitalisasi dengan cara mengambil peran untuk hal-hal yang bersifat strategis misalnya saja ikut berperan aktif dalam penyusunan RPP Perpusakaan, pengembangan standard perpustakaan, pengembangan standar kompetensi profesi pustakawan, ikut serta dalam akreditasi perpustakaan dan lain-lain. Selain itu IPI dapat mengembangkan pedoman-pedoman atau guide-lines untuk pegangan pustakawan dalam menjalani profesinya.
* Pengembangan pendidikan Perpusdokinfo
Pendidikan perpustakaan yang mencetak pustakawan baik terampil maupun ahli telah berkembang cukup banyak di Indonesia. Namun ini hanya dilihat dari segi jumlah saja. Pertanyaannya bagaimana kualitas dari pendidikan tersebut? Sangat bervariasi, dari yang sangat maju sampai ke yang kurang maju. Ikatan Pustakawan Indonesia harus memfasilitasi agar penyelenggara program studi perpustakaan peduli terhadap peningkatan kurikulum. Menyamakan mutu setiap program studi memang suatu hal yang tidak mungkin, namun memberikan guide line kurikulum minimal untuk penyelenggaraan perpustakaan mungkin perlu. Memang, urusan kurikulum adalah urusan Ditjen Pendidikan Tinggi, namun IPI dapat memfasilitasi penyelenggara program studi untuk duduk bersama dalam mengembangkan kurikulum inti program perpustakaan.
* Pembinaan kelembagaan perpustakaan di daerah
Posisi kelembagaan perpustakaan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah sangat bervariasi. Ada yang dihargai dengan posisi yang cukup tinggi, misalnya setingkat Badan di provinsi, atau setingkat Direktorat di Universitas. Namun yang kurang beruntung masih sangat banyak. Disinilah Ikatan Pustakawan Indonesia diharapkan peranannya dalam memberikan advokasi dan fasilitasi untuk peningkatan status perpustakaan. Tugas ini memang tidak ringan dan sampai saat ini perlu pemikiran yang serius dan strategi yang tepat untuk membantu saudara-saudara kita yang belum beruntung tersebut.
* Pembinaan dan pengembangan pustakawan swasta
Salah satu problema yang sampai saat ini belum terpecahkan adalah ”memberikan” jabatan fungsional pustakawan pada pustakawan swasta. Ikatan Pustakawan Indonesia tentu saja bersama-sama pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah harus terus bersama-sama memikirkan dan mencari jalan keluar, bagaimana memberikan status jabatan fungsional kepada pustakawan swasta tersebut. Dengan status tersebut mungkin pustakawan di lembaga-lembaga swasta kondisinya menjadi lebih baik.
Selain itu ada beberapa hal yang menjadi perhatian IPI berkaitan dengan masalah-masalah internal organisasi seperti:
* Kartu anggota belum seragam dan tidak memberikan kebanggaan bagi anggota.
* Organisasi belum semua terbentuk dan berjalan dengan baik.
* Banyak anggota yang masih belum merasakan manfaat dari menjadi anggota IPI.
* Masalah jabatan fungsional, baik masalah besarnya tunjangan, maupun banyaknya pustakawan fungsional yang keluar dari pekerjaan pustakawan, disebabkan karena mutasi yang dilakukan oleh pihak Pemda.
* Perlunya akurasi database anggota IPI baik di pengurus cabang maupun di pengurus daerah.
* Perlunya IPI proaktif melihat perkembangan peraturan dan perundang-undangan yang akan dibuat pemerintah sehingga lembaga perpustakaan maupun pustakawan tidak tertinggal peranan formalnya.
* Perlunya sertifikasi bagi pelatihan perpusdokinfo di daerah.
* Perlunya income generating activities bagi IPI untuk menghimpun dana guna membiayai aktifitas IPI.
* Penerbitan majalah Ikatan Pustakawan Indonesia perlu diusahakan terus.
* Perlu suatu sistem yang tepat untuk penghimpunan iuran.
* Perlunya dana abadi yang dapat dijadikan sumber pembiayaan kegiatan IPI.
Dalam usianya yang sudah mendekati 40 tahun seharusnya IPI sudah mulai matang dan sudah mulai mampu membangun citranya sendiri. Kenyataannya saat ini IPI masih belum bisa keluar dari ketergantunganya kepada instansi pemerintah seperti PNRI di tingkat pusat dan Badan Perpustakaan di tingkat provinsi. Ini sangat disayangkan, karena seharusnya IPI menjadi ”sparring patner” pemerintah dalam pengembangan perpustakaan. Namun dengan ketidak madiriannya ini IPI justru tidak mampu memberikan pressure kepada pemerintah dalam pengembangan perpustakaan.

Selasa, 02 November 2010

Apakah Pustakawan Sebuah Profesi?

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Beberapa bulan yang lalu saya berkesempatan mengikuti pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai perpustakaan. Pembahasan ini dilakukan antara tim penyusun RPP yang berasal dari Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dengan tim RPP yang berasal dari Balitbang Diknas (Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional). Tim PNRI terdiri dari beberapa pejabat PNRI ditambah dengan beberapa praktisi pustakawan termasuk saya. Mengenai judul RPP tersebut sengaja saya sebut RPP perpustakaan sebagai judul RPP sementara sebab judul RPP yang definitif memang belum ada dan masih dicari. Jumlah RPPnyapun masih simpang siur apakah akan dibuat satu saja RPP atau dua RPP. Masalah ini tidak akan saya bahas. Yang akan saya kemukakan disini adalah pembahasan tim penyusun RPP yang berkaitan dengan pertanyaan seperti pada judul tulisan ini, apakah pustakawan itu sebuah profesi?

Perdebatan diawali ketika tim sudah masuk kepada pembahasan masalah standar profesi dan sertifikasi profesi. Para pustakawan memang menghendaki agar pasal mengenai standar profesi tersebut masuk sebagai salah satu pasal dalam peraturan pemerintah. Maklum, di negeri ini sedang demam sertifikasi profesi. Seperti kita ketahui bahwa terhadap dosen dan guru sudah dilakukan sertifikasi profesi. Kepada pemegang sertifikat profesi dosen atau guru diberikan tunjangan profesi yang cukup menggiurkan yaitu sebesar satu bulan gaji yang bersangkutan. Artinya seorang guru atau dosen akan dalam sebulan mendapatkan penghasilan sebesar dua kali gaji ditambah dengan tunjangan fungsional. Maka tidak heran kalau pustakawan juga menginginkan penghargaan hal semacan itu. Namun yang mengejutkan ketika membahas profesi dan sertifikasi profesi pustakawan adalah munculnya pertanyaan dari salah seorang anggota tim yang berasal dari Balitbang Diknas. Pertanyaannya begini. Apakah pustakawan tersebut merupakan profesi? Tim dari pihak pustakawan tentu saja dengan sedikit emosi menjawab bahwa pustakawan adalah profesi. Mengapa? Kemudian tim PNRI menjelaskan dengan teori mengenai profesi yang dikutip dari bukunya Prof Sulistyo-Basuki. Menurut Prof Sulistyo pustakawan memang diakui sebagai suatu jabatan profesi dan sejajar dengan profesi-profesi lain seperti profesi peneliti, guru, dosen, hakim, dokter dan lain-lain. Ada beberapa ciri (dan pustakawan memiliki ciri itu) dari suatu profesi seperti (1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, (2) terdapat pola pendidikan yang jelas, (3) adanya kode etik profesi, (4) berorientasi pada jasa, (5) adanya tingkat kemandirian. Tim dari Balitbang Diknas tetap tidak dapat menerima pernyataan bahwa pustakawan tersebut adalah profesi. Dia meminta bukti bahwa jika pustakawan itu memang profesi, maka seharusnya ada pendidikan profesi pustakawan. Sebagaimana profesi dokter maka sebelum seorang dokter boleh menyandang gelar (profesi) dokter maka ia harus mengikuti pendidikan profesi dokter yang disebut Co-asistensi selama dua tahun. Begitu juga profesi pengacara yang diikuti oleh seorang sarjana hukum selama satu tahun sebelum yang bersangkutan boleh menyandang gelar profesi pengacara. Apakah ada pendidikan profesi bagi pustakawan? Ternyata menurut anggota tim tadi tidak ada. Bagaimana dengan guru dan dosen? Apakah ada pendidikan profesinya? Saya mendapat penjelasan bahwa untuk guru ada pendidikan akta IV dan untuk dosen ada pendidikan akta V. Apakah itu diberikan pada pendidikan profesi sebagaimana profesi dokter, pengacara, notaris dan lain-lain? Saya tidak mendapatkan jawaban memuaskan dari anggota tim Balitbang Diknas tersebut.

Pembahasan tentang serfikasi memang terus berlanjut. Beberapa pasal tentang sertifikasi pustakawan terbentuk. Namun bagi saya pertanyaan apakah pustakawan merupakan sebuah profesi tetap menggelitik. Pertanyaan ini harus segera dijawab, sebab ini menyangkut masa depan profesi pustakawan. Tentu bukan oleh pustakawan secara perorangan seperti saya ini. Hemat saya, Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) yang merupakan himpunan profesi pustakawan harus mengambil inisiatif untuk membahas masalah ini. Namun IPI saja tidak cukup. IPI harus duduk bersama dengan Perpustakaan Nasional RI sebagai wakil pemerintah (regulator) dibidang perpustakaan serta para wakil dari lembaga pendidikan (universitas). Kita tahu universitas yang menyelenggarakan pendidikan perpustakaan sudah banyak. Konon sudah mencapai lebih dari 23 universitas. Selain itu saya kira Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) perlu berkontribusi terhadap pembahan masalah ini. Bulan November ini IPI akan menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional Pustakawan (Rakerpus) di Mataram, NTB. Saya kira ada baiknya masalah pendidikan profesi ini diangkat pada Rakerpus kali ini. Jawaban atas pertanyaan anggota tim RPP dari Balitbang Diknas ini tetap ditunggu. Apakah seorang sarjana perpustakaan secara otomastis menyandang gelar profesi pustakawan? Apakah harus mengikuti pendidikan profesi pustakawan terlebih dahulu untuk menyandang gelar profesi pustakawan? Kalau ya, maka ini akan mengubah konstelasi pendidikan perpustakaan di Indonesia. Universitas penyelenggara pendidikan perpustakaan harus menyiapkan pendidikan profesi. Kurikulum pendidikan profesi juga harus disiapkan. Penyelenggaraan pendidikan profesi harus dilaksanakan. Para pustakawan yang sudah merasa menyandang gelar profesi pustakawan harus dipikirkan, apakah tetap harus mengikuti pendidikan profesi atau cukup disertifikasi saja. Dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Jika pendidikan profesi ini bisa terselengara, maka saya yakin hal ini akan menjawab perdebatan yang selama ini terjadi di kalangan pustakawan tentang pendidikan yang menghasilkan pustakawan. Dengan pendidikan profesi maka pustakawan akan dapat dibedakan, mana yang hanya produk kursus atau pelatihan dan mana yang produk pendidikan profesi. Dengan pendidikan profesi, maka tidak mungkin lagi sebuah proyek pelatihan dapat menghasilkan pustakawan. Mungkin pelatihan bisa menghasilkan tenaga terampil yang dapat melakukan pekerjaan perpustakaan, namun produk pelatihan tetap tidak dapat disebut pustakawan. Sebagaimana dukun beranak tetap tidak akan dapat menyandang gelar profesi bidan, walaupun dukun beranak tersebut sangat terampil dalam membantu persalinan seorang pasien seperti halnya bidan.

Senin, 01 November 2010

Kritik (lanjutan…) kepada IPI

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.
(Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Ketika tahun lalu penulis menghadiri Kongres IPI di Batam, penulis masih berstatus sebagai anggota pengurus pusat. Sayang sekali, penulis tidak mendapatkan tanda peserta walaupun penulis sudah melapor kepada panitia, sehingga penulis tidak bisa memasuki arena kongres. Barangkali ini akibat dari otokritik yang penulis sampaikan melalui media publik yaitu milis para pustakawan dan tenaga perpustakaan yang bernama ICS. Ya, pada otokritik itu penulis menggugat kepengurusan IPI pusat periode 2006-2009 yang didominasi oleh para pensiunan. Bayangkan, dua dari tiga ketua adalah pensiunan pejabat PNRI. Belum lagi koordinator seksi yang juga besaral dari pensiunan. Perkiraan penulis, lebih dari 50 % posisi strategis pengurus IPI di”duduki” oleh para pensiunan. Akibat otokritik ini dapat diduga, penulis dikucilkan dari kepengurusan IPI. Dipecat sih tidak, tetapi keberadaan penulis di pengurus IPI dianggap tidak ada. Bahkan ketika kongres berlangsung, ya di Batam itu, penulis dinyatakan berhalangan hadir, padahal penulis berada di Batam. Hanya ya itu tadi, penulis tidak mendapatkan tanda peserta kongres sehingga penulis tidak bisa masuk ke arena kongres.

Akhirnya yang bisa penulis lakukan adalah memantau jalannya kongres dari kawan-kawan pengurus IPI cabang Bogor. Di hotel tempat penulis menginap, kebetulan kamar kawan-kawan utusan IPI cabang Bogor bertetangga dengan kamar penulis. Dan kamar tersebut menjadi arena diskusi kawan-kawan utusan Bogor bersama penulis. Mereka melaporkan apa yang terjadi di arena kongres. Ternyata apa yang terjadi di Batam, merupakan pengulangan kongres sebelumnya di Denpasar. Salah satu yang menonjol adalah sebagian utusan yang datang ke kongres tidak membawa mandat sebagai utusan untuk mengikuti kongres. Padahal dalam tatatertib kongres sudah jelas dicantumkan bahwa kongres hanya boleh dihadiri oleh peserta yang membawa mandat dari pengurus daerah. Begitu juga tentang hak suara yang harusnya mereka tuntut. Dalam AD/ART jelas dikatakan bahwa pengurus daerah memiliki 3 suara, pengurus cabang memiliki 1 suara ditambah dengan 1 suara setiap 20 anggota yang terdaftar di cabangnya. Dari semua pengurus daerah dan pengurus cabang yang hadir, hampir semuanya tidak membawa daftar anggotanya (yang dibuktikan dengan nomor anggota). Dengan demikian maka mereka tidak dapat meng”klaim” suara yang seharusnya mereka peroleh. Dari kejadian ini mungkin kita perlu berbenah diri. Penulis mengusulkan, khususnya kepada pengurus IPI Cabang Bogor, agar mengadakan pelatihan dasar organisasi. Kemudian sertifikat pelatihan tersebut harus dijadikan sebagai syarat untuk duduk sebagai pengurus. Dengan pelatihan ini diharapkan, paling tidak IPI dapat menerapkan disiplin organisasi.

Selain itu sidang kongres di Batam ini tidak menghasilkan rekomendasi yang strategis kepada pemerintah menyangkut kehidupan kepustakawanan Indonesia. Padahal sesuatu yang strategis untuk kehidupan kepustakawanan Indonesia sedang diperjuangkan seperti Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan UU Perpustakaan yang belum kunjung disahkan oleh pemerintah. Seharusnya IPI menjadi “pressure group” yang mendesak pemerintah untuk segera mensahkan PP yang pada saat itu sedang diusulkan. Mungkin kita harus belajar dari kongres pustakawan-pustakawan senior kita dulu. Kongres PAPSI tahun 1956 misalnya, menghasilkan banyak sekali resolusi yang disampaikan kepada pemerintah, diantaranya resolusi tentang perlunya undang-undang perpustakaan.

Tentang DCPTA

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.
(Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Menurut Rachmad Natadjumena pada orasi ilmiahnya saat ini Indonesia memiliki pustakawan (PNS) sebanyak kurang lebih 2.888 orang. Padahal untuk perpustakaan sekolah saja Indonesia memerlukan sebanyak 219.785 pustakawan. Itu kalau satu sekolah dikelola oleh satu orang pustakawan. Jumlah ini belum termasuk kebutuhan pustakawan untuk perpustakaan nasional, perpustakaan umum, perpustakaan khusus, dan perpustakaan perguruan tinggi. Selanjutnya menurut beliau jika seluruh lembaga pendidikan perpustakaan di Indonesia menghasilkan 1.000 pustakawan saja setiap tahun, maka untuk memenuhi kebutuhan pustakawan di perpustakaan sekolah saja Indonesia memerlukan lebih dari 219 tahun. Untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan inilah maka PNRI membuka katup baru yang menghasilkan pustakawan yaitu program Diklat Calon Pustakawan Tingkat Ahli atau disingkat DCPTA. Diklat ini dilaksanakan selama 650 jam terhadap sarjana non perpustakaan. Pemegang sertifikat DCPTA dapat langsung masuk menjadi pustakawan yang setara dengan sarjana perpustakaan. Pro dan kontra tentu saja terjadi atas adanya DCPTA tersebut. Banyak yang setuju, namun tidak sedikit yang menentang. Bahkan banyak kalangan yang menggugat dan mempertanyakan kualitas pemegang sertifikat DCPTA. Bagaimana mungkin dengan hanya 650 jam seseorang dapat menjadi pustakawan. Padahal sarjana perpustakaan harus menjalaninya dengan berdarah-darah selama sedikitnya 4 tahun. Bahkan banyak yang tidak selesai tepat waktu sehingga mulur lebih dari 4 tahun.

Bagaimana pandangan penulis terhadap DCPTA ini? Hemat penulis seandainya lembaga pendidikan sudah bisa memenuhi kuota lulusan untuk kebutuhan pustakawan, maka DCPTA ini tidak perlu. Namun, mengingat kesenjangan antara kebutuhan pustakawan dan produktifitas lembaga pendidikan perpustakaan masih sangat besar, maka DCPTA ini masih diperlukan. Anggap saja bahwa DCPTA ini merupakan pintu darurat yang dibuka hanya pada keadaan darurat. Jika keadaan sudah normal, maka pintu ini harus ditutup kembali. Yang perlu kita cermati adalah bagaimana kurikulum dan jumlah jam (setara dengan bobot SKS) yang dilaksanakan oleh DCPTA memenuhi kualitas yang tidak jauh berbeda dengan pendidikan perpustakaan yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi. Sama persis mungkin sangat sulit. Hemat penulis, perlu dipetakan mata kuliah yang diajarkan di lembaga pendidikan perpustakaan dan dibandingkan dengan yang dilakukan oleh DCPTA. Di lembaga pendidikan perpustakaan tentu ada MKDU yang tidak ada hubungan langsung dengan keahlian pustakawan seperti Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kewiraan, dan lain-lain. Kemudian ada MKDK atau Mata Kuliah Dasar Keahlian yang terdiri dari Pengantar Ilmu Perpustakaan dan lain-lain. Terakhir adalah MKK atau Mata Kuliah Keahlian yang terdiri dari mata kuliah inti ilmu perpustakaan. Selanjutnya kita juga petakan pula mata kuliah dari DCPTA. Peserta DCPTA adalah seorang sarjana non perpustakaan. Tentunya mereka sudah mendapatkan MKDU yang hemat penulis sama dengan mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan. Dengan demikian pada DCPTA tidak perlu ada mata pelajaran MKDU. Kemudian mereka juga telah mendapatkan MKDK yang menjadi dasar bidang keilmuannya. Ini tentu berbeda dengan mahasiswa ilmu perpustakaan. Terakhir MKK yang tentunya berbeda dengan mahasiswa ilmu perpustakaan. Dengan pemetaan ini dapat diketahui ilmu perpustakaan apa saja yang harus diberikan pada DCPTA tersebut. Bobot SKSnya juga dapat ditentukan sehingga kita dapat menentukan berapa total jam yang harus diikuti oleh peserta DCPTA untuk memperoleh kelayanan sebagai seorang pustakawan.

Selain kurikulum dan jumlah jam pelaksanaan DCPTA, hal lain yang perlu diperhatikan adalah kualitas pengajar. PNRI sebagai pelaksana DCPTA hendaknya tidak asal comot dalam menrekrut pengajar atau instruktur. Harus diperhatikan selain kemampuan bidang keilmuan, khususnya ilmu perpustakaan, juga kemampuan instruktur tersebut dalam melakukan transfer ilmu (pedagogi?). Sebab tidak sedikit orang yang pintar, tetapi hanya pintar untuk diri sendiri, tidak dapat membuat orang lain pintar. Artinya orang yang seperti ini tidak layak untuk direkrut sebagai instruktur DCPTA.

Ada satu keuntungan yang didapat oleh penyelenggaraan DCPTA ini yang perlu dicatat. Pustakawan yang dilahirkan oleh DCPTA memiliki kompetensi ilmu lain yang mungkin sangat diperlukan dalam melaksanakan tugas-tugas kepustakawanan. Misalnya pustakawan yang bertugas di perpustakaan lembaga penelitian bidang pertanian akan lebih baik jika pustakawan tersebut memiliki bidang keilmuan pertanian. Pustakawan yang demikian inilah yang disebut dengan subject matter specialist.

Oleh karena itu, dengan pemetaan kurikulum yang benar, dan penentuan bobot SKS yang benar, serta didukung oleh instruktur yang mumpuni, hemat penulis tidak perlu lagi ada dikotomi pro dan kontra terhadap penyelenggaraan DCPTA. Namun tetap perlu diingat bahwa DCPTA adalah pintu darurat. Ketika kodisi sudah normal maka pintu darurat ini harus ditutup rapat-rapat.

Krisis Pustakawan di IPB

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.
(Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Perpustakaan di perguruan tinggi memang hanya penunjang. Saking dianggap tidak penting, beberapa petinggi perguruan tinggi menganggap perpustakaan ibarat vitamin pada komposisi makanan. Keberadaan vitamin memang wajib untuk asupan gizi manusia, namun keberadaannya hanya diperlukan sedikit saja, sangat sedikit bahkan. Begitu juga perpustakaan, keberadaannya wajib karena menjadi persyaratan untuk mendirikan sebuah universitas, namun hanya sekedar ada saja. Penulis menyaksikan sendiri ada sebuah perpustakaan di sebuah PTS di sebuah kota provinsi yang ruangannya berada paling belakang bersebelahan dengan toilet umum untuk mahasiswa.

Namun beberapa petinggi universitas menganggap bahwa perpustakaan merupakan jantung dari sebuah universitas yang bertugas memompakan darah ilmu ke seluruh sivitas akademika. Hal ini juga disadari betul oleh para wakil rakyat, sehingga atas inisiatif DPR dibuatlah undang-undang yang mengatur tentang perpustakaan ini. Didalam pelaksanaannya maka perpustakaan harus dikelola oleh tenaga perpustakaan yang disebut dengan pustakawan. Pustakawan adalah sebuah jabatan fungsional bagi PNS yang bekerja di perpustakaan. Untuk menjadi pustakawan diperlukan syarat-syarat khusus antara lain pendidikan di bidang ilmu perpustakaan. Oleh karena itu merekrut pejabat fungsional pustakawan tidaklah semudah merekrut tenaga administrasi biasa. Sejak berlakunya UU 43 tahun 2007 tentang pengaturan perpustakaan, maka pejabat pustakawan nantinya harus memiliki ijazah sarjana bidang perpustakaan.
Sejak diberlakukannya Kepmenpan tentang jabatan pustakawan, Perpustakaan IPB memiliki sejumlah pustakawan. Pada awalnya Perpustakaan IPB memiliki 63 orang pustakawan. Jumlah ini terus menurun dan pada tahun 2010 tinggal hanya 31 orang. Yang lebih menyedihkan penyusutan ini tidak hanya disebabkan oleh pustakawan yang pensiun, tetapi beberapa pustakawan di pindahkan oleh IPB menjadi tenaga administrasi biasa di beberapa unit di IPB. Sebut saja, ada pustakawan yang sekarang berada di KPE, Humas, Tata Usaha Sekolah Pasca Sarjana, dan masih ada di beberapa tata usaha fakultas. Seperti dikatakan diawal tulisan ini, merekrut pustakawan sangat sulit karena ada syarat-syarat khusus yang tidak mudah dimiliki oleh setiap PNS, sebaliknya merekrut tenaga administrasi biasa jauh lebih mudah karena tidak diperlukan syarat khusus.

Sampai tahun 2010 ini kondisi pustakawan IPB tinggal 31 orang yang terdiri dari 15 orang pustakawan ahli dan 16 pustakawan tingkat terampil. Keadaan ini menjadi sangat kritis manakala kita melihat dari usia mereka yang rata-rata sudah mencapai usia 50 tahun ke atas bahkan sebagian sudah berada di usia 55 tahun. Dalam 10 tahun yang akan datang pustakawan ini akan habis karena pensiun. Jika IPB tidak menginginkan kinerja perpustakaannya semakin menurun, maka krisis pustakawan ini perlu segera mendapat perhatian serius. Hemat penulis, untuk pemecahan masalah yang cepat, maka IPB harus mengembalikan pustakawan yang dipindahkan ke unit-unit lain di lingkungan IPB. Sebab rekrutmen baru tentunya tidak akan dapat segera terlaksana dengan cepat. Yang kedua adalah IPB harus membuka kesempatan alih fungsi dari tenaga administrasi menjadi pustakawan. Namun cara ini tentunya harus sembari mengirim tenaga ini ke diklat calon pustakawan yang dapat menjadi salah satu pintu untuk menjadi pustakawan. Yang ke tiga, tentunya IPB harus melakukan rekrutmen baru tenaga pustakawan yang besaral dari sarjana baru lulusan sekolah perpustakaan.

Kesempatan

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.
(Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Beberapa tahun yang lalu ketika penulis masih menjabat sebagai Kepala Perpustakaan, penulis pernah di”komplain” oleh salah seorang kolega pustakawan. Ia merasa diperlakukan tidak adil karena ia tidak pernah ditugasi untuk menjadi pembicara pada beberapa pertemuan yang dihadiri oleh penulis. Ia menuduh bahwa kesempatan menjadi pembicara pada beberapa pertemuan pustakawan tersebut selalu diambil sendiri oleh penulis karena kekuasaan penulis sebagai kepala. Dia berpikir sebagai kepala perpustakaan, penulis dapat dengan seenaknya menentukan siapa yang akan ditugasi menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Dengan kata lain jabatan kepala adalah tiket untuk menjadi pembicara dalam seminar. Dia tidak pernah berpikir bahwa untuk memiliki kemampuan sebagai pembicara dalam seminar seseorang harus mengalami pematangan baik dari aspek pengetahuan, skill, maupun kemampuan berbicara, serta yang paling penting adalah mendapatkan kepercayaan dari publik, khususnya panitia penyelenggara seminar. Dia berpikir apa susahnya berbicara tentang perpustakaan. Toh semua teori sudah tersedia. Tinggal baca, dan sampaikan. Begitu barangkali dia berpikir.
Sebagai pembicara seminar, maka seseorang harus menguasai pengetahuan yang berkaitan dengan materi yang dibawakannya. Untuk itu ia perlu waktu bertahun-tahun memupuk pengetahuannya sehingga ia mempunyai kelebihan dalam hal pengetahuannya tersebut dibandingkan dengan para koleganya. Dalam hal skill atau kemampuan teknis kepustakawanan, ia perlu mengasah kemampuan teknis tersebut dan tentu saja perlu waktu yang sangat lama. Seperti layaknya seorang dokter yang dapat mendiagnosa penyakit seorang pasien dengan hanya berdialog dan memeriksa denyut jantung pasien menggunakan stetoskop dalam beberapa menit, maka seorang pustakawan yang ahli dalam bidang TI Perpustakaan, dia dapat menemukan masalah dalam basisdata hanya dengan melihat dan menekan tombol papan ketik komputer dalam beberapa menit. Sekali lagi, untuk mendapatkan skill yang demikian, seseorang memerlukan latihan intensif dalam bentuk kerja dan dalam waktu yang sangat lama. Begitu juga kemampuan berbicara. Kemampuan berbicara seseorang tidak akan muncul dengan sendirinya, namun perlu dilatih bertahun-tahun. Seseorang yang pintar belum tentu dapat mengekspresikan pikirannya dihadapan orang banyak. Kadang-kadang apa yang akan disampaikannya segera menghilang ketika dia sudah berdiri dihadapan publik. Maka untuk mencapai kemampuan berbicara di depan publik yang baik, seseorang perlu latihan secara intensif dalam waktu yang juga sangat lama. Dan yang terakhir ini yang juga sangat penting yaitu kepercayaan dari publik terhadap kinerja kita. Orang yang pintar saja tidak serta merta dapat dipercaya untuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Untuk dapat dipercaya oleh orang lain, seseorang harus memperjuangkan sesuatu yang disebut dengan “citra” atau “image”. Membangun citra atau image building pasti tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Oleh karena itu, jika kita menginginkan dipercaya oleh orang lain untuk membagi pengetahuan dan skill kita dalam suatu pertemuan yang disebut dengan seminar, maka kita perlu memperjuangkannya untuk itu. Tidak ada kesempatan yang datang dengan cuma-cuma. Terbukti, setelah sekian tahun berlalu, kolega penulis yang melakukan komplain tersebut sudah menempati posisi yang pada waktu itu dianggap menjadi tiket untuk mejadi pembicara dalam seminar, toh sampai sekarang tidak ada seorangpun yang mengundangnya menjadi pembicara dalam seminar.