Kamis, 25 November 2010

Mampukah IPI Menjawab Tantangan Jaman?: Sebuah catatan pengalaman ikut memimpin IPI

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama Perpustakaan IPB)

Pendahuluan
Pustakawan diakui sebagai suatu profesi dan sejajar dengan profesi-profesi lain seperti profesi peneliti, guru, dosen, dokter dan lain-lain. Profesi secara umum diartikan sebagai pekerjaan. Menurut Sulistyo-Basuki (1991) ada beberapa ciri dari suatu profesi seperti (1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, (2) terdapat pola pendidikan yang jelas, (3) adanya kode etik profesi, (4) berorientasi pada jasa, (5) adanya tingkat kemandirian. Satu ciri dari sebuah profesi adalah adanya suatu organisasi profesi yang merupakan perwujudan dari kerjasama dan tekad seluruh warga profesi yang bersangkutan untuk bersatu dan berkembang bersama. Identifikasi ciri-ciri profesi ini telah sejak lama dilakukan sejalan dengan adanya tuntutan masyarakat untuk hanya menghargai lebih tinggi jenis-jenis pekerjaan yang termasuk dalam kategori profesi daripada jenis pekerjaan lainnya (Sungkana, 2002).
Menyadari bahwa perpustakaan merupakan salah satu profesi maka pustakawan Indonesia merasa terpanggil untuk membentuk suatu organisasi profesi yaitu dengan mendirikan Ikatan Perpustawan Indonesia yang lahir pada tanggal 6 Juli tahun 1973.
Sejak didirikan 37 tahun yang lalu, IPI telah berbuat banyak, yaitu antara lain menyelenggarakan beragam kegiatan dan pertemuan sesuai dengan AD/ART seperti kongres, rakerpus, seminar di tingkat pusat dan beragam pertemuan lain di tingkat daerah serta ikut berpartisipasi dalam forum regional (CONSAL) maupun forum internasional (IFLA). Silih berganti kepengurusan telah menghasilkan produk-produk keprofesian seperti jurnal, prosiding, newsletter, buku, pedoman dan lain sebagainya
Pengurus Pusat IPI perlu memperhatikan bahwa tahun-tahun mendatang, tantangan yang dihadapi akan makin banyak, makin kompleks, makin berkaitan satu sama lain, akibat pergeseran dari era independence menuju ke era interdependence. Karena itu keberadaan profesi kita yang dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang naik dan pasang surut perlu didiagnosa ulang untuk mengetahui kesiapan menghadapi tantangan yang berubah dengan cepat.
Banyak pertanyaan untuk dijawab secara bersama (sharing of experiences) oleh para pustakawan yang tergabung dalam organisasi IPI seperti:
a. Apa jenis kegiatan yang bisa diciptakan dalam koridor AD & ART untuk meningkatkan citra IPI sebagai profesi di tengah masayarakat. Dalam program reformasi birokrasi program semacam ini disebut dengan program Quick Win.
b. Selama ini dan hampir selalu, kepengurusan IPI diduduki oleh personal yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta yang sudah sibuk karena jabatannya yang tinggi dengan alasan memudahkan fasilitas, bantuan dan sebagainya. Masih relevankah hal ini untuk tahun-tahun mendatang?
c. Dalam hal dana, organisasi IPI tidak memiliki dana yang memadai, karena penggalangan dana baik melalui iuran maupun sponsor tidak berjalan mulus. Apakah yang harus dilakukan?
d. Bagaimana wujud sumbangan IPI terhadap kemajuan pendidikan kepustakawanan, mengingat semua jenis dan kegiatan pendidikan maupun pelatihan telah dimonopoli oleh lembaga pemerintah?
e. Bagaimana pengaruh prinsip otonomi dan desentralisasi terhadap profesi pustakawan baik di pusat maupun di daerah?
f. Sebagai organisasi profesi, alat kelengkapan/komponen apa yang harus ditambahkan supaya IPI lebih powerful?

Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menjawab tantangan jaman oleh IPI dalam upaya memberikan manfaat bagi anggotanya antara lain adalah sebagai berikut:
* Revitalisasi profesi kepustakawanan Indonesia
Ikatan Pustakakawan Indonesia harus melakukan revitalisasi dengan cara mengambil peran untuk hal-hal yang bersifat strategis misalnya saja ikut berperan aktif dalam penyusunan RPP Perpusakaan, pengembangan standard perpustakaan, pengembangan standar kompetensi profesi pustakawan, ikut serta dalam akreditasi perpustakaan dan lain-lain. Selain itu IPI dapat mengembangkan pedoman-pedoman atau guide-lines untuk pegangan pustakawan dalam menjalani profesinya.
* Pengembangan pendidikan Perpusdokinfo
Pendidikan perpustakaan yang mencetak pustakawan baik terampil maupun ahli telah berkembang cukup banyak di Indonesia. Namun ini hanya dilihat dari segi jumlah saja. Pertanyaannya bagaimana kualitas dari pendidikan tersebut? Sangat bervariasi, dari yang sangat maju sampai ke yang kurang maju. Ikatan Pustakawan Indonesia harus memfasilitasi agar penyelenggara program studi perpustakaan peduli terhadap peningkatan kurikulum. Menyamakan mutu setiap program studi memang suatu hal yang tidak mungkin, namun memberikan guide line kurikulum minimal untuk penyelenggaraan perpustakaan mungkin perlu. Memang, urusan kurikulum adalah urusan Ditjen Pendidikan Tinggi, namun IPI dapat memfasilitasi penyelenggara program studi untuk duduk bersama dalam mengembangkan kurikulum inti program perpustakaan.
* Pembinaan kelembagaan perpustakaan di daerah
Posisi kelembagaan perpustakaan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah sangat bervariasi. Ada yang dihargai dengan posisi yang cukup tinggi, misalnya setingkat Badan di provinsi, atau setingkat Direktorat di Universitas. Namun yang kurang beruntung masih sangat banyak. Disinilah Ikatan Pustakawan Indonesia diharapkan peranannya dalam memberikan advokasi dan fasilitasi untuk peningkatan status perpustakaan. Tugas ini memang tidak ringan dan sampai saat ini perlu pemikiran yang serius dan strategi yang tepat untuk membantu saudara-saudara kita yang belum beruntung tersebut.
* Pembinaan dan pengembangan pustakawan swasta
Salah satu problema yang sampai saat ini belum terpecahkan adalah ”memberikan” jabatan fungsional pustakawan pada pustakawan swasta. Ikatan Pustakawan Indonesia tentu saja bersama-sama pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah harus terus bersama-sama memikirkan dan mencari jalan keluar, bagaimana memberikan status jabatan fungsional kepada pustakawan swasta tersebut. Dengan status tersebut mungkin pustakawan di lembaga-lembaga swasta kondisinya menjadi lebih baik.
Selain itu ada beberapa hal yang menjadi perhatian IPI berkaitan dengan masalah-masalah internal organisasi seperti:
* Kartu anggota belum seragam dan tidak memberikan kebanggaan bagi anggota.
* Organisasi belum semua terbentuk dan berjalan dengan baik.
* Banyak anggota yang masih belum merasakan manfaat dari menjadi anggota IPI.
* Masalah jabatan fungsional, baik masalah besarnya tunjangan, maupun banyaknya pustakawan fungsional yang keluar dari pekerjaan pustakawan, disebabkan karena mutasi yang dilakukan oleh pihak Pemda.
* Perlunya akurasi database anggota IPI baik di pengurus cabang maupun di pengurus daerah.
* Perlunya IPI proaktif melihat perkembangan peraturan dan perundang-undangan yang akan dibuat pemerintah sehingga lembaga perpustakaan maupun pustakawan tidak tertinggal peranan formalnya.
* Perlunya sertifikasi bagi pelatihan perpusdokinfo di daerah.
* Perlunya income generating activities bagi IPI untuk menghimpun dana guna membiayai aktifitas IPI.
* Penerbitan majalah Ikatan Pustakawan Indonesia perlu diusahakan terus.
* Perlu suatu sistem yang tepat untuk penghimpunan iuran.
* Perlunya dana abadi yang dapat dijadikan sumber pembiayaan kegiatan IPI.
Dalam usianya yang sudah mendekati 40 tahun seharusnya IPI sudah mulai matang dan sudah mulai mampu membangun citranya sendiri. Kenyataannya saat ini IPI masih belum bisa keluar dari ketergantunganya kepada instansi pemerintah seperti PNRI di tingkat pusat dan Badan Perpustakaan di tingkat provinsi. Ini sangat disayangkan, karena seharusnya IPI menjadi ”sparring patner” pemerintah dalam pengembangan perpustakaan. Namun dengan ketidak madiriannya ini IPI justru tidak mampu memberikan pressure kepada pemerintah dalam pengembangan perpustakaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar