Sabtu, 27 November 2010

Diperlukan Outliers di Pustakawan

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Outliers adalah sebuah kata yang cukup baru. Mungkin tidak banyak yang mengenal kata ini. Menurut Pak Asep Saefuddin, Pak Andi Hakim Nasoetion (mantan Rektor IPB dan seorang ahli statistika terapan) menerjemahkan outliers tersebut sebagai pencilan yaitu suatu pengamatan statistik yang nilainya berbeda sekali dari kelompoknya1. Pak Asep memberikan ilustrasi seperti ini. Pada populasi ayam dengan bobot rata-rata 2 kg dan simpangan baku 0,2 kg, maka kita akan sulit menemukan ayam dengan bobot di atas 3 kg. Jika ada ayam yang berbobot di atas 3 kg, maka ayam tersebut disebut sebagai outliers karena dia mencil jauh di atas kawan-kawannya. Karena itu maka outliers tersebut diterjemahkan menjadi pencilan. Kata outliers ini oleh digunakan oleh Malcolm Gladwell sebagai judul bukunya. Buku ini kemudian menjadi bestseller selain dua buku lainnya dengan judul Tipping point dan Blink. Dalam buku outliers, Gladwell menggambarkan bagaimana orang-orang menjadi outliers, yaitu orang-orang yang luar biasa di bidangnya. Beberapa orang tersebut seperti Bill Gates dan Bill Joy yang terkenal dalam bidang komputer. Dan masih banyak lagi nama-nama yang dicontohkan Gladwell sebagai outliers.
Dalam bidang kepustakawanan tentu kita mengenal Melvil Dewey dan Ranganathan. Dua orang itu adalah salah dua yang paling terkenal dalam bidang perpustakaan. Melvil Dewey yang menciptakan klasifikasi persepuluhan (Dewey Decimal Classification) yang sampai saat ini digunakan oleh ribuan perpustakaan di seluruh dunia. Sedangkan Ranganathan adalah orang yang menciptakan colon classification yang juga terkenal. Ranganathan juga terkenal dengan lima hukum dalam ilmu perpustakaan (five laws of library science). Lima hukum tersebut kira-kira seperti ini: buku untuk dibaca; pembaca harus disediakan buku sesuai kebutuhannya; setiap buku memiliki pembacanya sendiri; menghemat waktu pembaca; dan perpustakaan merupakan organisme yang tumbuh. Maka dua orang ini menurut saya termasuk outliers dalam bidang kepustakawanan.

Sudah puluhan atau ratusan tahun sejak Dewey dan Ranganathan ini berkibar sebagai outliers, kita tidak menemukan outliers lain dalam bidang kepustakawanan. Mengapa? Saya kira ada beberapa alasan yang bisa kita kemukakan. Diantaranya yang pertama, karena tidak adanya orang (pustakawan) yang mau dan mampu bekerja keras untuk mencapai outliers tersebut. Gladwell menggambarkan bagaimana personel the Beatles berlatih keras sebelum sukses menjadi band legendaris dunia. Konon mereka menghabiskan waktu lebih dari 10.000 jam untuk menjadi outliers dalam bidang seni yang ditekuninya tersebut. Bill Gates juga menghabiskan ribuan jam melakukan eksperimen di Computer Center milik University of Washington untuk mencapai karir yang kemudian merubah peradaban dunia. Alasan yang kedua, adalah tidak adanya kesempatan bagi pustakawan untuk melakukan eksperimen dalam bidang kepustakawanan. Gladwell memberi contoh bahwa Bill Gates memiliki kesempatan yang hampir tak terbatas untuk melakukan eksperimen dalam bidang komputer oleh pusat komputernya University of Washington. Begitu juga Bill Joy mendapatan kesempatan yang sama yang diberikan oleh University of Michigan. The Beatles mendapatkan jam manggung yang sangat berlebihan di Hamburg, Jerman yang memaksa mereka belajar banyak lagu agar mereka tetap ditonton dan tidak dilempari botol minuman oleh penonton.

Berbicara soal kesempatan ini, saya berbincang-bincang dengan Pak Blasius Sudarsono. Beliau terobsesi untuk membuka laboratorium perpustakaan di tempat beliau bekerja. Beliau berobsesi bahwa tempat beliau bekerja menjadi tempat berkumpulnya (rendezvous) para pustakawan untuk melakukan diskusi dan bereksperimen dalam bidang kepustakawanan. Saya kira kita patut mendukung obsesi beliau dan berupaya untuk merealisasikannya. Memang saya agak skeptis tentang hal ini. Adakah pustakawan yang bersedia menghabiskan ribuan jam dalam laboratorium perpustakaan yang akan dibangun oleh Pak Blasius ini? Pertanyaan ini saya sampaikan pada beliau pada kesempatan berbincang di hotel Millenium beberapa waktu yang lalu. “Mengapa?” Kata Pak Blasius. Saya bilang, pustakawan itu masih sibuk mencari makan Pak. Kemudian saya berandai-andai begini. Seandainya kegiatan ini disokong oleh donatur, dimana para pustakawan tersebut bisa mendapatkan “imbalan” dalam kegiatan di laboratorium tersebut, maka saya dapat sedikit menghapus sikap skeptis saya terhadap gagasan Pak Blasiun ini. Saya kemudian ingat dalam bukunya Gladwell bahwa Bill Gates mendapatkan “proyek” membuat perangkat lunak untuk pembayaran gaji sebuah perusahaan. Walaupun Gates berasal dari kalangan orang kaya, dan tidak memerlukan suntikan dana, namun “proyek” yang diperoleh Bill Gates dari aktifitasnya bermain-main dengan komputer mungkin dapat menginsprirasi kita untuk sedikit memodifikasinya untuk memperoleh bayaran dari aktifitas laboratorium perpustakaan tersebut. Mungkin gagasan Pak Blasius ini dapat terealisasi jika laboratorium ini dapat bekerjasama dengan perusahaan yang membutuhkan jasa para pustakawan dan para pustakawan dalam laboratorium ini tetap bereskperimen sambil mendapatkan “pekerjaan” dan tentu saja uang dari laboratorium tersebut.


1 Asep Saefuddin. Percikan Pemikiran: kepemimpinan dan pendidikan. Bogor: IPB Press, 2010. hal 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar