Selasa, 02 November 2010

Apakah Pustakawan Sebuah Profesi?

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Beberapa bulan yang lalu saya berkesempatan mengikuti pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai perpustakaan. Pembahasan ini dilakukan antara tim penyusun RPP yang berasal dari Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dengan tim RPP yang berasal dari Balitbang Diknas (Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional). Tim PNRI terdiri dari beberapa pejabat PNRI ditambah dengan beberapa praktisi pustakawan termasuk saya. Mengenai judul RPP tersebut sengaja saya sebut RPP perpustakaan sebagai judul RPP sementara sebab judul RPP yang definitif memang belum ada dan masih dicari. Jumlah RPPnyapun masih simpang siur apakah akan dibuat satu saja RPP atau dua RPP. Masalah ini tidak akan saya bahas. Yang akan saya kemukakan disini adalah pembahasan tim penyusun RPP yang berkaitan dengan pertanyaan seperti pada judul tulisan ini, apakah pustakawan itu sebuah profesi?

Perdebatan diawali ketika tim sudah masuk kepada pembahasan masalah standar profesi dan sertifikasi profesi. Para pustakawan memang menghendaki agar pasal mengenai standar profesi tersebut masuk sebagai salah satu pasal dalam peraturan pemerintah. Maklum, di negeri ini sedang demam sertifikasi profesi. Seperti kita ketahui bahwa terhadap dosen dan guru sudah dilakukan sertifikasi profesi. Kepada pemegang sertifikat profesi dosen atau guru diberikan tunjangan profesi yang cukup menggiurkan yaitu sebesar satu bulan gaji yang bersangkutan. Artinya seorang guru atau dosen akan dalam sebulan mendapatkan penghasilan sebesar dua kali gaji ditambah dengan tunjangan fungsional. Maka tidak heran kalau pustakawan juga menginginkan penghargaan hal semacan itu. Namun yang mengejutkan ketika membahas profesi dan sertifikasi profesi pustakawan adalah munculnya pertanyaan dari salah seorang anggota tim yang berasal dari Balitbang Diknas. Pertanyaannya begini. Apakah pustakawan tersebut merupakan profesi? Tim dari pihak pustakawan tentu saja dengan sedikit emosi menjawab bahwa pustakawan adalah profesi. Mengapa? Kemudian tim PNRI menjelaskan dengan teori mengenai profesi yang dikutip dari bukunya Prof Sulistyo-Basuki. Menurut Prof Sulistyo pustakawan memang diakui sebagai suatu jabatan profesi dan sejajar dengan profesi-profesi lain seperti profesi peneliti, guru, dosen, hakim, dokter dan lain-lain. Ada beberapa ciri (dan pustakawan memiliki ciri itu) dari suatu profesi seperti (1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, (2) terdapat pola pendidikan yang jelas, (3) adanya kode etik profesi, (4) berorientasi pada jasa, (5) adanya tingkat kemandirian. Tim dari Balitbang Diknas tetap tidak dapat menerima pernyataan bahwa pustakawan tersebut adalah profesi. Dia meminta bukti bahwa jika pustakawan itu memang profesi, maka seharusnya ada pendidikan profesi pustakawan. Sebagaimana profesi dokter maka sebelum seorang dokter boleh menyandang gelar (profesi) dokter maka ia harus mengikuti pendidikan profesi dokter yang disebut Co-asistensi selama dua tahun. Begitu juga profesi pengacara yang diikuti oleh seorang sarjana hukum selama satu tahun sebelum yang bersangkutan boleh menyandang gelar profesi pengacara. Apakah ada pendidikan profesi bagi pustakawan? Ternyata menurut anggota tim tadi tidak ada. Bagaimana dengan guru dan dosen? Apakah ada pendidikan profesinya? Saya mendapat penjelasan bahwa untuk guru ada pendidikan akta IV dan untuk dosen ada pendidikan akta V. Apakah itu diberikan pada pendidikan profesi sebagaimana profesi dokter, pengacara, notaris dan lain-lain? Saya tidak mendapatkan jawaban memuaskan dari anggota tim Balitbang Diknas tersebut.

Pembahasan tentang serfikasi memang terus berlanjut. Beberapa pasal tentang sertifikasi pustakawan terbentuk. Namun bagi saya pertanyaan apakah pustakawan merupakan sebuah profesi tetap menggelitik. Pertanyaan ini harus segera dijawab, sebab ini menyangkut masa depan profesi pustakawan. Tentu bukan oleh pustakawan secara perorangan seperti saya ini. Hemat saya, Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) yang merupakan himpunan profesi pustakawan harus mengambil inisiatif untuk membahas masalah ini. Namun IPI saja tidak cukup. IPI harus duduk bersama dengan Perpustakaan Nasional RI sebagai wakil pemerintah (regulator) dibidang perpustakaan serta para wakil dari lembaga pendidikan (universitas). Kita tahu universitas yang menyelenggarakan pendidikan perpustakaan sudah banyak. Konon sudah mencapai lebih dari 23 universitas. Selain itu saya kira Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) perlu berkontribusi terhadap pembahan masalah ini. Bulan November ini IPI akan menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional Pustakawan (Rakerpus) di Mataram, NTB. Saya kira ada baiknya masalah pendidikan profesi ini diangkat pada Rakerpus kali ini. Jawaban atas pertanyaan anggota tim RPP dari Balitbang Diknas ini tetap ditunggu. Apakah seorang sarjana perpustakaan secara otomastis menyandang gelar profesi pustakawan? Apakah harus mengikuti pendidikan profesi pustakawan terlebih dahulu untuk menyandang gelar profesi pustakawan? Kalau ya, maka ini akan mengubah konstelasi pendidikan perpustakaan di Indonesia. Universitas penyelenggara pendidikan perpustakaan harus menyiapkan pendidikan profesi. Kurikulum pendidikan profesi juga harus disiapkan. Penyelenggaraan pendidikan profesi harus dilaksanakan. Para pustakawan yang sudah merasa menyandang gelar profesi pustakawan harus dipikirkan, apakah tetap harus mengikuti pendidikan profesi atau cukup disertifikasi saja. Dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Jika pendidikan profesi ini bisa terselengara, maka saya yakin hal ini akan menjawab perdebatan yang selama ini terjadi di kalangan pustakawan tentang pendidikan yang menghasilkan pustakawan. Dengan pendidikan profesi maka pustakawan akan dapat dibedakan, mana yang hanya produk kursus atau pelatihan dan mana yang produk pendidikan profesi. Dengan pendidikan profesi, maka tidak mungkin lagi sebuah proyek pelatihan dapat menghasilkan pustakawan. Mungkin pelatihan bisa menghasilkan tenaga terampil yang dapat melakukan pekerjaan perpustakaan, namun produk pelatihan tetap tidak dapat disebut pustakawan. Sebagaimana dukun beranak tetap tidak akan dapat menyandang gelar profesi bidan, walaupun dukun beranak tersebut sangat terampil dalam membantu persalinan seorang pasien seperti halnya bidan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar