Senin, 01 November 2010

Tentang DCPTA

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.
(Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Menurut Rachmad Natadjumena pada orasi ilmiahnya saat ini Indonesia memiliki pustakawan (PNS) sebanyak kurang lebih 2.888 orang. Padahal untuk perpustakaan sekolah saja Indonesia memerlukan sebanyak 219.785 pustakawan. Itu kalau satu sekolah dikelola oleh satu orang pustakawan. Jumlah ini belum termasuk kebutuhan pustakawan untuk perpustakaan nasional, perpustakaan umum, perpustakaan khusus, dan perpustakaan perguruan tinggi. Selanjutnya menurut beliau jika seluruh lembaga pendidikan perpustakaan di Indonesia menghasilkan 1.000 pustakawan saja setiap tahun, maka untuk memenuhi kebutuhan pustakawan di perpustakaan sekolah saja Indonesia memerlukan lebih dari 219 tahun. Untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan inilah maka PNRI membuka katup baru yang menghasilkan pustakawan yaitu program Diklat Calon Pustakawan Tingkat Ahli atau disingkat DCPTA. Diklat ini dilaksanakan selama 650 jam terhadap sarjana non perpustakaan. Pemegang sertifikat DCPTA dapat langsung masuk menjadi pustakawan yang setara dengan sarjana perpustakaan. Pro dan kontra tentu saja terjadi atas adanya DCPTA tersebut. Banyak yang setuju, namun tidak sedikit yang menentang. Bahkan banyak kalangan yang menggugat dan mempertanyakan kualitas pemegang sertifikat DCPTA. Bagaimana mungkin dengan hanya 650 jam seseorang dapat menjadi pustakawan. Padahal sarjana perpustakaan harus menjalaninya dengan berdarah-darah selama sedikitnya 4 tahun. Bahkan banyak yang tidak selesai tepat waktu sehingga mulur lebih dari 4 tahun.

Bagaimana pandangan penulis terhadap DCPTA ini? Hemat penulis seandainya lembaga pendidikan sudah bisa memenuhi kuota lulusan untuk kebutuhan pustakawan, maka DCPTA ini tidak perlu. Namun, mengingat kesenjangan antara kebutuhan pustakawan dan produktifitas lembaga pendidikan perpustakaan masih sangat besar, maka DCPTA ini masih diperlukan. Anggap saja bahwa DCPTA ini merupakan pintu darurat yang dibuka hanya pada keadaan darurat. Jika keadaan sudah normal, maka pintu ini harus ditutup kembali. Yang perlu kita cermati adalah bagaimana kurikulum dan jumlah jam (setara dengan bobot SKS) yang dilaksanakan oleh DCPTA memenuhi kualitas yang tidak jauh berbeda dengan pendidikan perpustakaan yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi. Sama persis mungkin sangat sulit. Hemat penulis, perlu dipetakan mata kuliah yang diajarkan di lembaga pendidikan perpustakaan dan dibandingkan dengan yang dilakukan oleh DCPTA. Di lembaga pendidikan perpustakaan tentu ada MKDU yang tidak ada hubungan langsung dengan keahlian pustakawan seperti Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kewiraan, dan lain-lain. Kemudian ada MKDK atau Mata Kuliah Dasar Keahlian yang terdiri dari Pengantar Ilmu Perpustakaan dan lain-lain. Terakhir adalah MKK atau Mata Kuliah Keahlian yang terdiri dari mata kuliah inti ilmu perpustakaan. Selanjutnya kita juga petakan pula mata kuliah dari DCPTA. Peserta DCPTA adalah seorang sarjana non perpustakaan. Tentunya mereka sudah mendapatkan MKDU yang hemat penulis sama dengan mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan. Dengan demikian pada DCPTA tidak perlu ada mata pelajaran MKDU. Kemudian mereka juga telah mendapatkan MKDK yang menjadi dasar bidang keilmuannya. Ini tentu berbeda dengan mahasiswa ilmu perpustakaan. Terakhir MKK yang tentunya berbeda dengan mahasiswa ilmu perpustakaan. Dengan pemetaan ini dapat diketahui ilmu perpustakaan apa saja yang harus diberikan pada DCPTA tersebut. Bobot SKSnya juga dapat ditentukan sehingga kita dapat menentukan berapa total jam yang harus diikuti oleh peserta DCPTA untuk memperoleh kelayanan sebagai seorang pustakawan.

Selain kurikulum dan jumlah jam pelaksanaan DCPTA, hal lain yang perlu diperhatikan adalah kualitas pengajar. PNRI sebagai pelaksana DCPTA hendaknya tidak asal comot dalam menrekrut pengajar atau instruktur. Harus diperhatikan selain kemampuan bidang keilmuan, khususnya ilmu perpustakaan, juga kemampuan instruktur tersebut dalam melakukan transfer ilmu (pedagogi?). Sebab tidak sedikit orang yang pintar, tetapi hanya pintar untuk diri sendiri, tidak dapat membuat orang lain pintar. Artinya orang yang seperti ini tidak layak untuk direkrut sebagai instruktur DCPTA.

Ada satu keuntungan yang didapat oleh penyelenggaraan DCPTA ini yang perlu dicatat. Pustakawan yang dilahirkan oleh DCPTA memiliki kompetensi ilmu lain yang mungkin sangat diperlukan dalam melaksanakan tugas-tugas kepustakawanan. Misalnya pustakawan yang bertugas di perpustakaan lembaga penelitian bidang pertanian akan lebih baik jika pustakawan tersebut memiliki bidang keilmuan pertanian. Pustakawan yang demikian inilah yang disebut dengan subject matter specialist.

Oleh karena itu, dengan pemetaan kurikulum yang benar, dan penentuan bobot SKS yang benar, serta didukung oleh instruktur yang mumpuni, hemat penulis tidak perlu lagi ada dikotomi pro dan kontra terhadap penyelenggaraan DCPTA. Namun tetap perlu diingat bahwa DCPTA adalah pintu darurat. Ketika kodisi sudah normal maka pintu darurat ini harus ditutup rapat-rapat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar