Sabtu, 27 November 2010

Trust

(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.; Pustakawan Utama pada Perpustakaan IPB)

Trust menurut Kamus Inggris – Indonesia karangan John M. Echols dan Hassan Shadily adalah kepercayaan. Dalam pengembangan perpustakaan maka unsur kepercayaan atau trust ini memegang peranan penting. Misalnya, pada konsep perpustakaan 2.0. (library 2.0.) menempatkan kepercayaan sebagai komponen yang harus dipertimbangkan. Rumusnya adalah:

P2.0.= (book n stuff + people + radical trust) X participation

Tidak mudah memang membangun kepercayaan ini. Di perpustakaan seringkali pustakawan tidak percaya kepada pemustaka. Ini karena banyak kejadian yang menyebabkan pustakawan selalu curiga kepada pemustaka. Misalnya, adanya penyobekan buku, pencurian buku, sampai pada pencurian peralatan yang disediakan untuk pemustaka (seperti mouse komputer dll). Di lain pihak, pemustaka juga curiga kepada pustakawan, misalnya ada informasi yang disembunyikan agar dapat di”perjual-belikan” secara ilegal dan lain-lain.

Berbicara tentang trust ini penulis teringat kepada diskusi antara pustakawan dengan beberapa pimpinan institusi tempat penulis bekerja, salah satunya adalah Prof. Syafrida Manuwoto. Beliau mengatakan bahwa tidak adanya trust ini merupakan penyakit bangsa kita. Contohnya dapat kita lihat di jalanan. Pada lampu lalu lintas di perempatan jalan sering tidak berfungsi dengan baik. Bukan lampunya yang tidak menyala. Namun ada saja orang yang lenaggar peraraturan, seperti walaupun lampu merah sudah menyala, masih ada saja pengendara yang menerobos. Kecuali jika dijaga oleh polisi. Ini karena trust tidak terbangun dengan baik. Berbeda dengan negara maju yang sistemnya sudah berjalan. Ketika penulis menyelesaikan studi penulis di Sheffield, penulis tinggal di university flat. Kebetulan sekali dapur flat penulis berada tepat di sudut menghadap ke sebuah pertigaan. Setiap sore ketika penulis menunggu nasi matang, penulis sering berdiri di jendela menghadap pertigaan tersebut. Di pertigaan ini tidak ada lampu merah. Hanya ada bundaran yang dibuat dengan menggambar aspal dengan cat putih. Penulis selalu memperhatikan mobil yang melintas bundaran tersebut. Ketika mobil akan masuk budaran, maka mobil itu selalu berhenti sejenak. Sekalipun tidak ada mobil lain yang melintas. Kemudian barulah mobil itu masuk ke wilayah bundaran tersebut untuk melintas. Herannya, tidak ada satupun mobil yang menginjak batas bundaran tersebut. Padahal tidak ada satupun polisi yang menjaga di pertigaan itu. Ini terjadi karena trust sudah terbangun. Intinya adalah aturan dibuat untuk dipatuhi, bukan untuk dilanggar. Penulisngnya di republik kita tercinta ini kesadaran untuk mematuhi aturan belum sepenuhnya berjalan. Sehingga trust ini tidak terbangun. Bahkan sering kita dengar joke yang mengatakan bahwa di negeri ini peraturan itu dibuat bukan untuk dipatuhi tetapi untuk dilanggar.

Kembali kepada trust di perpustakaan. Hemat penulis trust ini harus dibangun. Caranya adalah dimulai dari pustakawan sendiri. Pertama, pustakawan harus konsisten. Jika perpustakaan melarang pemakainya menggunakan sandal jepit jika masuk ke perpustakaan, maka pustakawan haruslah orang pertama yang mematuhi aturan tersebut. Begitu juga, jika perpustakaan melarang pemakai melakukan kegiatan makan, minum dan merokok di ruang publik perpustakaan, maka harusnya tidak ada pustakawan yang melakukan kegiatan makan, minum dan merokok di ruang tersebut. Kedua, manajemen di perpustakaan harus sempurna. Bahkan harus mendekati zero defect. Jadi tidak boleh ada kasus transaksi peminjaman maupun pengembalian yang lupa dicatat. Apalagi sudah menggunakan teknologi informasi. Dengan demikian maka pemustaka tidak akan mencoba-coba berbohong mengatakan sudah mengembalikan, padahal belum misalnya. Jika ada layanan yang berbayar, maka harus dibuatkan aturan mainnya dengan terbuka. Tidak sembunyi-sembunyi. Tarif yang jelas dan bisa dikontrol oleh siapa saja. Yang ketiga, buatkan kondisi ruang publik yang nyaman sehingga pemustaka tidak merasa diawasi. Pengawasan dilakukan secara tersembunyi misalnya dengan security gate ataupun kamera pengintai. Yang keempat, pustakawan selalu melakukan sosialisasi kepada pemustaka tentang perpustakaan dan layanan yang diberikan. Pustakawan harus selalu siap membantu bila diperlukan. Dan yang kelima, lakukanlah pendidikan pengguna sehingga pemustaka merasa mudah menggunakan perpustakaan.

Dengan upaya-upaya tersebut kita sudah membuat fondasi untuk membangun trust terhadap pemustaka. Pemustaka yang dengan mudah mendapatkan informasi di tempat kita tidak akan curiga kepada pustakawan bahwa pustakawan menyembunyikan informasi untuk tujuan bisnis informasi ilegal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar