Jumat, 17 Juli 2009

Catatan Penilaian Angka Kredit Pustakawan 2006-2009

Pendahuluan

Seperti diketahui bahwa jabatan pustakawan sudah diakui sebagai jabatan fungsional oleh Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1988 yaitu dengan Kepmenpan nomor 18 tahun 1988. Namun walaupun sudah berjalan selama dua dekade, pelaksanaan jabatan fungsional ini masih mengalami banyak permasalahan, terutama bagi pustakawan yang menjalaninya. Salah satu permasalahan yang cukup menonjol, khususnya bagi Pustakawan Madya dan Pustakawan Utama adalah kegiatan yang menyangkut kajian dan pengembangan profesi.

Setelah penulis ikut serta dalam proses penilaian angka kredit bagi pustakawan dengan jabatan Pustakawan Madya ke atas selama dua tahun, maka penulis mendapatkan banyak sekali catatan yang dapat di”share” dengan teman-teman tim penilai lain baik dari tingkat pusat maupun tim penilai instansi. Catatan penilaian ini bersifat subyektif dari penulis, namun penilaian subyektif ini diharapkan dapat didiskusikan dengan teman-teman anggota tim penilai yang lain sehingga proses penilaian DUPAK yang akan menghasilkan angka kredit (PAK) tersebut semakin baik dan semakin obyektif.

Kajian ini adalah kajian faktual dengan metodologi deduktif yaitu menarik kesimpulan praktis dari kasus-kasus yang dijumpai selama penulis melakukan penilaian DUPAK para pustakawan yang masuk ke tim penilai pusat.

Masalah yang ditemukan

Dari beberapa pengalaman melakukan penilaian dan rapat tim penilai, penulis mencatat ada beberapa persoalan yang patut kiranya menjadi perhatian. Persoalan tersebut antara lain adalah:

  • Pada berkas yang masuk ke Tim Penilai Pusat masih ditemukan banyak tugas limpah. Beberapa pustakawan memasukkan tugas limpah dua tingkat dibawah jabatannya. Bahkan masih ditemukan ada pustakawan (madya) yang mengusulkan angka kredit yang berasal dari kegiatan pustakawan terampil.
  • Ada beberapa pustakawan yang mengusulkan kegiatan yang mereka sendiri tidak mengerti apa sebenarnya kegiatan tersebut, misalnya ada yang mengusulkan kegiatan informasi kilat atau informasi terseleksi dengan bukti yang tidak memenuhi syarat sebagai kegiatan tersebut karena mereka pada hakekatnya tidak mengerti esensi dari layanan informasi kilat dan layanan informasi terseleksi.
  • Banyak pustakawan madya yang mengusulkan angka kredit dengan bertumpu hanya pada pekerjaan teknis seperti: (1) kegiatan pengorganisasian dan pendayagunaan koleksi bahan pustaka/ sumber informasi; (2) Pemasyarakatan perpustakaan, dokumentasi dan informasi; namun kurang pada bidang pengkajian dan pengembangan profesi. Padahal, untuk pustakawan ahli, terlebih madya atas (golongan IV/c) dan utama seharusnya lebih banyak angka kredit yang berasal dari kegiatan yang bersifat analisis dan mengurangi kegiatan yang bersifat teknis.
  • Berkaitan dengan masalah di atas dengan sendirinya dipertanyakan pula kualitas pustakawan, khususnya pustakawan madya dan utama. Lebih jauh lagi adalah kualitas karya tulis pustakawan masih sangat memprihatinkan. Masih ditemukan laporan kegiatan yang diusulkan menjadi suatu karya ilmiah; hand out kuliah yang berbentuk slide (powerpoint) diusulkan sebagai karya tulis ilmiah, dan lain-lain. Dari segi produktifitas dalam menghasilkan karya tulis, para pustakawan utama masih memprihatinkan. Bahkan para pustakawan utama tersebut hampir tidak pernah mengusulkan karya tulis yang dipublikasi dan umumnya karya tulis yang diusulkan adalah dari karya tulis yang didokumentasi saja. Masih bagus karya tersebut jika pernah dipresentasikan dalam suatu seminar.
  • Kualitas tim penilai juga perlu mendapat perhatian. Pertanyaannya adalah: Bagaimana mungkin seorang anggota tim penilai akan menilai karya tulis orang lain, padahal dia sendiri tidak pernah atau jarang sekali menghasilkan karya tulis.
  • Banyak ditemukan DUPAK yang diusulkan tidak disertai dengan bukti kegiatan yang lengkap. Sebagai contoh ada pustakawan yang melaporkan mengerjakan menyunting bibliografi (kegiatan pustakawan muda) dengan jumlah 8000 entri, namun setelah dihitung buktinya hanya ditemukan 2000 entri saja. Pertanyaannya adalah apakah ini suatu kesengajaan atau kecerobohan dari pustakawan yang bersangkutan?

Pembahasan

Bagi banyak perpustakaan mungkin tugas limpah memang tidak dapat dihindari terutama perpustakaan yang memiliki jumlah pustakawan terbatas. Banyak tugas-tugas pustakawan di bawahnya, bahkan pustakawan terampil, yang tidak akan terkerjakan bila tidak dikerjakan oleh pustakawan yang sudah berpangkat tinggi. Keadaan ini menjadi dilematis, dimana disatu sisi pustakawan harus mengerjakan kegiatan yang menjadi tugas pada jenjangnya, namun di sisi lain kegiatan tersebut harus dikerjakan, karena tidak ada pustakawan lain yang mengerjakan. Dalam kasus seperti ini pustakawan harus kreatif dengan mengubah kegiatan tugas limpah tersebut menjadi angka kredit yang berada di jenjang pustakawan tersebut berada. Misalnya, pustakawan muda (pustakawan ahli) yang melakukan kegiatan shelving (kegiatan pustakawan terampil) tidak harus mengajukan angka kredit yang berasal dari kegiatan shelving tersebut. Pustakawan tersebut dapat mempelajari dan menganalisis kegiatan shelving tersebut, mencarikan dan mengajukan solusi dalam memecahkan masalah shelving, dan menuliskannya menjadi sebuah kajian mengenai shelving. Dengan cara demikian, maka pustakawan tersebut mendapatkan angka kredit dalam kegiatan pada jenjangnya dan nilai kreditnya lebih besar daripada jika yang bersangkutan hanya mengusulkan dari kegiatan shelving itu sendiri. Cara-cara demikian dapat juga diterapkan untuk kegiatan yang lain seperti misalnya melakukan kegiatan katalogisasi, klasifikasi, sirkulasi dan lain-lain.

Masalah kedua adalah banyak pustakawan yang sepertinya tidak mengerti apa yang dikerjakannya. Dengan demikian dia mengusulkan kegiatan dengan bukti fisik yang tidak sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Contoh yang ditemukan di lapangan misalnya, ada pustakawan yang mengaku melakukan kegiatan layanan informasi terseleksi (selective dissemination of information), padahal yang dia lakukan sesungguhnya adalah melayani permintaan penelusuran biasa. Karena yang bersangkutan tidak mengerti beda antara layanan informasi terseleksi dan layanan penelusuran informasi, maka yang bersangkutan mengajukan kegiatannya tersebut sebagai layanan informasi terseleksi. Hal ini diajukan bukan tanpa alasan. Yang bersangkutan mengajukan sebagai kegiatan layanan informasi terseleksi karena kegiatan tersebut memang memiliki angka kredit yang lebih tinggi dibandingkan dengan layanan penelusuran informasi. Lebih jauh lagi mereka melakukan kesalahan penghitungan angka kredit. Layanan informasi terseleksi dihitung berdasarkan satuan judul publikasi layanan tersebut, bukan berdasarkan judul atau entri artikel yang didaftar sebagai layanan informasi terseleksi. Buletin layanan informasi terseleksi dengan judul ”Layanan Informasi Terseleksi Bidang Politik” adalah 1 (satu) judul, walaupun didalamnya berisi 50 judul artikel. Pemahaman ini yang harus dimiliki oleh baik pustakawan yang mengajukan DUPAK maupun anggota tim penilai yang menilai DUPAK pustakawan tersebut.

Pada masalah ketiga yaitu banyak pustakawan yang angka kreditnya melulu berasal dari kegiatan teknis perpustakaan. Sebetulnya untuk pustakawan pertama dan pustakawan muda memang persentase kegiatannya harus lebih banyak yang berasal dari kegiatan teknis. Namun semakin tinggi jabatan (dan pangkat) pustakawan tersebut, maka kegiatan teknis semakin berkurang. Sebagai gantinya adalah semakin banyak kegiatan non teknis yang memerlukan lebih banyak pemikiran. Dengan kata lain kegiatan pustakawan tersebut harus lebih banyak yang bersifat analisis, misalnya membuat tinjauan kepustakaan (review), melakukan kajian, menelaah perkembangan perpustakaan, dokumentasi dan informasi dan lain-lain. Hal ini dapat terlihat jika kita membandingkan jumlah kegiatan teknik kepustakawanan pada lembar (formulir) DUPAK bagi pustakawan pertama sampai pustakawan utama. Pada pustakawan pertama kegiatan yang bersifat teknis berjumlah 41 kegiatan sedangkan pada pustakawan utama hanya ada 7 kegiatan. Ini belum memperhatikan bobot kegiatannya. Oleh karena itu semakin tinggi jabatan (dan tentunya pangkat) pustakawan, maka fokus kegiatannya semakin mengarah kepada kajian dan pengembangan profesi.

Masalah keempat adalah kualitas karya pustakawan yang masih memperihatinkan. Kalaupun ada pustakawan madya dan utama yang mengusulkan karya tulis baik yang berasal dari kegiatan kajian maupun dari kegiatan pengembangan profesi, maka kualitas karya tulisnya masih perlu dipertanyakan. Memang tidak semua karya tulis yang masuk tergolong kepada karya tulis tidak bermutu. Ada juga yang sangat berkualitas, namun sebagian besar karya tulis yang harus dinilai oleh Tim Penilai Pusat memang layak dipertanyakan. Bahkan, pengalaman penulis dalam melakukan penilaian, penulis menemukan karya pustakawan yang diajukan penuh dengan kutipan yang tidak menyebutkan sumbernya. Penulis yakin karya itu adalah plagiasi karena didalamnya ada beberapa lembar kutipan dari karya penulis sendiri tanpa menyebutkan sumbernya sehingga seolah-olah karya tersebut murni adalah kegitan pustakawan tersebut. Ditengarai ada juga yang bulat-bulat menjiplak tulisan orang dan mengganti nama pengarangnya menjadi namanya sendiri. Jika tim penilai tidak jeli, niscaya tulisan ini akan lolos dan mendapatkan nilai tinggi. Ada juga tulisan yang penulis sebut sebagai tulisan ”rekondisi” yaitu tulisan dari yang bersangkutan yang ditulis beberapa tahun lalu dan diajukan kembali tanpa ada perubahan sedikitpun kecuali hanya merubah halaman judul saja dan diberi tahun terbit baru. Jika tim penilai membaca dengan saksama dan jeli, maka akan terlihat bahwa tulisan tersebut adalah tulisan ”rekondisi” karena misalnya menggunakan referensi peraturan lama dan sudah tidak berlaku lagi karena ada peraturan yang lebih baru. Untuk meningkatkan kualitas karya tulis pustakawan (madya dan utama), penulis berpendapat perlu diadakan kegiatan diskusi-diskusi, seminar dan lain-lain pertemuan yang sejenis baik di tingkat lokal maupun nasional dengan pembicara dari kalangan mereka sendiri yang diatur secara bergilir. Dengan demikian maka pustakawan akan belajar berpikir analistis dan belajar menulis karena yang bersangkutan memang diharuskan untuk membagikan makalah sebagai bahan dalam pertemuan atau acara diskusi tersebut. Tentu saja pelatihan teknik penulisan juga diperlukan. Namun pelatihan saja tanpa memberi kesempatan untuk menampilkan tulisan pustakawan yang bersangkutan tidak akan mendorong produktifitas mereka.

Masalah kelima adalah kualitas tim penilai. Jika pustakawan dituntut untuk mengajukan DUPAK dengan baik dan berkualitas (khususnya dari kegiatan kajian dan pengembangan profesi), maka anggota tim penilaipun harus dipilih dari pustakawan yang mempunyai kualitas dan integritas yang tinggi. Dalam menilai karya tulis, sampai saat ini tim penilai masih termasuk ”lunak”, namun pertanyaannya sampai kapan? Sudah waktunya tim penilai, khususnya tim penilai tingkat pusat, melakukan penilaian lebih didasarkan kepada kualitas karya tulis pustakawan, bukan hanya kepada format saja. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika Perpustakaan Nasional RI memilih anggota tim penilai tingkat pusat yang memiliki kemampuan menulis. Dengan demikian maka anggota tim penilai tersebut pasti mampu menilai karya tulis yang diajukan oleh pustakawan. Bahkan, menurut pribadi penulis, tim penilai, khususnya tingkat pusat, perlu menunjuk mitra bestari (peer group) yang sewaktu-waktu diminta melakukan penilaian karya tulis dengan topik yang sangat spesifik dimana topik tersebut tidak dikuasai oleh anggota tim penilai. Anggotanya dapat diambil dari Tim Penilai itu sendiri atau dipilih dari luar tim penilai dengan syarat anggota tersebut telah berpengalaman dalam menulis yang dibuktikan dengan karya tulisnya yang telah dipublikasikan dalam majalah pustakawan yang diedarkan secara nasional sekurang-kurangnya 5 artikel dan telah menulis buku yang dipublikasikan secara nasional sekurang-kurangnya satu judul buku. Dengan demikian peer group tersebut dapat memberi angka yang sesuai dengan kualitas tulisan yang diajukan oleh pustakawan, atau bahkan menolak karya tulis tersebut jika dianggap tidak memenuhi syarat sebagai sebuah tulisan. Cara penilaian yang demikian akan mendorong pustakawan berkarya lebih baik dan semakin lama akan semakin bermutu.

Masalah keenam adalah ketidak lengkapan DUPAK yang diusulkan. Banyak DUPAK yang diusulkan tidak disertai dengan bukti fisik yang cukup sehingga harus diminta berulang-ulang. Dari kasus demikian bisa muncul pertanyaan, apakah kegiatan yang diusulkan oleh pustakawan tersebut memang benar dilakukan, atau hanya fiktif belaka? Bisa jadi kegiatan itu memang dikerjakan, namun jumlah atau volume pekerjaannya tidak sebanyak yang diajukan, sehingga ketika yang bersangkutan diminta untuk melengkapi bukti fisik, maka yang bersangkutan tidak dapat memenuhinya. Sebenarnya hal ini bisa dicegah sehingga tidak sampai terjadi pada tim penilai tingkat pusat yaitu dengan pengetatan penilaian di tingkat instansi. Jika penilaian di tingkat instansi sudah biasa ketat, maka yang bersangkutan akan berpikir dua kali untuk melakukan hal-hal seperti ini.

Kesimpulan

Dari pengamatan dan analisis selama penulis menjadi anggota tim penilai tingkat pusat, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu:

1. Kualitas kerja pustakawan masih perlu ditingkatkan. Walaupun pustakawan tersebut “terpaksa” harus melakukan kegiatan tugas limpah, maka pustakawan tersebut dapat berimprovisasi (namun bukan menipu) sehingga dapat meningkatkan kegiatan tersebut menjadi angka kredit yang bukan berasal dari tugas limpah.

2. Kemampuan menulis pustakawan masih perlu ditingkatkan baik melalui pelatihan-pelatihan maupun dengan cara membentuk grup diskusi.

3. Kemampuan menilai karya tulis dari tim penilai masih perlu ditingkatkan. Untuk memberikan penilaian yang obyektif perlu juga dibentuk mitra bestari (peer group) yang dapat dimintakan bantuannya untuk menilai karya tulis dengan topik sangat spesifik.

4. Masih ada pustakawan yang mengajukan DUPAK tanpa bukti fisik yang lengkap. Mungkin ketidaklengkapan ini memang tidak disengaja dan mudah-mudahan bukan karena disengaja. Peran tim penilai tingkat instansi perlu memeriksa dengan teliti sehingga berkas tersebut tidak dikirim ke tingkat pusat bila masih terdapat kekurangan. Hal ini untuk mempercepat proses penilaian DUPAK di tingkat pusat.


(Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.)

Rabu, 04 Februari 2009